
“…Apabila terdapat teresahan-keresahan yang muncul di permukaan itu, faktor penyebab utamanya adalah berkaitan dengan dikembangkannya pariwisata yang berskala besar yang artinya pariwisata yang terpadu dengan padat modal yang telah melahap ribuan hektar tanah di Bali.”
(I Gusti Ngurah Bagus, “Mengkondisikan Tampilnya Pemikir Pembangunan dalam Era Glokalisasi” dalam Bali dan Masa Depannya, 1999: 18-19)
Tetiba saya teringat Almarhum Pak Bagus. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, guru besar Antropologi, Universitas Udayana. Entah kenapa, berbagai situasi di Bali akhir-akhir ini menggerakkan saya untuk menelusuri kembali pemikirannya terutama berkaitan dengan pariwisata dan “pembaharuan” budaya Bali. Buku klasik yang dieditorinya, Bali dalam Sentuhan Pariwisata (1975) menggambarkan tanda-tanda penting arus perubahan yang akan (dan kini sudah) melanda Bali oleh mahluk yang namanya pariwisata ini. Mahluk yang dipuji-puji dan kita seolah-olah sukarela menyerahkan diri menjadi serdadunya.
Tidak banyak interaksi saya dengan beliau. Satu yang berkesan adalah saat saya menginjak tahun kedua di Jurusan Antropologi, Universitas Udayana. Pada akhir tahun 1990-an itu, Pak Bagus sudah mendiskusikan dan terus membaca perkembangan terkini tentang postmodernisme, poststruktural, dan transformasi budaya antah-berantah yang kita saksikan akhir-akhir ini di Bali. Pak Bagus sungguh maju dan progresif.
Mengapa saya mengingat Pak Bagus? Tidak banyak yang mendiskusikan dan mencoba memahami apa yang menjadi kegelisahannya. Pak Bagus adalah akademisi yang terus gelisah. Saya, mungkin terasa berlebihan, melihat seolah-seolah sedikit sekali akademisi yang gelisah di Pulau Seribu Pura dan sejuta villa ini. Satu warisan Pak Bagus yang sulit sekali kita lakukan mungkin adalah kegelisahan itu. Kita perlu mendiskusikan, mendebat, dan menempatkan tulisan-tulisan Pak Bagus untuk memahami situasi Bali kini. Situasi yang perubahannya sangat-sangat kencang ini.
Pak Bagus, bagi saya, adalah salah satu intelektual Bali terpenting yang jujur mengakui perubahan pandangannya, progresif, dan membuka diri terhadap perubahan yang terjadi dalam melihat Bali. Beliau juga sangat terbuka dengan perkembangan teoritik kontemporer dalam bidang antropologi maupun ilmu sosial secara umum. Mempelajari pemikiran Pak Bagus membuat kita secara jujur juga memahami proses transformasi Bali yang dianggapnya, dan dituliskannya berulang-ulang, berlangsung struktural yang merubah Bali dari masyarakat agraris ke industri (pariwisata).

Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus
(foto: https://kajianbudayabali.blogspot.com/2014/08/prof-dr-i-gusti-ngurah-bagus.html)
Menyelami pemikiran Pak Bagus dengan jujur juga akan mengurai ide-idenya yang dianggap kompleks dan juga disampaikannya dengan kompleks. Selain idenya yang dianggap kompleks, jalan pemikirannya juga tidak mudah dirunut. Hal ini disebabkan karena tulisannya banyak tersebar dan dianggap merupakan kajian-kajian awal (Darma Putra, 2003). Hanya dengan belajar menyelami karya-karya akademiknya saja kita bisa berefleksi lebih mendalam apa yang jauh dipikirkan oleh Pak Bagus pada masanya tentang Bali. Tentu mengkritisi, mendebat, bahkan mencermati secara lebih mendasar kerangka kontekstual Pak Bagus mengajukan pemikirannya tidak kalah pentingnya.
Esai sederhana ini adalah awal dari sedikit usaha menyelami pemikiran Pak Bagus. Saya bertitik tolak dari dua pembahasan utama dari pemikirannya yaitu: perubahan pandangannya berkaitan dengan karyanya “Bali dalam Sentuhan Pariwisata” dan perspektifnya soal transformasi struktural masyarakat Bali yang kini tengah kita lakoni bersama perjalanannya.
“Sentuhan Pariwisata”
Tapi satu poin penting yang saya cerna menjadi cermin penting Bali kontemporer adalah terkait perubahan pandangannya tentang sentuhan pariwisata bagi masyarakat Bali. Sentuhan pariwisata pada masa itu (tahun 1970-an) dianggap sebagai jalan menuju manusia Bali yang modern. Pada saat itu Pak Bagus berpendapat bahwa industri pariwisata tidak hanya mengarah pada hal-hal yang negatif, namun banyak juga yang positif, yang bermanfaat bukan saja bagi masyarakat di Bali, tetapi juga Indonesia. Pengaruh positifnya bukan hanya berupa pembukaan lapangan kerja, meningkatnya penghasilan masyarakat, tetapi juga perkembangan dan pemeliharaan kebudayaan Bali. Para wisatawan membutuhkan sesuatu yang khas Bali yang telah merangsang munculnya kreativitas dan loyalitas. Pandangan Pak Bagus inilah scara tidak langsung dijadikan sebagai pembenar pengelolaan industri pariwisata melalui ungkapan wacana Pariwisata Budaya. Sesuai dengan substansinya, pariwisata Bali benar-benar menjadikan kebudayaan sebagai daya tarik utamanya (Bagus (ed.), 1975; Wijaya, 2012: 152).
