Oleh Luh De Suriyani
Buka puasa dengan ayam betutu? Sebenarnya ini bukan pilihan saya, tapi suami yang doyan pedas. Beberapa hari ini ia terus menunjukkan nafsunya untuk mencoba ayam kampung berkuah super pedas ini. Karena itu saya dengan setengah rela hati mengiyakan ajakannya untuk buka puasa di warung makan Be Tutu Gilimanuk di Jalan Merdeka, Renon, Denpasar Jumat pekan lalu.
Sesampai di warung makan, seorang petugas menyambut dengan menyodorkan kertas menu. Saya persilakan pramusaji itu meninggalkan saya sebentar karena saya mau menyimak menu dulu. Eh, nona pramusaji ini abai saja, dan terus nyanggongin saya. Oke deh, barangkali dia lagi capek duduk dan ingin berdiri di samping pembelinya.
Setelah memesan, tiga menit kemudian satu set menu sudah terhampar di meja. Cepat sekali, melebihi makanan cepat saji. Karena ayamnya sudah matang dalam panci tinggal dipindah ke piring-piring kecil saja.
Waktu buka puasa tinggal 10 menit lagi, sementara Bani, anak saya, dan ayahnya tengah jalan-jalan sekitar tempat makan. Tiba-tiba nona pramusaji tadi menegur saya, “Aduh, ibu puasa ya? Pasti ibu lama ya makannya, pindah ke meja sana saja.” Saya bengong. Sungguh saya kaget dengan tegurannya yang datang tiba-tiba sementara saya tengah khusyuk melihat jam dinding.
“Pindah ke mana?” tanya saya.
“Itu di meja sana saja,” jawabnya sambil sigap mengambil set menu untuk dipindahkan ke meja sebelah. Setelah itu tinggallah saya yang menerka-nerka apa yang terjadi hingga saya harus pindah. Si nona tidak memberikan penjelasan sama sekali soal itu.
Hasil terkaan saya adalah ada sekelompok orang yang telah reservasi tempat. Saya lihat petugas sibuk mempersiapkan mangkuk cuci tangan di meja-meja yang disusun memanjang.
Hampir 30 menit setelah mulai makan, satu persatu kelompok pemesan itu berdatangan. Sejumlah pembeli individual lainnya juga makin membuat ramai rumah makan, sementara pegawainya terlihat siaga mengamankan meja-meja tertentu agar tak diduduki pembeli lain. Sulit juga karena tidak ada tanda bahwa meja itu sudah dipesan, kalau ada kan pembeli lain tak mungkin mendudukinya.
Belajar dari pengalaman di rumah makan Ayam Betutu Gilmanuk di Jl Merdeka Renon itu, saya jadi ingat kembali. Secara umum, saya lihat sejumlah ganjalan promosi wisata kuliner Bali adalah soal servis, perlakuan diskriminasi, cita rasa yang berbeda dengan aslinya, dan pilihan makanan lokal yang terbatas (jika ingin makan di warung besar atau restoran).
Ada pengalaman teman-teman saya ketika makan di Restoran Ulam Nusa Dua. Ini sih memang pengalaman sudah lama banget. Kalau tidak salah pada tahun 2003 lalu.
Teman-teman wartawan berbagai media nasional, yang sebagian besar berpakaian santai dengan celana jins dan kaos oblong itu, mengalami diskrimasi saat makan di sana. Ketika mereka datang, pelayannya bermuka manyun. Pelayanannya juga biasa saja. Senyum saja tidak.
Eh, pas datang tamu asing, semua pelayan girang bukan kepalang. Turis-turis itu langsung disambut dengan senyum, dipijitin, diajak ngobrol. Waaah, semua teman itu langsung pada ngedumel.
Tapi hal itu jangan membatasi Anda untuk mencoba makanan lokal Bali. Saya sarankan untuk datang ke pasar tradisional (misalnya untuk Denpasar: Pasar Badung, Pasar Satria, Pasar Kreneng) jika ingin mencicipi aneka masakan lokal Bali dengan cita rasa yang lebih tradisional.
Di pasar, makanan lebih beragam, harganya sungguh pas dengan pelayanan standar ala pasar. Selain itu Anda bisa langsung bertanya soal resep dan cara memasak makanan itu dari penjualnya. Jika tak berkenan makan berunsur daging babi, tak sulit karena makanan lokal Bali di pasar tradisional juga banyak yang hanya berlauk ayam. Anda tinggal bertanya pada penjualnya, mudah sekali. [b]
Kelihatannya, pegawai di Warung Betutu di Jalan Merdeka itu memang nggak pernah diajar standarisasi keramahan, tanpa diskriminasi. Beberapa bulan lalu, waktu aku hendak liputan kuliner di sana (berhubung resto ayam betutu yang katanya paling rame di denpasar ada di sana), pegawainya judes luar biasa. Kali, dipikir aku mau minta makan gratis ya. Hiks. Jadi, karena responnya gak ada ramah-ramahnya, ya udah deh. Aku gak jadi. Kasihan banget yang punya tuh resto ya. ????
