Yang Dimuliakan Mpu Jaya Prema.. Apakah mewarisi dan menjaga kelestarian alam dan budaya Bali hari ini cukup dengan merenung?
Beberapa hari ini rakyat Bali yang menentang rencana reklamsi Teluk Benoa merasa seperti “diludahi”.
Perasaan itu muncul setelah membaca berita online berjudul, ”Peserta Kongres PHDI sepakat Teluk Benoa Direvitalisasi.
Saya dan kawan-kawan, berbekal kesadaran dan pemahaman, sudah tiga tahun ikut berjuang mengorbankan waktu, pikiran dan tenaga untuk membatalkan rencana proyek ini. Tidak ada motif kepentingan terselubung apa pun kecuali nurani dan akal sehat. Kami tidak rela alam Bali dan kedaulatan rakyatnya atas ruang publik bersama tatanan budayanya dirusak dan dijarah.
Kami tak mau mengorbankan Bali hanya untuk memenuhi keserakahan investor dan makelarnya. Kami tak mau tertipu dengan embel-embel alasan pembangunan dan peningkatan ekonomi Bali. Sebab, semua dalih itu semu dalam angka-angka saja.
Kami juga berjuang atas dasar kepentingan untuk mengamalkan keyakinan yang kami pelajari dari agama Hindu. Bahwa menjaga keseimbangan alam (palemahan) ialah salah satu jalan dan cara paling luhur untuk berbakti kepada Yang Maha Pencipta.
Tapi, bagaimana saya dan kawan-kawan dalam barisan bisa diam dan tenang saja ketika ada berita bahwa Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), lembaga yang mengatasnamakan agama Hindu, justru mendukung rencana perusakan dan penjarahan pelemahan Teluk Benoa itu? Apalagi di berita itu ada foto mereka membawa pula spanduk dukungan di tempat yang mengesankan venue kongres PHDI tersebut.
Ada juga pernyataan bahwa akan diadakan pembahasan untuk mendukung rencana busuk itu sehingga nantinya dijadikan rekomendasi untuk memuluskan rencana mengurug Teluk Benoa.
Jika itu benar, entah suara umat mana yang diwakili PHDI untuk dijadikan sebagai rekomendasi? Apa hanya sebatas itu tindak lanjut PHDI setelah menentukan Teluk Benoa sebagai salah satu kawasan suci?
Selain saya, banyak rakyat Bali berusaha ikut bersuara, bersikap dan mempertanyakan kebenaran berita tersebut. Karena berita tersebut membawa nama kongres PHDI, saya kemudian juga mempertanyakan: bagaimana sebenarnya sikap PHDI terhadap rencana reklamasi di Teluk Benoa?
Tapi saya juga berpikir positif sembari menunggu dan berharap PHDI sebagai lembaga umat Hindu yang dibiaya pajak rakyat, bisa secara resmi akan membantah isi berita tersebut. Saya berharap PHDI memberikan dukungan moral, tanpa harus keluar dari koridor agama, untuk mengembalikan Teluk Benoa sebagai daerah konservasi agar kesucian palemahan-nya tetap terjaga.
Semoga PHDI juga memberikan teguran kepada pihak-pihak terkait di internal PHDI karena telah membuat “cemer” kongres dengan pernyataan dalam berita online tersebut. Pernyataan mendukung rencana proyek yang dalam banyak kajian dinyatakan tidak layak dan sangat berpotensi merusak alam.
Seperti warga di Kalimantan yang susah bernapas akibat asap pembakaran hutan menunggu hujan, bukan berita tentang hujan dan udara segar yang datang, tapi berita lahan sisa pembakaraan itu ditumbuhi sawit malah beredar. Mungkin begitu rasanya ketika saya membaca tulisan Parisada Hindu dan Teluk Benoa dari Mpu Jaya Prema yang saya anggap cukup kompeten menjadi corong atau representatif suara PHDI ke hadapan umat.
Dalam tulisan tersebut, yang saya tangkap dan pahami adalah, Mpu menyatakan bahwa berita peserta kongres PHDI sepakat Teluk Benoa direvitalisasi hanyalah pernyataan pribadi dari pengurus harian PHDI. Pernyataan itu tidak mewakili pandangan kongres atau PHDI secara menyeluruh. Pembahasan tentang rencana reklamasi di Teluk Benoa tidak menjadi pembahasan penting dalam Kongres PHDI.
Mpu juga menyatakan PHDI hanya bertugas mengawal kesucian Teluk Benoa dan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan agama. Masalah keberlangsungan rencana reklamsi merupakan urusan pemerintah yang merupakan otoritas pemberi izin. Jika PHDI ikut menentukan sikap melawan atau mendukung rencana reklamasi Teluk Benoa berarti keluar dari koridor agama. Mpu meminta jangan ada usaha menggiring PHDI keluar dari koridor agama.
Terakhir yang saya tangkap dalam tulisan Mpu Jaya Prema ialah dalam kasus ini masyarakat Bali sangat mudah diadu domba oleh pihak luar. Karena itu, Mpu sangat menyayangkan para orang suci yang diam dan mungkin sebenarnya sepakat tentang perlawanan rencana reklamsi Teluk Benoa pun dihujat sehingga kita sebagai orang Bali perlu merenung.
