Andy selalu bersemangat ketika perbukitan adalah tujuan perjalanannya. Di antara ilalang tinggi, ia mungkin merasakan teriknya sinar mentari atau tebalnya awan yang melindunginya. Satu hal yang pasti, ia menikmatinya karena perbukitan dapat mengantarkan mesin memorinya kepada masa lalu di Tembuku, Bangli.
Ia memang lebih bersemangat ketika menyusuri perbukitan walaupun jarak yang harus ditempuh cukup jauh. Ia juga heran kepada dirinya, mengapa seorang anak yang dibesarkan di daerah perbukitan justru tidak tertarik pergi ke tenangnya pantai atau megahnya kota. Bahkan, baru di umur 44 tahun ia menyempatkan diri untuk pergi ke Garuda Wisnu Kencana di Jimbaran.
Wajah Andy tampak selalu tulus dan dengan suaranya yang halus, ia meminta tolong anaknya untuk membuatkannya minuman. Tidak lama berselang seorang remaja laki-laki datang ke ruangan kami dan menyodorkan dua gelas teh manis hangat. Tidak lupa, Andy mengucapkan terima kasih kepada anaknya.
Raut wajah Andy seketika tampak bertentangan. Matanya yang tulus tampak menyembunyikan pedih yang mendalam, namun bibirnya tersenyum pada saya sembari berkata, “kakak saya dulu meninggal karena kelaparan.”
Di hadapan panasnya Denpasar, dua buah minuman hangat itu perlahan-lahan dingin ketika Andy mulai bercerita dengan hangat tentang perjalanan hidupnya.
Andy dan Media Sosial
Andy adalah simbol perjuangan itu sendiri. Mulanya, ketika remaja, ia memberanikan diri pergi ke Pulau Jawa untuk mengadu nasib. Akan tetapi, beberapa tahun berselang, ia kembali ke Bali untuk bekerja dan tidak segan untuk menyisihkan gajinya demi kehidupan orang lain. Ia hanya tidak ingin orang lain merasakan apa yang pernah ia rasakan dahulu.
Kegiatan sosial Andy telah berlangsung sejak ia masih kecil. Ia kerap membantu orang yang membutuhkan bantuan. Baru sepulangnya dari Jawa, tepatnya pada tahun 2005, Andy mulai menyisihkan gajinya untuk membantu seorang nenek di desanya dengan memberikan sembako dan bahan-bahan pokok lainnya. Bahkan, hingga 8 tahun berjalan, Andy telah membantu puluhan lansia ketika itu dengan uang pribadinya dan beberapa sumbangan yang ia cari melalui kawan-kawannya.
Baru pada tahun 2013 ia tersadar bahwa upahnya tidak cukup mampu untuk membantu sang nenek hidup dengan layak. Pasalnya, gubuk sang nenek tidak layak lagi untuk ditempati.
“2013 saya posting, pengen membangun rumah untuk nenek itu. Pertama sih merasa mustahil. Rumah kan Rp 10 juta ke atas. Tapi satu minggu berlalu, akhirnya uangnya terkumpul lebih dari yang dibutuhkan. Itulah bedah rumah pertama yang saya buat,” ujar pria asal Bangli tersebut menjelaskan titik mula perjalanan panjangnya hingga kini.
Setelahnya, banyak orang mulai percaya dengan sepak terjang Andy di bidang sosial. Sejak saat itu, setiap tahunnya, banyak bantuan yang diterima oleh pria itu, dengan satu semangat yang sama: berusaha membantu orang-orang keluar dari jurang kemiskinan.
“Jadi perbandingannya, kalau dulu, mungkin sebulan Rp 200 ribu, sekarang rata-rata Rp 300 juta sampai Rp 500 juta per bulan,” ujarnya menjelaskan bahwa donasi yang ia dapatkan meningkat dengan pesat semenjak ia menggunakan media sosial.
Andy Kecil dan Ketakutan
Di hadapan teh yang telah dingin, Andy tetap bercerita dengan hangat tentang pengalaman-pengalaman pahit yang kini membentuk dirinya. Wajahnya tetap tersenyum walau kini ia menceritakan pengalaman pahitnya.
Andy kecil adalah bentuk jurang kemiskinan yang ada di Bali. Ia harus kehilangan satu orang saudara karena kelaparan. Bahkan, dua orang saudara Andy lainnya hampir mengalami hal serupa. Andy kemudian dewasa dengan ketakutan-ketakutan tersebut. Ketakutan terhadap hal yang sama terjadi pada orang di sekitarnya.
Andy kecil merasakan penderitaan kemiskinan yang begitu parah. Bahkan, untuk sekadar mengenyangkan perut, Andy dan keluarga harus berusaha sangat keras. Rupanya, mata mungil Andy kecil berbinar melihat perjuangan sang Ibu yang berusaha mengeluarkan keluarga mereka dari jurang kemiskinan.
“Saya merasa, kok penderitaan saya dan keluarga, terutama ibu berat banget?” ujarnya sembari mengenang masa kecilnya dahulu di Bangli.
Setelah dewasa, Andy tidak menginginkan hal tersebut terjadi lagi pada orang di sekitarnya. Walaupun ia sadar bahwa gaji yang ia terima tidaklah seberapa untuk dapat membantu orang-orang keluar dari jurang kemiskinan. Bagi Andy, membantu orang tidak hanya berbentuk materi. Ia bisa membantu mengerahkan tenaganya untuk menyalurkan donasi kepada orang-orang yang membutuhkan.