Pandangan awal Pak Bagus ini soal pariwisata seolah masih merasa optimis, bahwa berbagai pengaruh tersebut dianggapnya bisa “dikendalikan”. Oleh sebab itulah, dalam Program Magister Kajian Budaya, Universitas Udayana yang didirikannya, salah satu konsentrasinya adalah pengendalian sosial. Saya adalah salah satu alumninya dan memilih konsentrasi ini. Salah satu pernyataannya yang perlu kita pikirkan ulang adalah bahwa pengendalian atau benteng dalam menghadapi pengaruh perubahan besar yang dibawa oleh pariwisata adalah “memagari diri dengan agama”. Pak Bagus, tentu pada saat itu (1970-1980-an), berpendapat bahwa nilai budaya Bali tidak rusak.
Pernyataan yang membuat saya berpikir ulang kembali adalah, “Masyarakat Bali tidak total menyerahkan dirinya (kepada pariwisata).” Pak Bagus merasat tidak cemas terhadap pengaruh kebudayaan Barat yang dibawa para turis atas nilai budaya Bali. Ia berpendapat bahwa pariwisata yang berkembang di Kuta, Sanur, Ubud sangat positif dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara langsung. Baginya, untuk membendung pengaruh negatif seperti seks bebas, narkotik dan kebiasaan turis Barat lainnya, kita perlu memagari diri dengan agama. “Saya melihat di Kuta, nilai budaya tidak rusak. Masyarakat Bali tidak total menyerahkan dirinya,” ungkapnya.1 Pertanyaannya, apakah benar demikian adanya untuk kondisi sekarang ini? Jujur saja saya tidak mempercayainya. Perubahan sekarang berjalan begitu cepat.
Kembali kepada pernyataan Pak Bagus di atas, apa betul masyarakat Bali tidak total menyerahkan dirinya (kepada pariwisata)? Saya masih gelisah memikirkan pernyataan ini.
Transformasi Struktural
Mendiskusikan dan memahami pemikiran Pak Bagus bisa sangat membantu kita untuk melacak perubahan pemikiran akademisi dan intelektual Bali terhadap perubahan Bali akibat bersentuhan dengan pariwisata. Sudah tentu pada masa-masa awal konsolidasi kekuasaan Orde Baru dan pariwisata di Bali tahun 1970-an, tidak ada satu pun yang menolak dan melakukan resistensi terhadap moda ekonomi pariwisata yang akan memodern-kan Bali dan manusianya. Pada masa ini juga pandangan Pak Bagus melihat pariwisata adalah mahluk yang mampu untuk mensejahterakan masyarakat Bali dengan menginjeksikan budaya dan adat pada kata pariwisata. Tapi seiring perjalanan waktu, pemikiran Pak Bagus berubah melihat transformasi struktural yang terjadi pada masyarakat Bali.
Tapi, kini perubahan Bali seolah tanpa suara keras dan galak dari para akademisi yang mengkritik sold out-nya Pulau Bali atau pulau yang Bakal Amblas Lantaran Investor (BALI). Sekali lagi, seolah kegelisahan itu hanya terhenti di media sosial dan ratapan atas perubahan Bali, pulau yang dulunya kita dengar baik-baik saja. Kini berbagai keriuhan dan kegetiran seolah saling berkelidan mewarnai Bali.

Lukisan Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus karya Polenk Rediasa (foto: http://dasarbali.com/2015/06/06/the-father-of-balinese-studies-telah-pergi-in-memoriam-prof-dr-i-gusti-ngurah-bagus-1933-2003/)
Secara struktural, Pak Bagus mengklasifikasikan tiga tataran yang berubah karena kehadiran pembangunan pariwisata budaya yaitu infrastruktur, sosial struktur, dan superstruktur yaitu agama Hindu yang menjiwai, memberikan arah, makna, dan bentuk dari masyarakat Hindu Bali (Bagus, 1999: 19-20). Jika kita melacak konteksnya, tataran itu bersumber kepada pernyataan bahwa kebudayaan Bali selalu dikaitkan dengan tiga unsur, yang merupakan tiga lapis yang betumpang tindih satu sama lain yaitu: agama Hindu, adat istiadat dan budaya, serta ekspresi ritual dan seni. Kebudayaan Bali bersumber pada agama Hindu, mengilhami adat-istiadat masyarakat dan menjiwai lembaga adat, serta menjelma dalam bentuk seni yang bernilai tinggi (Picard, 2006: 268-269). Ketiga lapis kebudayaan Bali itulah yang terus-menerus diserang perubahan akibat berkembangnya pariwisata berskala besar yang melahap ribuan hektare tanah Bali.
