Upaya untuk merusak Tanah dan Budaya Bali semakin menguat.
Aturan yang menjaga taksu Bali, seperti pembatasan tinggi bangunan dan batas kesucian bangunan suci, hendak dipreteli oleh sejumlah kalangan. Banyak yang menyebut ada tangan-tangan tak terlihat (invicible hands) yang dengan sistematis berusaha menghancurkan Bali.
Hingga kini tidak pernah jelas dan pasti siapa sebenarnya the invicible hands itu. Tapi kalau mau berpikir secara jujur, sesungguhnya tanah dan budaya Bali tidak mungkin bisa dihancurkan oleh siapapun terutama orang-orang dari luar (outsider). Bali hanya akan rusak oleh orang-orang Bali sendiri (insider).
Investor mungkin sering disangkakan sebagai the invicible hands. Mereka sekaligus kambing hitam yang selalu dituding menjadi kekuatan di balik upaya menghancurkan tanah Bali. Investor seolah-olah menjadi mahluk buas yang bisa memangsa apa saja demi pencapaian hasratnya mengakumulasi modal. Setiap ada perdebatan publik tentang ancaman yang menghancurkan Bali, maka investor selalu berada di urutan paling teratas sebagai pihak pengancam paling berbahaya.
Selama ini, masyarakat Bali selalu diberi gambaran bahwa investor adalah pihak yang menguasai begitu banyak uang dan menjadikan uang tersebut sebagai kekuatan maha dahsyat. Investor yang bisa mengalahkan apa saja dan siapa saja, bahkan kekuatan para dewa-dewa yang bersemayam di Pulau Dewata sekalipun.
Memang uang dalam masyarakat kapitalistik telah menjelma menjadi benda yang bisa melakukan apa saja. Hampir semua yang berwujud dan tak berwujud didunia ini kini bisa dikuasai oleh mereka yang memiliki uang memadai. Siapa memiliki uang berlimpah, ia akan memiliki kuasa untuk menundukkan siapa saja.
Demikian dahsyatnya kekuatan uang menjadikan watak-watak buruk manusi. Salah satunya watak munafik atau penuh kepura-puraan menjadi semakin menguat. Munafik adalah watak manusia tidak sinkron, antara pikiran, perkataan dan perbuatannya. Misalnya mulutnya mengatakan “A”, tapi perbuatannya ternyata “B”, sementara pikirannya sesungguhnya adalah “C”.
Manusia Bali juga memiliki watak munafik yang dalam. Dalam wacana publik contohnya, banyak manusia Bali mulai dari pejabat dan masyrakat biasa pastilah dengan mudah bersepakat agar Bali dijaga jangan sampai terjerembab dalam jurang kehancurannya. Budaya Bali harus dipertahankan dengan mewaspadai setiap budaya luar yang sekiranya bisa mengancam.
Kesucian tanah Bali adalah kekuatan yang menjaga taksu dan menjadikan Bali memiliki keunikan di mata dunia, sehingga sangatlah penting untuk di pertahankan.
Gemerincing
Namun apa yang terucap soal menjaga Bali ini tidak sepenuhnya merasuk kedalam pikiran manusia Bali. Ketika berhadapan dengan gemerincing rupiah atau dolar, manusia Bali dengan mudah tunduk. Tanah-tanah pertanian yang dimiliki, mudah saja dijual kepada siapa saja asal berani membeli dengan harga dianggap sepadan. Sementara yang lain, menyewakan tanah-tanah kosong mereka kepada kaum urban yang datang dari segala penjuru.
Ada juga manusia Bali yang berusaha mengais rezeki dengan membangun tempat-tempat kost yang bisa disewakan kepada kaum urban yang datang dari budaya berbeda. Tanpa sadar, sebenarnya ada demikian banyak manusia Bali yang ikut menjadi pendukung menguatnya ancaman terhadap semua yang ingin dipertahankan. Manusia Bali yang memungkinkan setiap ancaman potensial bisa berada dengan nyaman dan aman di tanah Bali ini.
Kemunafikan serupa juga mengendap di pikiran para pejabat, tokoh masyarakat dan pemimpin-pemimpin Bali dalam segala lini. Penolakan atas semua potensi yang mengancam Bali, selalu riuh di wacana-wacana publik. Semua mengatakan sepakat, bahwa segala bentuk ancaman yang akan merusak Bali harus ditolak dan dilawan. Pertanian sebagai ruh utama dari budaya Bal misalnya, menurut para pemimpin harus diperhatikan jangan sampai punah.
