
Perkembangan zaman membawa perubahan, termasuk dalam adat, tradisi, dan budaya. Salah satu tradisi yang ikut terbawa perubahan adalah prosesi ngaben. Ngaben dikenal sebagai prosesi pembakaran jenazah yang kerap memakan biaya besar dan waktu yang panjang.
Pada dasarnya, ngaben merupakan prosesi pembakaran sawa (mayat) untuk melepaskan atma (jiwa) orang yang sudah meninggal. Seiring berjalannya waktu, ngaben identik dengan penggunaan bade (wadah) yang memiliki ukiran mewah dan iringan petulangan (lembu, singa, dan lain-lain). Kecuali di sejumlah desa kuna atau Bali mula.
Biaya upacara ngaben pun semakin mahal dan memakan waktu berhari-hari, mulai dari ngulapin hingga nganyut. Setiap desa adat di Bali memiliki dresta (ketentuan) yang berbeda untuk pengabenan.
Di tengah-tengah itu hadir krematorium yang menyediakan jasa kremasi Ngaben. Proses pembakaran jenazah sama seperti Ngaben di sema (kuburan), tetapi dalam waktu yang lebih singkat dan pengeluaran yang lebih sedikit. Selain itu, tenaga yang dikeluarkan pun tidak banyak karena sudah ada pihak krematorium yang menyediakan jasa.
Di sisi lain, masih ada yang mempermasalahkan krematorium. Penggunaan krematorium dianggap tidak sesuai dengan dresta, padahal secara makna kedua proses ini tidak berbeda.
Krematorium pertama di Bali
Krematorium Santha Yana merupakan krematorium Hindu pertama di Bali yang didirikan pada tahun 2008 oleh soroh (klan) Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) di Bali. Krematorium ini berdiri di Jl. Jaya Sakti, Peguyangan Kangin, Denpasar. Sementara itu, kantor yayasannya berdiri tak jauh dari krematorium, yaitu di Jalan Cekomaria.
Selama kurang lebih 16 tahun berdiri, dari tahun 2008 – 2024, Krematorium Santha Yana telah melakukan kremasi sebanyak 7.797 sawa (jenazah). Krematorium ini hadir untuk menjawab kesulitan warga dalam melakukan ngaben atau pembakaran.
“Nah setelah kita buka, emang ada pro dan kontra. Ada yang bilang merusak adat budaya. Nanti setra yang ada di kampung-kampung itu tidak ada yang pergunakan dan seterusnya. Banyak itu,” ungkap Made Raka, pengurus Yayasan Santha Yana ketika ditemui di kantornya pada 16 Januari 2025.
Namun, seiring waktu, masyarakat akhirnya mulai menerima keberadaan krematorium, terutama masyarakat yang merantau ke kota/kabupaten lain. Bahkan jumlah krematorium bertambah signifikan. Meski harganya terjangkau, krematorium dinilai tidak mengurangi makna agama Hindu. “Karena jenis pengabenan itu banyak. Mana pun yang kita tuju, badan apa pun yang kita pakai, itu maknanya sama,” ujar Raka.

Sekitar 17 tahun yang lalu, ketika baru berdiri (krematorium pertama ini), Krematorium Santha Yana menawarkan harga mulai dari Rp1 juta untuk prosesi kremasi. Saat ini, harga paket kremasi yang paling murah adalah Rp8 juta dengan jenis mekinsan di geni. Ada pula paket ngaben nganyut seharga Rp16 juta, hingga paket yang paling mahal yaitu ngelanus jangkep seharga Rp32 juta.
Rekapitulasi Data Pemilet di Kremasi | Flourish
Dalam kurun waktu 2021-2024, paket kremasi yang paling banyak diambil adalah ngelanus. Pasalnya, paket ngelanus lebih efisien dibandingkan paket lainnya dan telah mencakup semua rangkaian upacara ngaben.
Ketika berbincang dengan Raka, Ia menyebutkan bahwa pemilet di krematorium tersebut berasal dari berbagai macam kalangan. Banyak juga yang meminta penggunaan petulangan ketika kremasi. “Tapi kan bukan itu yang dibawa ke surga, yang dibawa menyatu dengan Tuhan itu kan perbuatannya, karmanya,” ujar Raka.
Krematorium pada tahun 2020-2021
Kremasi paling banyak dilakukan pada tahun 2020-2021 ketika virus Covid-19 menyebar. Bahkan, dalam sehari Krematorium Santha Yana bisa melakukan kremasi belasan kali karena banyaknya pemilet. “Karena di desa itu tidak boleh kumpul bikin banten, menghindari keramaian,” ujar Raka.