Apabila transformasi dilihat secara historis, secara temporal sangat cepat terjadi. Keadaan Bali sebelum peristiwa 1965 masih dalam keadaan yang kehidupan masyarakatnya belum berorientasi pasar dan sangat kental dengan kehidupan kolektifnya. Pada masa itu masyarakat Bali menjalankan agamanya dengan mementingkan cara (ortopraksi) yang di Bali dikenal dengan melakukan penghayatan agama lewat upacara-upacara yang pelaksanaannya diselenggarakan secara kolektif. Setelah Peristiwa 1965 terjadilah perubahan yaitu karena dilakukan pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi yang telah berjalan lebih dari tiga puluh tahun. Katakanlah dalam proses PJP (Pembangunan Jangka Panjang)I masyarakat Bali telah berubah mendasar menjadi masyarakat yang berorientasi pasar.
Perkembangan pariwisata seperti itu yang memang sangat berbeda dengan pada awal mulanya menimbulkan pelbagai pandangan kritis yang muncul pada berbagai tataran, entah politik, budaya, ekonomi, sosial, dan keagamaan. Dengan keadaan yang demikian terjadilah tanggapan yang satu sama lain berbeda-beda bahkan bertentangan bukan saja antara masyarakat Bali sendiri tetapi juga dengan kelompok-kelompok luar terutama pemilik modal besar (investor). Apabila terdapat teresahan-keresahan yang muncul di permukaan itu, faktor penyebab utamanya adalah berkaitan dengan dikembangkannya pariwisata yang berskala besar yang artinya pariwisata yang terpadu dengan padat modal yang telah melahap ribuan hektare tanah di Bali.
Masyarakat Bali merasakan investasi tersebut telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat yang dulunya sangat kohesif dengan mendasari diri dan menjunjung nilai-nilai agama Hindu. Akan tetapi kemudian Pak Bagus beranggapan telah terjadi perubahan yang menimbulkan ketidakpastian yang muncul dalam berbagai hal. Ia berpandangan bahwa Bali telah mengalami perubahan sampai ke semua tataran: nfrastruktur, sosial struktur, dan superstruktur. Pembangunan dan laju pertumbuhan pariwisata akan terus berlanjut bahkan semakin kompleks dengan adanya globalisasi. Bagi Pak Bagus, keadaan demikian mencerminkan kermuitan bagi Bali sekaligus akan membawa keresahan-keresahan bahkan kekacauan yang mendisintegrasikan masyarakat Bali sendiri.
Keresahan sosial yang dimaksudkan Pak Bagus berakar jauh ke dalam batin orang Bali sehingga kemudian menjadi masalah serius oleh masyarakat secara luas. Keresahan yang telah masuk ke dalam batin yang terdalam itu adalah suatu kristalisasi dari pengalaman yang telah puluhan tahun berproses dalam pembangunan dan laju pariwisata yang terjadi di Bali. Bagi Pak Bagus, pembangunan dan pariwisata yang terjadi di Bali tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan pemerintah pusat (Jakarta) yang telah sukses secara masif mentransformasi masyarakat Bali dari agraris ke nonagraris. (Bagus, 1999: 19)
Pemikiran tentang transformasi struktural betul-betul terjadi masif dalam situasi Bali kontemporer. Kita masih akan terus mempertanyakan dan sudah tentu terus memikirkan dan berlaku sebagai manusia Bali yang tidak betul-betul secara total menyerahkan seluruh kehidupan kita kepada pariwisata. Sisi-sisi lain manusia Bali bagi saya adalah menantang diri kita sendiri untuk percaya kepada kemampuan individu dan kolektif masyarakat Bali untuk mencermati (secara kritis dan merumuskan alternatif) situasi dominan Bali kini. Kita juga ditantang sebagai orang Bali bukan hanya mencermati transformasi struktural, tetapi juga percaya dan mempraksiskan transformasi dari dalam diri kita sendiri untuk menata diri, keluarga, dan komunitas untuk jauh lebih kuat dalam mananggapi perubahan yang terjadi di sekitar kita.
Daftar Pustaka
Bagus, I.G.N (ed.). 1975. Bali dalam Sentuhan Pariwisata. Denpasar: Universitas Udayana.
Bagus, I.G.N. 1999. “Mengkondisikan Tampilnya Pemikir Pembangunan dalam Era Glokalisasi” dalam Wayan Suparta (ed), Bali dan Masa Depannya. Denpasar: Penerbit BP.
Darma Putra, I.N. 2003. “The Father of Balinese Studies” Telah Pergi; In Memoriam Prof Dr I Gusti Ngurah Bagus (1933-2003), Kompas, 19 Oktober 2003.
Picard. M. 2007. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: Kepustakaan Populer, Forum Jakarta-paris Ecole francaise d’Extreme-Orient.
Wijaya, I.N. 2012. “Relasi-relasi Kekuasaan di balik Pengelolaan Industri Pariwisata Bali”. Jurnal Humaniora, 24(2), p. 141-155.
1 Lebih jauh lihat: https://ahmad.web.id/sites/apa_dan_siapa_tempo/profil/I/20030618-04-I_2.html (diakses 19 Desember 2024).