Di Luar ekspektasi, uji coba penerapan pertanian sehat dan ramah lingkungan seluas 10 are di Subak Catur Angga, Tabanan menghasilkan panen yang memuaskan. Hasil ini tepat diperoleh dalam acara Panen Perdana pada Sabtu, 11 Desember 2021, “Awalnya saya kira dalam 5 are ini hanya memperoleh sekitar 300 kg, tapi ternyata lebih dari itu,” ungkap Nengah Sutamaya, Pekaseh Subak Rejasa.
Sejak November 2020, IDEP mulai membangun dialog bersama petani-petani di Subak Catur Angga. Kemudian melakukan pendampingan ke petani yang tergabung dalam kelompok kerja. Dalam proses pendampingan, ada beberapa pelatihan yang dilakukan, di antaranya pelatihan manajemen organisasi, permakultur, penyusunan peta subak, serta pendataan anggota subak sesuai dengan aspek sosial budaya, ekologi, dan ekonomi. “Tujuan dari pendampingan ini untuk meningkatkan kapasitas petani dalam menerapkan pertanian ramah lingkungan serta penguatan keorganisasian subak,” ungkap Wahyu dari Yayasan IDEP Selaras Alam.
Para petani yang tergabung dalam 20 subak menyambut baik pendampingan yang mengarah pada pertanian ramah lingkungan. “Ini untungnya ada Yayasan [IDEP] yang mendampingi, tiang selaku Pekaseh Subak Rejasa memberanikan diri untuk membuat demplot. Selain mengurangi zat-zat kimia yang berbahaya untuk kesehatan, kalo menggunakan kimia jelas nike lebih mengeluarkan biaya banyak,” terang pria yang kerap disapa Pak Cip ini.
Sambutan baik para petani hadir ketika proses untuk menuju pertanian yang ramah lingkungan yang awalnya dianggap sulit, ternyata lebih mudah dan tidak menguras biaya. “Kalo organik kan bisa memanfaatkan apa yang ada di sekitar kita, untuk pupuk lah, atau pengendali hama, nike artinya menghemat biaya, disamping itu juga kualitas, mutu dari padi itu, untuk kesehatan,” ungkap I Wayan Juliana, Pekaseh Subak Sri Gumana. Tidak hanya menghemat biaya, pertanian yang memanfaatkan bahan-bahan organik ini juga terbebas dari serangan tikus yang bahkan pernah menggagalkan panen. “Selama menerapkan pertanian sehat niki, tikus ten wenten [tidak ada]. Biasanya kalo pake kimia, tikus wenten,” terang Pak Cip.
Tidak adanya serangan tikus membuat hasil panen Pak Cip semakin meningkat. Setelah acara selesai, bersama tim IDEP, Pria yang telah menjadi Pekaseh Subak dari tahun 2018 ini mengunjungi rumah produksi Beras Organik Jatiluwih. “Ini setelah ditimbang, total berat gabah sampai 445 kg,” ungkap Pak Cip.
Beberapa keuntungan yang diperoleh petani memperkuat tekad mereka untuk terus berupaya menerapkan pertanian yang ramah lingkungan. Meskipun ada beberapa serangga pengganggu, namun tidak melebihi batas normal. Juliana pun menambahkan, “kalo serangga pasti saja ada, tapi kan berputar dia, ada predatornya nike. Kalo pakai kimia, sama, semua akan mati, baik itu hama maupun predatornya. Jadi kita disini ingin menjaga ekosistem alaminya.”
Pak Cip maupun Juliana dengan jelas mengetahui dampak buruk dari penggunaan bahan kimia yang berlebih, sebab pengetahuan tentang pertanian yang ramah lingkungan masih ada dalam ingatan mereka. Namun semenjak revolusi hijau, petani dibuat tergantung oleh pertanian kimia. Padahal Subak Catur Angga diakui sebagai situs warisan dunia menurut UNESCO yang perlu dijaga kelestarian alam dan budayanya. “Kami ingin bersama-sama dengan petani dalam upaya-upaya menjaga warisan budaya dunia ini, terutama kelestarian subak dan lingkungannya,” tambah Wahyu yang rutin mendampingi petani.
Catur Angga tidak hanya menjadi warisan budaya dunia yang perlu dilestarikan, tapi juga kunci dari kedaulatan pangan di Bali. Sistem yang berjalan turun temurun ini telah menghidupi sebagian besar masyarakat Bali.
Langkah yang dimulai Subak Catur Angga menunjukan bahwa mereka mampu berdaulat sebagai petani. Dalam acara Panen Perdana ini, perwakilan pemerintah Tabanan mengungkapkan janjinya untuk, “mencoba kedepannya perlahan-lahan ke arah pertanian organik, sehingga kami pemerintah Kabupaten Tabanan sangat mengapresiasi dan mendukung kegiatan ini.”