“Ketika saya mulai bekerja, saya berpikir saya tidak ingin melihat orang seperti itu. Jadi, kalau saya bisa bantu, walaupun tidak dengan dana sendiri, mengapa tidak saya lakukan?” ujarnya menegaskan alasan mengapa ia masih bertahan di jalan sosial.
Andy dan Perjuangan Masa Kini
Sepak terjang Andy di bidang sosial memang telah melanglang buana. Dijalankan sejak 2005, Andy semula menolak menjadikan kegiatan sosialnya sebagai sebuah yayasan karena ia ingin kegiatan sosialnya tidak dibawahi oleh kepentingan apapun dan tentunya dengan pertanggungjawaban keuangan yang ketat.
Akan tetapi, pemerintah menawarkan Andy untuk menjadikan kegiatan sosialnya sebagai sebuah yayasan guna legalitas dan perlindungan hukum yang akan mereka dapatkan jika sesuatu terjadi di masa depan. Baru pada 2019 Andy setuju dan pemerintah melalui Dinas Sosial membantu proses pembuatan yayasan bagi relawan ini.
“Jadi relawan pun begitu, siapa yang mau bantu saya untuk menyalurkan bantuan, silahkan. Tapi harus siap korban duit sendiri, bensin, dan makan,” ujar Andy menekankan bahwa Yayasan Relawan Bali hanyalah hitam di atas putih. Hal ini berarti, mereka yang tergabung dalam yayasan ini tidak akan mendapatkan upah atas kerjanya. Mereka harus bekerja secara tulus.
Bahkan, Andy–sang pendiri kegiatan sosial ini, harus bekerja siang dan malam guna memenuhi kebutuhannya. Terlebih lagi, ketika pandemi menghantam, ia hanya bisa menerima kenyataan bahwa perusahaan swasta tempatnya bekerja telah mengalami banyak kerugian, sehingga ia hanya dibayar 20 persen dari gajinya. Akan tetapi, wajah ramahnya selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan kepadanya. Selain itu, sang pemilik perusahaan juga bersikap baik kepadanya, dengan menjadikan Andy satu-satunya pegawai ketika Covid-19 mematikan banyak usaha.
“Kalau kerjaan harus dikerjakan karena demi beras. Saya kan bukan orang kaya. Saya kan punya cicilan rumah. Saya harus beli beras, bayar listrik, ada tanggungan orang tua di sini, di kampung juga. Jadi kalau saya ga seperti itu, dari mana saya dapet uang? Saya ga punya penghasilan lain, cuma dari situ,” ujarnya dengan wajahnya yang selalu tersenyum. Di hadapan teh yang hanya tersisa seperempat gelas, saya tertegun melihat perjuangan beliau.
Andy dan Teh Terakhir
Teh yang semakin dingin mungkin turut tertegun mendengar cerita beliau. Saya menenggak habis teh terakhir demi mendengarkan cerita inspiratifnya. Kalimat pertama yang muncul dari Andy setelah saya meneguk teh terakhir adalah, “saya anti memanjakan orang.”
Suatu saat, ia pernah dihubungi oleh salah seorang penerima bantuan. Ia berkata bahwa sembako mereka habis. Andy mengernyitkan dahi namun diikuti senyuman kecil setelahnya. Bagi Andy, ia anti memanjakan orang yang masih dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan guna memenuhi kebutuhan dasar mereka.
“Saya anti memanjakan orang. Jadi, saya bilang sama relawan, jangan pernah menjanjikan sembako bulanan kepada siapapun, bahkan kepada lansia yang bener-bener butuh pun. Caranya, kalau ada lansia yang gak bisa kerja, kita pantau,” ujarnya menegaskan kepada relawan yang tersebar di seluruh Bali.
Beda perlakuan Andy ketika yang ia bantu adalah orang-orang yang masih mampu untuk bekerja. Andy lebih cenderung mengakomodir segala kebutuhan mereka untuk dapat bekerja secara mandiri, misal sepeda motor, hewan ternak, rumah, atau modal usaha. Prinsip Andy sederhana: jika mereka sebelumnya bisa hidup tanpa kita, mengapa kini mereka begitu tergantung pada bantuan?
“Kita tidak memberikan sembako, kecuali ada sembako Galungan. Kadang satu keluarga miskin misalkan, apa sih yang dibutuhkan sama mereka, misal motor, saya belikan motor, atau rumah, kita buatkan rumah, atau biaya pemberdayaan, misal beliin ternak, babi atau sapi. Kalaupun kita mau ngasih sembako gak apa, cuma tidak kita manjakan setiap bulan ngasih sembako,” ujarnya.
Hal tersebut dilakukan Andy dengan tujuan membantu mengeluarkan mereka dari jurang kemiskinan. Bahkan, Andy telah memiliki 500 anak asuh di seluruh penjuru Bali guna membantu biaya hidup, termasuk pendidikan mereka. Bagi Andy, pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk dapat menyelesaikan masalah kemiskinan yang ada. Andy adalah bentuk perjuangan itu sendiri, Andy adalah bentuk kemurahan hati itu sendiri. Akan tetapi, Andy tetap merendah dan menyadari bahwa ia tidak akan dapat membantu orang-orang jika tidak ada bantuan yang diberikan oleh para donatur.
Melihat banyaknya kegiatan pemberian bantuan ke warga miskin, artinya Bali pulau turisme ini masih memiliki banyak kantong kemiskinan kan. Bagaimana upaya jangka panjangnya?