Kondisi KPU Provinsi Bali ketika pendaftaran bakal calon gubernur Bali. Foto oleh: Komang Yuko
“Masih banyak pekerjaan yang lebih penting,” ungkap Ari sambil tertawa ketika ditanya alasan tidak mengikuti perkembangan Pilkada di Bali. Ari merupakan seorang pelajar yang baru pertama kali mengikuti pemilu ketika Pilpres 2024 lalu. Jawaban yang tidak jauh beda datang dari Putu Dana, seorang pensiunan guru yang sudah mengikuti pemilu berkali-kali. “Ya karena tidak berkepentingan tentang itu,” ungkapnya ketika ditemui pada Selasa, 3 September 2024.
Berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh KPU Provinsi Bali yang bekerja sama dengan akademisi di Universitas Udayana, terdapat lima indikator yang dapat menilai partisipasi seseorang dalam Pilkada serentak 2024, yaitu terlibat dalam pengawasan partisipatif, terlibat dalam proses penyelenggaraan pemilukada, aktif mencari informasi tentang kandidat, aktif dalam edukasi politik, dan menyampaikan usul maupun kritik terhadap kebijakan ke depan melalui berbagai kanal.
Dilansir dari hasil survei yang dilakukan oleh KPU Provinsi Bali mengenai kepedulian generasi Z pada Pemilu Serentak 2024, menunjukkan mayoritas responden dari kalangan generasi Z di Bali mengaku ingin mengetahui proses pemilu di TPS, yaitu sebanyak 83 persen dari 1.800 responden. Hal ini menunjukkan besar sekali kesenjangan hak pilih dan hak politik anak muda Bali.
Akan tetapi, survei tersebut juga menunjukkan kurangnya edukasi mengenai Pemilu di kalangan generasi Z. Hal ini ditunjukkan dari pengetahuan responden mengenai hak memilih, yaitu 50,5 persen responden menyatakan memilih dalam pemilu adalah kewajiban, sedangkan 40,3 persen menyatakan memilih adalah hak, dan 6,2 persen menyatakan tidak tahu.
Kadek Dwita, salah satu akademisi Universitas Udayana yang terlibat dalam riset tersebut menyatakan data tersebut menunjukkan generasi Z belum memahami esensi partisipasi dalam Pemilu. “Kalau dari potret tersebut bisa dibilang bahwa mayoritas pemuda di seluruh Bali ketika itu gengsi. Ketika itu belum betul-betul memahami. Mungkin dia pernah mendengar satu dua kali, membaca satu dua kali, tapi esensi dari partisipasi itu belum terlalu dipahami gitu sih menurut saya,” ungkap Dwita ketika diwawancarai melalui Zoom pada Selasa, 3 September 2024.
Pengawasan partisipatif yang sukarela
Pengawasan partisipatif dapat dilakukan dengan melaporkan ke Bawaslu apabila terdapat pasangan calon yang melanggar peraturan, seperti melakukan politik uang, peredaran hoaks, dan kecurangan-kecurangan lain yang potensial terjadi di TPS. Hal ini selaras dengan partisipasi pada penyelenggaraan pemilukada, yaitu menjadi pemantau pemilukada.
Partisipasi publik dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu partisipasi otonom dan partisipasi yang dimobilisasi. Partisipasi otonom merupakan partisipasi sukarela, tanpa paksaan dan tekanan, dan melibatkan kesadaran. Sementara itu, partisipasi yang dimobilisasi adalah partisipasi yang disebabkan oleh pihak lain dan melibatkan unsur tekanan atau manipulasi.
Dalam mengawasi pemilu, partisipasi yang ideal adalah partisipasi yang dilakukan secara sukarela. “Karena partisipasi politik itu sejatinya adalah kegiatan sukarela warga negara. Ya baik secara langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi kebijakan di wilayahnya,” ujarnya.
Berkaca dari Pemilu 2019, data Bawaslu menunjukkan keterlibatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan pemilu untuk mencegah pelanggaran masih rendah. Data dugaan pelanggaran Pemilu 2019 menyebutkan terdapat 24.528 dugaan pelanggaran pemilu, tetapi hanya 21 persen atau 5.092 yang berasal dari laporan masyarakat.