Namun, dalam tindakkan dan perbuatannya, kebijakan yang dikeluarkan kemudian justru berkebalikan. Tanah pertanian dikenakan pajak tinggi. Saluran-saluran air yang mengairi lahan pertanian tidak pernah diperhatikan. Pembangunan-pembangunan jalan yang memicu pengalihan lahan tidak mampu dibendung. Pajak yang tinggi dan air yang sulit, memaksa petani menjual tanah pertaniannya.
Ironisnya, uang hasil penjualan tanah di pergunakan untuk membeli barang-barang dan kenikmatan-kenikmatan remeh temeh.
Para pejabat yang didukung akademisi pragmatis, dengan berbagai argumentasi berusaha menghapus peraturan yang jelas-jelas ditujukan untuk menjaga tanah dan budaya Bali. Argumentasi penghapusan ketentuan yang memuat aturan menjaga Bali, didasarkan pada hitung-hitungan untung rugi secara materiil semata. Skala-skala ekonomi dalam bentuk pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan pengangguran dan ditambah dengan sedikit bumbu-bumbu argument teknis tentang masalah keterbatasan ruang di jadikan dasar argumentasi. Inilah wujud ketidaksinkronan antara pikiran, perkataan dan perbuatan.
Kemunafikan manusia-manusia Bali, lambat laun menghancurkan tanah dan budaya Bali. Menyelamatkan Bali hanya ramai sebatas wacana, tanpa mampu diterjemahkan menjadi tindakan nyata (praksis). Padahal menyelamatkan tidak hanya sebatas bicara, tidak hanya sebatas pikiran. Pada akhirnya tindakanlah yang paling penting jika ingin Bali benar-benar ingin diselamatkan.
Jika pikiran manusia Bali telah tunduk secara total pada kenikmatan yang dihasilkan dari gemerincing dolar dan rupiah, maka ketundukkan sudah berada pada tingkatannya yang paling dalam.
Manusia Bali, kalaupun benar-benar ingin menjamin masa depan yang lebih baik seharusnya melepaskan diri dari kemunafikan. Kejujuran adalah yang paling utama, yang bisa menjadi obat mujarab bagi kemunafikan. Falsafah Hindu dari para tetua telah mengajarkan cara bagaimana manusia bisa menjadi jujur. Para tetua Hindu di Bali menyebutnya dengan Tri Kaya Parisudha. Falsafah yang mensinkronkan pikiran, perkataan dan perbuatan, agar ketiga-tiganya menuju pada kebaikan, kepada penyelamatan Bali.
Jadi, tak ada yang bisa menghancurkan Bali, kecuali Manusia-manusia Bali sendiri. [b]
Banyak elite yang merasa terenyuh dengan keadaan Bali kekinian, seperti yang diungkap pada tulisan diatas. Sekali lagi, sikap itu saja tidak cukup dan kurang logis, yang dibutuhkan adalah realitas dilapangan, sebagai legalitas kongkrit.
seharusnya semua sadar,
kalau pulau bali sudah memasuki keadaan yang crowded,,
di perlukan penegasan dari semua wacana.
wacana semata tak akan merubah apa pun.kecuali wacana di barengi dengan tindakan langsung..
mulai membenahi diri sendiri dan sadar akan kesalahan adalah sebuah awal dari perbaikan menuju keadaan yg lebih baik.
ok. wacana di atas saya akui benar..
namun kini bali sudah memasuki jaman GLOBAL bahkan akan menjadi BETAWI ke 2 di. Indonesia..
Orang”asli bali mnjadi BABU di tanah mreka sndiri(trmasuk sya)..
Anak muda zaman sekarang mana da yg mau berkotor”an brcita” mnjadi petani..hanya 10 dr 10.000 truna truni Bali..
Swah mnjadi villa, hottel,,kost”an, kenapa?? karna mereka butuh uang, karna mreka tak bisa mngandalkan tnah sawahnya yg kering.. percuma mreka mmprtahankan sepetak 2ptak sawah sedangkan kanan dan kiri sudah mnjadi beton!!
15th lagi bali akan mnglami krisis air bersih!! lalu apa yg kini bisa kita lakukan??
tidak cukup hanya menyalahkan saja…
tapi apa yg bisa kita lakukan?? apa??