Pagi itu menjadi kali ketigaku mengunjungi Annika Linden Centre. Namun, belum berpuas diri, masih terbayang rasa kepo dengan isi ruangan-ruangan di sana. Sekian kali berkegiatan, dari yang ku ketahui, ruangan itu adalah tempat rehabilitasi para penyandang disabilitas.
Terbesit rasa penasaran, lalu ku ketuk salah satu pintu yang ternyata ruangan kelas. Sembari meminta izin untuk mengambil foto, senyuman para caregiver seolah menjadi ungkapan menerima keberadaanku. Waktu menunjukkan pukul 10 kurang, sudah tampak dua anak dengan kursi rodanya di depan meja. Ketukan pintu pun bergantian memanggil, satu per satu hadir pula anak lainnya. Masih dengan kursi rodanya, serta beberapa dengan penyangga kaki atau AFO (ankle foot orthosis) mereka.
Ada 8 anak yang hadir dalam kelas pada hari Sabtu itu. Dengan raut penasaran namun serius, mereka saling bertegur sapa satu sama lain. Mereka diberikan alat tulis dan kertas origami yang sudah dipotong dengan beragam pola menyerupai kelopak bunga. “Tulis ucapan atau kata-kata dari kalian ya, nanti bakal dirangkai jadi bunga,” ungkap Rika, salah satu caregiver yang merupakan mahasiswa magang di tempat tersebut.
Bukan sekadar rangkaian kata, tetapi ungkapan cinta dari hati yang tulus dari mereka. Bergeming pada sebuah momen heartwarming. Semuanya dirayakan, seketika terenyuh dalam hati. Sekaligus sebuah ingatan pada dukungan, segala tantangan semoga diberkati.
“Selamat hari ibu. Terima kasih mamak karena sudah merawat Putu dari kecil hingga besar, dan juga sudah sabar jika Putu nakal. Mamak adalah pahlawanku. Selamat hari ibu dari Putu.”
Kegiatan ini merupakan rangkaian kelas sosial interaksi, salah satu Program Edukasi Informal oleh Yayasan Peduli Kemanusiaan (YPK) Bali – dengan menyediakan ‘kelas’ yang dimodifikasi khusus untuk anak-anak dengan disabilitas fisik.