Mbak Suryani,
Mbak hal ini bisa terjadi dimana saja…..nggak di Bali, di Jakarta, di Luar Negri dimana saja apalagi di Singapore wah orgnya kasar-2….. .Namanya juga Bali, kadang aneh……pernah di Bali waktu check ini saya dimintai Passport…lha masa iya aku bawa passport…dan KTP tdk dibawa hanya bawa SIM. Alasannya ibu bukan org Indonesia dan harganya lain….gimana ini…..ditanah air sendiri nggak dianggap…. .
Aku geram juga ….aku bilang kamu memalukan dan karena kamu adalah org Indonesia dan aku tak mau karena ulahmu merusak citra bangsa yang terpuruk ini lebih buruk….hal ini tidak aku diamkan dan aku menuntut hak ku dan harus dapat…..dengan suara lantang tentunya…. akhirnya SIM diterima…. dan mereka minta maaf …yah sdhlah namanya sdh minta maaf……aku nggak dendam koq aku masih nginap disitu lagi. Sang SATPAM didepan berbisik…bu baik itu digitukan dia itu memang begitu sekarang baru kena batunya…..
Tapi soal makan direstoran atau dimana saja aku nggak ada masalah….ya benar sebab aku selalu memberikan tip dimana saja walaupun di Jakarta di bar, di restorant dimana saja dan terkadang tipnya selalu melebihi 10% bila billnya kecil bisa mencapai 40-60% dari billnya…kalau ada live music kalau mainnya bagus dan lagunya yg aku suka aku juga tak segan memberikan tip……yah namanya kesenangan itukan relative…tapikan ada respect.
Di Bali aku sempat ditanya sama empunya restorant… are you American…. .? What…..kagetkan. ….lalu katanya soalnya hanya org Amerika yang senang memberi tip….kalau org kita wah….org bule dari negara lainnya wah…kadang uangnya nggak cukup…….
Yah tip itu penting sih buat tambahan…. …….kalau aku membayar dengan credit card selalu aku selipkan uang tunai buat tip….namanya membuat org senang. Oleh karena itu kalau lama nggak nongol…pasti dicari aduh mbak kemana aja sih…lama nggak nongol…… kalau pesan minuman pasti kita juga diberi yang terbaik oleh bar tender…..kan tip….Gitu lho……
Biasakanlah memberikan tip…..
Salam
HH
-dari hennyp@interasiafurn.com via milis mediacare@yahoogroups.com–
Soalnya orang kita masih bangga ‘dijajah’ bangsa asing. Buktinya mereka lebih ramah dengan WNA ketimbang kita saudaranya karena WNA umumnya memberikan Tips yg baik pada mereka.. jadi Demi uang mereka rela menjilat.
salam….
-dari Bianca Goeritno” via milis mediacare-
Bayangin, apa yang anda rasakan bila menerima perlakuan seperti ini….menimpa teman saya.
Lokasi : Jalan Jaksa – Jakarta.
Dia pergi ke warnet. Petugasnya bilang, tunggu aja dulu masih ada perbaikan. Jaringannya rusak. Setelah menunggu sekitar 15 menit, masuklah orang bule dan langsung saja dipersilahkan pakai salah satu komputer dan online!
Temanku, orang Perancis yang kebetulan warna kulitnya sama dengan kebanyakan orang Indonesia itu cuma bisa prihatin dan berlalu.
-dari Hardi Baktiantoro” via milis mediacare-
Pengalaman seperti itu pernah saya rasakan juga, waktu
liburan ke pulau dewata itu sebelum kejadian Bom Bali.
Diskriminasi sangat terasa , mereka lebih ramah
terhadap turis asing mungkin karena bayarannya dollar
dan tipnya lebih besar. Seharusnya tidak boleh begitu.
Saya dan suami merasa tidak tinggal di negara sendiri.
Semoga kritikan ini dibaca dan ditindaklanjuti oleh
Gubernur dan para pejabat daerah pulau Bali, sesama
rakyat Indonesia harus saling menghargai dan
menghormati, jika tidak kita gampang diadu domba oleh
bangsa lain.
Salam,
Sari via milis mediacare
Memang… batu sandungan pengusaha jasa dibali adalah pelayanan. ada babi guling enak diteuku umar.. .ruameee buanget … tapi pelayannya judesnya minta ampun … capek kali
ya … tapi berhubung enak ya balik lagi kesana … ada juga ibu2 yang jualan rujak dibilangan jalan setia budi … wiiiih bener2 judes. Selain itu kalo kita kematahari duta plaza … spg – nya bukan main judesnya … kaya gak nyadar aja dia dapet komisi dikit kalo jualannya sedikit. Kadang2 pengen ngomong ama management-nya. Khan sayang ya kalo product-nya dah ok tapi pelayan ato spg – nya judes. Pelanggannya lari gara2 kejudesan karyawan …