Salah satu rekan kerja, Kresnanta, sempat mengikuti prosesi kremasi di Klungkung pada tahun 2020. Krematorium menjadi alternatif pada masa Covid-19 untuk membatasi keramaian. “Jarak dari meninggal sampai kremasi itu dua harian,” ujar Kresna.
Ketika kremasi berjalan, Kresna dan keluarganya menggunakan jas hujan sebagai APD (Alat Pelindung Diri) ‘ala-ala’. Prosesnya sangat cepat, sehari sudah selesai dan segala kebutuhan upacara telah disediakan oleh pihak krematorium.
Sebelum krematorium bermunculan di Bali, banyak warga dari luar Denpasar yang datang ke Krematorium Santha Yana. Kini setidaknya hampir setiap kabupaten/kota di Bali telah memiliki krematorium, beberapa di antaranya Yayasan Krematorium Pengayom Umat Hindu di Buleleng, Krematorium Kertha Semadi di Jimbaran, Krematorium Yayasan Dharma Kusuma di Klungkung, dan Krematorium Santha Graha di Tabanan.
Investasi Kematian
Ketika menghadiri sebuah acara, saya memulai cakap-cakap kecil mengisi waktu rehat. Saya bertanya pendapat beberapa rekan mengenai keberadaan krematorium. “Itu cita-cita aku,” ungkap Sri, seorang pekerja di suatu komunitas kampanye pengurangan sampah plastik.
Apa alasannya?. “Aku nggak mau ngerepotin orang-orang di sekitarku waktu meninggal. Kayaknya kalau krematorium bikin investasi kematian, aku bakal ikut. Aku terinspirasi dari temanku yang agama Islam, dia udah beli tanah untuk pemakamannya,” ujarnya. Usianya terbilang cukup muda, tetapi ia sudah memikirkan bagaimana nasibnya ketika meninggal ke depan. “Ya setelah kita hidup kan mati,” candanya sembari tertawa.
Sri mengungkapkan bahwa kebanyakan orang di desanya juga memilih krematorium dibandingkan prosesi ngaben. “Setra (kuburan) di desa aku itu sekarang udah rumput semua,” ujar Sri. Ia tinggal di Desa Ulakan, Kabupaten Karangasem dan masyarakat di sana kebanyakan merantau ke Denpasar. “Yang di Denpasar biasanya dikremasi di Cekomaria atau Setra Badung, yang di Karangasem dibawa ke Klungkung,” imbuhnya.
Di sela-sela percakapan, seorang pemuda bergabung. “Benar sih emang lebih simple kalau kremasi, tapi di Bali kan kental banget sama adatnya,” ungkap seorang pemuda bernama Yoga. Meski begitu, Yoga menyetujui pendapat Sri bahwa menyiapkan prosesi kematian dari sekarang adalah ide yang bagus.
Pro dan kontra mengenai krematorium memang sering terjadi. Memilih krematorium kerap dianggap menghilangkan semangat mebebanjaran (gotong royong) di Bali. “Kakek aku dulu dikremasi dan diomongin sama orang-orang,” ujar Ratih, salah satu teman diskusi saat itu.
Dalam suatu dialog Merah Putih yang disiarkan oleh Bali TV, seorang pengamat budaya, Ida Bagus Anom, menyebutkan bahwa maraknya kremasi saat ini mungkin saja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah kesulitan yang dirasakan masyarakat ketika desa adat tidak memberikan setra kepada orang yang meninggal.
“Barangkali perlu berbenah di desa adat atau desa pakraman. Andaikata desa pakraman dan desa adat ini memberikan solusi yang barangkali pengabenannya bisa dilaksanakan dengan biaya yang sangat minimal, maka saya kira malah lebih efektif dan efisien,” jelas Anom.
Ngaben dengan biaya minimal dapat ditemukan di beberapa desa Bali Mula atau Bali Aga. Umumnya, desa-desa Bali Mula tidak menggunakan petulangan dan bade. Beberapa desa bahkan tidak melaksanakan upacara pembakaran jenazah, seperti di Desa Tenganan dan Desa Trunyan.
Seperti yang dikatakan Made Raka, pro dan kontra memang akan selalu ada. Prosesi ngaben akan selalu membutuhkan uang dan biayanya pun akan terus meningkat seiring waktu. Selain itu, waktu juga harus dikorbankan, terlebih masyarakat Bali saat ini kejar-kejaran dengan waktu, bimbang antara pekerjaan atau upacara adat.
Tradisi dan adat kini makin cair. Entah lebih efisien atau tidak, tantangannya adalah memahami makna tiap ritual itu sendiri. Tidak hanya pasrah, nak mule keto.