Seniman jalanan memanfaatkan ruang-ruang kosong publik di Denpasar. Mereka mengubah dinding yang penuh coretan dan bekas poster iklan menjadi lukisan-lukisan mural.
Hanya dengan SMS dan telepon, satu demi satu pelukis, baik profesional maupun siswa sekolah seni rupa berdatangan di sebuah sudut jalan di Jl Tukad Balian Denpasar, Agustus lalu. Koordinator gelombang art street hari itu adalah I Wayan Januariawan alias Donal, penggerak Pentatonik Art Community.
Menurut Donal, tak sulit mengundang teman-teman pelukis datang bikin mural. “Kami punya semangat berekspresi yang sama, mengisi ruang-ruang publik di Bali dengan izin pemiliknya,” kata Donal.
Mereka serasa menemukan oase di tengah dahaga. Oase itu sebuah tembok rumah sekitar 10 meter di pinggir jalan yang penuh coretan graffiti dan bekas tempelan iklan-iklan liar.
Pemilik rumah memberikan izin para pelukis mengubah tembok setinggi tiga meter itu dengan lukisan-lukisan mural. Pelukisnya, belasan seniman ini, akan menggambar bebas.
Berbekal cat acrylic sisa studio dan kuas, satu persatu pelukis ini mencari areal temboknya dan memulai coretan-coretan kuas pertamanya. Dalam waktu dua jam, hampir 80 persen tembok sudah penuh dengan potongan-potongan lukisan dengan beragam pesan dan tema.
I Ketut Linggih, pelukis asal Karangasem membuat sejumlah gambar-gambar karakter monster kecil berwarna oranye. “Ini gambar spontan saja, kami bersenang-senang dengan tembok di sini,” ujarnya. Linggih mengatakan tak ingin membuat pesan-pesan yang terlalu verbal dalam tiap lukisan muralnya.
Spongebob
Pelukis paling muda, Sudarsana adalah siswa di SMA jurusan Seni Rupa di Gianyar. Ia membuat rangkaian gambar-gambar karakter kartun dalam serial Spongebob tapi dengan warna-warna suram seperti abu, hitam, dan biru. Tak berwarna-warni seperti tayangan kartunnya.
Beragam gaya lukisan seperti realis, abstrak, dan figuratif dan lainnya ini menyatu di tembok. Enak dilihat dan membuat sudut kota yang kumuh dengan coretan dan tumpang tindih iklan yang ditempel sembarangan.
Jelang sore, beberapa pelukis lain bergabung. Di antaranya Hazel, perempuan Skotlandia yang tinggal di Bali. Ia segera menanyakan di mana gambar yang belum selesai dan bisa direspon atau diisi pelukis lain. Beberapa pelukis mempersilakan merespon lukisannya. Hazel memilih melanjutkan modifikasi lukisan gajah dengan menambah aksen dan berwarna warni. Ia lalu berkolaborasi dengan Fuad, pelukis bermukim di Ubud yang baru dikenalnya.
Mereka tak khusus mendiskusikan apa yang akan dilukis, warna seperti apa, dan lainnya. Mereka seolah berkomunikasi melalui sapuan cat.
“Kami hanya membutuhkan ruang-ruang yang bisa diisi. Melukis mural adalah ruang bertemu teman dan bersenang-senang,” kata Donal. Ia menolak ide membuat mural sembarangan tanpa seijin pemilik tempat. Donal juga mengaku bukan tipe pelukis yang memperlihatkan pesan-pesan khusus atau wacana tertentu pada muralnya.
Kritik
Jika Donal dan kawan-kawannya melukis di jalan lebih untuk bersenang-senang, maka merbeda dengan Komunitas Pojok, komunitas seniman jalanan di Bali yang sarat kritik sosial. Baru-baru ini Pojok membuat sejumlah mural di beberapa tembok jalan atau tembok rumah dengan kritik pada industri pariwisata yang memiskinkan, dan kekuasaan yang kolutif.
Selain itu mereka membuat festival Baliho pada Juli lalu, memindahkan lukisan mural di tembok ke papan-papan baliho. “Kami tak bisa memindahkan dan menyatukan tembok ke lapangan, jadi pakai baliho saja,” ujarnya.
“Kami ingin mengajak warga semua orang bisa jadi seniman dan melukis isi hatinya dan dilihat orang lain,” kata Wiss H.P, salah satu pegiat Komunitas Pojok.
Festival Baliho ini tak hanya melibatkan seniman mural Bali tapi juga daerah lain seperti Jogja dan Jawa Timur. Ada 12 baliho dengan beragam tema yang dipamerkan di Lapangan Puputan Badung ketika itu.
Misalnya gambar yang mempertanyakan purifikasi ajeg Bali. Dilukiskan seorang perempuan membawa rangkaian sesajen buah atau gebogan sedang mengacungkan jari tengah. “Pariwisata mengharap kebudayaan Bali harus dijaga tapi tanah mereka terpaksa dijual,” jelas Wiss.
Dengan seni mural, Wiss menyatakan seni itu tidak elit dan bisa dinikmati di ruang public seperti jalanan. “Asalkan tak menyinggung sara dan pornografi,” katanya.
Selain Pentatonik Art Community dan Komunitas Pojok, sejumlah komunitas mural lain juga merebut sedikit ruang publik yang ada di Denpasar. Terakhir, isu lingkungan menarik perhatian mereka. Salah satunya di ujung Selatan Jl Nusa Indah dekat Art Centre. Sekitar 8 meter tembok berisi gambar dan tulisan dengan pesan yang sangat jelas. Beberapa gambar orang membawa papan berisi beragam tulisan. Di antaranya Traffic Jam, Sampah, Tata Ruang, Kembalikan Baliku, Kriminalitas, dan lainnya.
Melalui mural atau seni jalanan, para seniman ini membuat karya seni tak lagi elitis tapi juga mudah dinikmati dan bersuara. [b]
Versi bahasa Inggris dimuat di The Jakarta Post.