Secara pribadi pertama-tama saya cukup senang mendengar klarifikasi Mpu Jaya Prema. Bahwa yang memberikam pernyataan tersebut hanya bersifat pribadi dari pengurus harian PHDI dan tidak serta merta mewakili pandangan kongres atau PHDI secara menyeluruh.
Tapi saya sangat menyayangkan ketika ada ancaman besar dan nyata terhadap Teluk Benoa, hal itu tidak menjadi salah satu prioritas pembahasan dalam Kongres PHDI. Padahal, banyak alih fungsi lahan di Bali yang tidak berpihak kepada kepentingan umat dan kelestarian alam maupun budaya Bali. Jika berkaca pada pengalaman proyek gagal reklamasi Pulau Serangan, reklamasi menyebabkan rusaknya pulau dan lingkungan hidup.
Saya tidak ada usaha untuk menggiring atau menginginkan Mpu Jaya Prema atau PHDI keluar dari koridor agama. Karena saya juga belum jelas koridor agama yang Mpu Jaya Prema maksud. Apa ikut menolak kelaliman pemerintah mengubah daerah konservasi Teluk Benoa untuk kepentingan bisnis semata sudah keluar dari koridor agama? Apa koridor agama itu begitu kotak dan sesempit itu?
Bukankah dalam agama Hindu yang saya pahami dalam beragama tidak saja tentang menjaga hubungan manusia dengan tuhan, tapi juga manusia dengan manusia dan manusia dengan alam dan isinya? Jikalau pun koridor agama itu sesempit pernyataan Mpu Jaya Prema yang saya pahami, lalu apa pengurus harian PHDI yang mendukung reklamasi tersebut masih ada di koridor agama yang Mpu maksud?
Apa itu tidak cukup untuk dikatakan sebagai upaya penggiringan PHDI keluar dari koridor seperti pernyataan Mpu? Standar ganda yang Mpu Jaya Prema sajikan apa tidak cukup menggelikan?
Saya paham memang menjadi urusan pemerintah daerah dan pusat mengenai otoritas pemberi izin. Tapi sebagaimana manusia yang hidup dan berpikir, apa kita akan harus selalu manut dan menerima dengan segala keputusan? Apakah kita harus seperti kisah klasik Animal Farm, di mana babi pintar selalu butuh anjing kuat untuk menegakkan kekuasaannya lalu binatang lain nrimo dan manut ?
Bagaimana jika izin dan keputusan itu akan merugikan alam anak dan cucu kita demi keuntungan modal dan segelintir makear di dalamnya? Apa dalam agama kita tidak diajarkan untuk berpihak pada keadilan sosial dan kelestarian lingkungan? Saya tidak antipati terhadap pembangunan, jika misalnya Mpu Jaya Prema nanti akan menjawab bahwa Pulau Pudut dan Teluk Benoa akan direvitalisasi.
Tapi, apa kira-kira Bali begitu miskin hingga tidak bisa melakukan pelestarian dan penjagaan atas kesucian pelemahan tanpa bantuan investor dengan banyak embel embel kepentingan bisnis pemodal dengan besarnya potensi perusakan ?
Mpu Jaya Prema juga menyatakan kalau tugas PHDI sebagai lembaga ialah mengawal kesucian Teluk Benoa. Lalu apa pemahaman dari kata mengawal itu? Apa cukup hanya dengan menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan suci lalu habis perkara?
Saya tidak memaksa para suci di jajaran PHDI untuk ikut turun ke jalan atau ikut aksi yang penuh keringat. Hal yang mungkin menurut Mpu masih begitu berbau duniawi walaupun dari pemahaman saya itu sangat sah dan mulia untuk dilakukan oleh orang suci. Tapi, apakah menentukan sikap dan menyatakan dukungan untuk mengembalikan kawasan suci Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi juga masih begitu duniawi hingga tidak layak juga dilakukan oleh orang suci?
Lalu apa kesucian itu hanya sesuatu yang bersifat diam seperti arca? Jika ya, akan begitu lucu saya bayangkan kalau dalam kisah Maha Bharata Krisna yang disucikan oleh banyak manusia hanya diam untuk menjaga identitas kesuciannya.
Saya juga ikut menyayangkan jika benar kata Mpu Jaya Prema bahwa masyarakat Bali hari ini begitu mudah diadu domba oleh pihak luar sehingga para suci yang diam dan mungkin sebenarnya sepakat tentang perlawanan rencana reklamsi Teluk Benoa pun dihujat.
Mpu Jaya Prema mungkin perlu merenung untuk bisa memberitahukan kepada kami dengan lebih jelas, siapa pihak luar yang Mpu maksud tersebut. Bukankah yang menyulut api kemarahan umat itu justru pengurus harian PHDI yang secara gamblang menyatakan dukungan kepada proyek ngurug Teluk Benoa dan memamerkannya di berita online.
Saya ingat bebeberapa waktu lalu melalui halaman Facebook yang jauh dari duniawi, Mpu Jaya Prema pernah mencibir umat yang menghaturkan gebogan berisikan minuman kaleng larutan panas dalam.
Saya sangat takut. Jangan-jangan Mpu juga akan mencibir ketika umat melakukan kegiatan melasti di pelataran hotel megah di pinggir laut seandainya reklamasi Teluk Benoa terjadi dan berakhir seperti Pulau Serangan yang mengakibatkan abrasi di mana mana. Jikping tok tok tok.. [b]