Sumur, kasur, dapur. Konon katanya itu adalah kodrat perempuan. Miris memang, tapi itulah gambaran nyata masyarakat patriarki Indonesia.
Kodrat itu yang membawa hubungan erat antara perempuan dan alam. Ketika alam diganggu, maka perempuan yang paling terdampak. Perempuan tidak lagi bisa memanen sayur untuk dimasak, tidak lagi bisa membeli bawang untuk kebutuhan dapur.
Isu ini menjadi bahasan dalam Festival 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) yang diselenggarakan oleh Sanggar Puan pada Jumat, 13 Desember 2024. Taman Baca Kesiman siang itu diisi lebih banyak perempuan. Mereka berbincang, tertawa, dan menangis bersama. Suara mereka mengiringi cuaca yang tak tentu siang itu.
Acara dibuka dengan tangisan salah satu perwakilan Sanggar Puan. Haru menyelimuti keberhasilan mereka dalam menyelenggarakan Festival 16 HAKTP. Diskusi pertama bertema “Menolak Basa-Basi Hijau: Sudahkah Bali Ramah terhadap Alam dan Perempuan?” menghadirkan perempuan tani Hutan Batur yang tengah melawan pencaplokan lahan.
Semiasih dari kelompok Tani Sari Merta berbagi trauma dan air mata. Ia merupakan salah satu anak dari 15 bersaudara yang sudah sejak lama tinggal di Batur. Hidupnya dan keluarga aman, tentram, dan damai hingga sebuah perusahaan masuk ke daerah Batur.
“Kami di sana sangat-sangat terganggu dan juga mau ke kebun kepikiran, ke mana-mana kepikiran gara-gara ada perusahaan masuk ke sana,” ungkap Semiasih. Masyarakat Batur hingga saat ini masih tidak lepas dari bayang-bayang alat berat yang menghancurkan tanah mereka.
Sebagai perempuan tani, Semiasih pernah mendekam di jeruji besi karena hendak melawan. “Saya kan tidak tahu hukum, kami itu cuma masyarakat kecil di sana. Saya sendiri tidak pernah sekolah,” ujar Semiasih ketika mengungkapkan alasannya dipenjara saat itu.
Siang itu di hadapan puluhan peserta, Semiasih meneteskan air matanya. Ia menceritakan tentang pesannya kepada anaknya yang saat ini tengah menginjak bangku SMP. “Nak, kamu sekolah biar nggak kayak ibu. Ibu ini bodoh nggak tahu apa-apa. Biar nggak kayak sekarang ini, ada orang pintar-pintar yang pengen nguasain tempat tinggal kita,” ungkap Semiasih terbata-bata di tengah tangisnya.
Perampasan lahan itu berlangsung di malam hari ketika warga seharusnya tertidur lelap. Rezky Pratiwi dari LBH Bali turut membersamai perjuangan masyarakat Batur dalam mempertahankan hak mereka. Ia menceritakan kesaksiannya melihat resistensi warga.
“Itu luar biasa, termasuk kelompok perempuan seperti Mbok Semiasih, yang berkumpul begitu alat beratnya masuk mereka berkumpul menghadang, mendokumentasikan dan disebarkan kepada orang-orang yang mendukung perjuangan warga,” ungkap Pratiwi.
Paradigma lama menganggap bahwa hutan tidak boleh ditinggali dan harus bebas dari jamahan manusia. Padahal, sebelum Indonesia merdeka banyak masyarakat yang tinggal di hutan. Seperti halnya keluarga Semiasih yang telah tinggal di hutan secara turun temurun. Ironi terjadi ketika ada klaim negara atas hutan. Masyarakat seolah-olah tidak lagi punya kontrol dan akses terhadap hutan.
Suryadi Darmoko dari 350 Indonesia menyebutkan bahwa ini adalah buah pariwisata Bali yang dibangun dari konflik. Gula-gula pariwisata yang kini dinikmati berakar dari konflik tersebut. “Masalahnya numpuk dan ditumpuk berlipat-lipat dan kita dihadapkan seolah-olah problem itu tetangga kita yang menyebabkan,” ungkap Darmoko.
Konflik agraria di Batur dibuat seolah-olah terdapat pro dan kontra antar masyarakat Batur, padahal permasalahannya adalah investor itu sendiri. Begitu pula dengan penggusuran di Pulau Serangan ketika membangun Bali Turtle Island Development dibuat seolah masyarakat terlibat konflik pro dan kontra.
Bukan hanya perempuan, kaum marginal seperti LGBTQ+ juga terdampak kerusakan alam. Salah satu pembicara datang dari Queer Archive Indonesia. “Kalau misalnya ada bencana alam pun kayak udah jatuh, ditimpa tangga pula,” ungkap Ais dalam sesi diskusi.
Pasalnya, ada beberapa kasus ketika kelompok LGBTQ+ mengungsi ke tempat pengungsian, mereka ditolak karena identitasnya. Kasus ini terjadi pada tahun 2010. Saat itu terdapat kelompok transpuan yang terdampak letusan gunung berapi.
“Mereka pas mau ke pengungsian nggak diakui gitu loh. Jadi nggak ada di data, ada data berapa transpuan nggak ada. Dihapuskan identitasnya, dianggap nggak ada gitu,” ujar Ais. Akhirnya mereka pun membuat pengungsian sendiri. Mereka bahkan membuka tempat potong rambut (barber) gratis agar diakui oleh masyarakat di sana.
Perempuan, anak, dan kaum marginal adalah kelompok yang rentan ketika bencana melanda. Masyarakat patriarki memberikan peran domestik kepada perempuan, tapi kemudian merampas alam yang menjadi bagian penting dari peran itu.
Diawali dengan tangis, diakhiri pula dengan tangis. Para perempuan yang hadir hingga sore itu membentuk lingkaran. Mereka saling memberikan afirmasi positif, saling menguatkan satu sama lain.