Julukan sebagai Kampus Pewahyu Rakyat kerap ditautkan pada Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Bagi institusi pendidikan yang mengajarkan ilmu sastra, bahasa dan budaya, itu adalah tujuan. Kampus ini telah berdiri selama 53 tahun, di bulan September tahun ini. Separuh abad, waktu yang cukup lama untuk menempa diri. Memberi sumbangsih pemikiran di antaranya lewat sejumlah diskusi dan seminar yang bernapaskan khasanah lokal.
Selasa pekan lalu di auditorium kampus sastra Jalan Pulau Nias, lima orang duduk mengepalai forum. Satu di antaranya adalah moderator. Empat sisanya adalah narasumber. Mereka, para pembicara tersebut tengah membahas Cerita Tantri di Bal dari berbagai perspektif: peran dan nilainya sebagai karya sastra modern dan klasik, ikonografi, dan seni pertunjukkan.
Masing-masing, I Nyoman Darma Putra, I Nyoman Suarka, Kadek Suartaya, dan I Wayan Redig. Terkecuali Kadek Suartaya yang dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, ketiganya merupakan dosen di Fakultas Sastra Unud.
Cerita Tantri atau Satua Ni Diah Tantri menceritakan tentang tingkah laku para binatang yang didongengkan oleh Ni Diah Tantri pada Raja Patali Nagantun, Prabu Eswaryadala. Ia merupakan cerita berbingkai yang berjalin. Sebagai dongeng, ia kaya akan ajaran moral. Mengajarkan manusia dengan perumpaan langsung tentang hubungan sebab akibat sifat-sifat para binatang dan tokoh dalam cerita.
Bagi Wayan Suarka, Tantri memuat juga nilai ketuhanan, kemanusiaan, kecerdasan, kepedulian, kejujuran dan keadilan, gotong royong, dan kekokohan diri. Ada sejumlah motif yang menggerakkan cerita tantri. Dan motif-motif itu, mengutip Wayan Geria, merupakan implementasi dari filosofi maguru satwa berguru pada binatang, yang terkristalisasi ke dalam nilai-nilai yang dijadikan pedoman oleh suatu masyarakat yang hidup dalam sebuah dunia kehidupan yang dinamakan “dunia tantri”.
Tantri, dalam makalah Wayan Redig berkaitan dengan kata Tantra. Tantra ini memiliki beberapa mulai dari perkakas tenun, karya sastra yang membicarakan masalah doktrin agama, huruf-huruf mistik, metafisik, filsafat dan mantra hingga tentara. Kata Tantra ini berkaitan dengan ajaran agama, dan ajaran ini digubah ke dalam bentuk ceritra. Ceritra yang dikenal dengan cerita Tantri.
Ereksi
Potret sebabak relief muncul dalam materi presentasi Wayan Redig. “Ini agak porno,” katanya berguyon.
Benar saja, relief itu memuat adegan perempuan duduk bersimpuh bersama lelakinya. Lelaki itu telanjang dengan alat kelamin ereksi. Relief lain berisi adegan, sepasang burung saling berhadapan dengan memagut seekor kura-kura. Adegan ini terdapat dalam cerita Tantri.
Oleh masyarakat Bali, cerita Tantri diterjemahkan juga ke dalam bentuk seni pertunjukkan. Cerita Tantri, dalam materi Kadek Suartaya bahkan dipergunakan dalam drama tari Gambuh, teater tua yang lazimnya memakai cerita Panji atau Malat.
Tantri juga dipentaskan dalam pewayangan. Pada tahun 1984 dalam I Wayan Wija, menciptakan wayang kulit yang dinamainya Wayang Tantri. Sama seperti naskah besar seperti Ramayana, Mahabharata, Calon Arang, Panji dan sebagainya, Cerita Tantri juga mendapat tempat yang sama di dunia pertunjukkan Bali.
Antara sastra tradisional dan modern saling berutang-budi. Itu yang disampaikan Darma Putra, ketika menyandingkan novel Cok Sawitri; Tantri Perempuan yang bercerita (2011) dengan karya prosa Made Pasek; Carita Tantri. Darma Putra juga sempat membahas ideologi sang penulis. Persoalan marginalisasi perempuan, ideologi feminis dilekatkan dalam karya-karya Cok Sawitri yang tokoh sentralnya perempuan; janda dari Jirah dan Tantri ini.
Meski Tantri ini berupa teks atau dongeng lisan yang turun temurun, banyak yang percaya ia mengandung tuah, kekuatan seorang perempuan. Tantri, seperti ditulis Darma Putra memang tak bisa mencegah tawuran, bentrok antarwarga desa dan penyakit sosial. Akan tetapi hanya orang dungu yang tidak bisa mengambil pelajaran dari kias-kias dalam cerita tantri. [b]
ini seminarnya kapan? kenapa saya tidak dengar ya ….