Pemilih rasional
Dalam memilih salah satu pasangan calon, setiap orang memiliki alasan yang berbeda-beda. Fenomena memilih masyarakat Indonesia sendiri biasanya dipengaruhi dua faktor, yaitu faktor sosiologis dan faktor psikologis. Faktor sosiologis salah satunya adalah rasa kedekatan individu terhadap pasangan calon tertentu. Sementara itu, faktor psikologis dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu faktor psikologis jangka pendek dan jangka panjang. Faktor jangka pendek dapat didasari oleh isu yang sedang berkembang pada saat itu mengenai salah satu pasangan calon. Di sisi lain, faktor jangka panjang dapat didasari oleh identifikasi partai politik maupun nilai yang diusung oleh salah satu pasangan calon.
Dua faktor di atas masing-masing memiliki dampak negatif, misalnya faktor sosiologis yang dapat menimbulkan SARA atau faktor psikologis yang dapat berpengaruh terhadap partai tertentu. Lebih lanjut, Kadek Dwita mengungkapkan bahwa faktor yang paling ideal adalah memilih rasional, yaitu dengan membandingkan visi maupun menggali track record pasangan calon. “Tapi kan buat Indonesia itu sulit. Nah di Indonesia itu pemilih kita memang rata-rata adalah pemilik sosiologis dan psikologis,” pungkasnya.
Membandingkan visi dan melihat track record pasangan calon dapat memberikan gambaran kepemimpinan pasangan calon tersebut. Selain itu, setiap keputusan yang diambil oleh pasangan calon akan berdampak dan berpengaruh terhadap kebijakan daerah.
Namun, berdasarkan survei yang dilakukan oleh KPU Provinsi Bali dan Universitas Udayana pada tahun 2022, terdapat 32 persen responden yang menganggap bahwa pergantian pemimpin daerah tidak berpengaruh langsung terhadap kehidupan mereka. Salah satunya adalah Ari yang menganggap bahwa kebijakan yang diambil oleh pemimpin nantinya tidak akan mengubah kehidupannya. “Gimana ya, menurut saya nggak ada pengaruhnya buat hidup saya,” ungkapnya.
Politik dalam budaya suryak siu
Pemikiran yang dimiliki oleh Ari di atas dapat dipengaruhi oleh budaya politik masyarakat Bali, yaitu budaya suryak siu atau budaya ikut-ikutan. Kadek Dwita menunjukkan implementasi sederhana budaya suryak siu dalam kehidupan masyarakat Bali dapat dilihat dari pengambilan keputusan di banjar maupun sekaa teruna-teruni yang kebanyakan hanya menyetujui usulan satu individu.
Budaya ini menunjukkan one person, one value. Artinya, ketika individu memiliki suara yang berbeda dengan mayoritas, suara tersebut akan dianggap aneh. Suryak siu akan dimenangkan oleh siapa pun yang menjadi key opinion leader di masyarakat, contohnya seperti influencer. “Suryak siu ya kita ngomongin soal solidaritas, tapi kan pada akhirnya esensinya tidak didapatkan oleh semua orang yang mengendalikan opini itu,” imbuhnya.
Budaya suryak siu tentunya berpengaruh terhadap kecenderungan individu dalam menyampaikan usul, alternatif, maupun kritik terhadap kebijakan. Dalam survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan terhadap 1.200 responden ditemukan bahwa 62,9 persen responden menyatakan bahwa masyarakat saat ini takut mengeluarkan pendapatnya.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa masih terdapat masyarakat yang enggan untuk mengikuti perkembangan Pilkada maupun ikut mengawasi penyelenggaraan Pilkada. Alasan yang biasanya muncul dari keengganan tersebut adalah tidak memiliki kepentingan, tidak punya waktu, dan tidak berpengaruh terhadap kehidupan ke depannya. Namun, ada juga masyarakat yang memiliki keinginan untuk peduli, hanya saja edukasi dan kesempatan untuk berpartisipasi masih kurang.