Teks Indah Juanita, Foto Ilustrasi Flickr
Tak hanya untuk jalan kaki, trotoar di Kota Denpasar pun punya banyak fungsi.
Saya tergelitik mengamati trotoar di Jalan Pulau Kae ini dalam perjalan dari Nusa Dua ke Denpasar bulan lalu.
Trotoar di Jalan Pulau Kawe, Sanglah, merupakan salah satu ruas jalan terpadat di pusat Kota Denpasar yang pada saat ini sudah mulai menjadi “multiguna”. Sebagai jalur penghubung atau biasa disebut sebagai jalan alternatif dari jalan-jalan besar yang menghubungkan Denpasar Selatan dengan Pusat Denpasar, jalan ini terasa semakin padat dalam kesehariannya.
Ada truk pengangkut bahan bangunan, kendaraan pribadi dan sepeda motor yang merajai “Jalan tikus” ini. Sehingga pertumbuhan lingkungan pun menjadi cepat.
Sebagaimana layaknya sebuah jalan yang ramai dilewati berbagai kelas masyarakat, maka akan tumbuh pulalah sektor ekonomi di daerah tersebut. Sepanjang jalan ini sekarang lebih menyerupai areal perdagangan ketimbang areal permukiman.
Trotoar yang dibangun dan disediakan untuk pejalan kaki seolah menjadi areal “tak bertuan” yang dengan mudahnya dikuasai oleh masyarakat “pengusaha” setempat.
Di mulai dari ujung Pasar Tumpah. Pada pukul enam pagi jalan ini sudah dipadati ibu-ibu yang berbelanja menjadikan areal trotoarnya sebagai tempat parkir sepeda motor. Alih fungsi ini berjalan sepanjang tahun di setiap pagi hari hingga pukul delapan. Bisa dibayangkan betapa macetnya ruas jalan tersebut, di mana jalur kendaraan juga sedang berlomba memadati jalan karena saat yang bersamaan dengan jam keberangkatan sekolah dan bekerja.
Lain halnya dengan seratus meter setelah pasar, di atas trotoar sudah berdiri dengan gagahnya sebuah rak dengan susunan botol-botol berisi bensin. Sang empunya kios dengan tenangnya menggelar dagangan di atas trotoar yang bukan haknya dan membiarkan orang yang sesungguhnya berhak, yaitu pejalan kaki, harus turun ke jalan dengan risiko keserempet kendaraan yang lewat.
Saya melanjutkan perjalanan lagi. Sampailah di ruas jalan yang di atas trotoarnya bertengger gantungan baju. Setelah didekati, ternyata usahanya laundry. Suatu pemandangan yang sangat mengganggu karena berbagai lembar pakaian dari yang paling pribadi sampai selimut, berkibar di atas trotoar dengan tenangnya.
Ups, itu apa ya? Dari jauh terlihat, setiap pejalan kaki harus turun ke jalan lalu naik ke trotoar lagi. Ternyata ada pedagang satai. Jualannya sih masih di dalam halaman. Tapi, pembeli harus berdiri di trotoar dan karena banyaknya pembeli. Maka, pembeli pun bergerombolan di sana.
Nah, itu dia. Ada areal trotoar agak lengang. Saya parkir kendaraan dan menghampiri seorang pedagang susu kedelai. Wawancara sedikit, ah. Ternyata, dia sewa tempat ke toko di belakangnya. Kios susu kedelai itu lebih mirip lemari beroda, kalau sekarang lebih sering disebut gerobak. Pembeli bisa pilih susu kedelai panas, hangat atau dingin.
Ketika ditanya, apakah banyak orang lewat berjalan kaki di sini. Dijawabnya dengan senyum simpul, “Banyak, Bu.”
Jalan sambil beli susu saya terus ke pasar sebelah situ. Trotoarnya siapa yang sapu? “Saya kadang-kadang (menyapu), Bu. Karena harus selalu bersih di sini,” jawabnya.
“Bagaimana penjualannya di sini?”
“Alhamdulillah, Bu. Lumayan karena trotoarnya bisa di pakai jalan. Jadi banyak pejalan kaki lewat sini dan bukan lewat seberang sana,” katanya sambil menunjuk trotoar di seberang.
Dia mengaku senang membersihkan areal ini karena jadi banyak yang nyebrang dari jalan di seberangnya. “Lumayan, Bu. Kalo sore, jam macet kendaraan, ada saja yang menyempatkan diri parkir di sini dan beli susu,” ujarnya.
Wow berefek juga ya rupanya bersih dan tidak bersihnya trotoar.
Saya teruskan lagi perjalanan…. Ya, ampuuun. Itu apa kok sampai membuat macet jalan. Ternyata ada segunung lime stone yang ditumpahkan di atas trotoar karena ada penduduk sedang membangun di dalam gang di belakang sebuah toko di pinggir jalan. Ini bukan sekadar mengganggu pejalan kaki tapi juga mengganggu kendaraan yang akan lewat. Dan benar saja, macetnya sampai ke simpang enam di Teuku Umar sana.
Perjalanan melewati jalan pulau Kawe tidak lebih dari 15 menit, tapi ternaya banyak hal menarik untuk diamati dari yang menyenangkan sampai ke yang mengganggu. Belum lagi dari bentuk trotoar yang tidak memperhatikan kenyamanan penjalan kaki seperti turun naik di setiap pintu rumah atau miring karena dijadikan jalur parkir toko.
Sejatinya trotoar adalah areal di pinggir jalan yang disediakan untuk pejalan kaki berjalan menyusuri jalan tersebut. Peraturan Daerah Provinsi Bali malah menetapkan bahwa setiap sisi depan halaman penduduk setelah tembok ada areal hijau bernama telajakan. Apabila semua penduduk menuruti aturan ini, betapa nyamannya kita berjalan di ruas-ruas jalan dalam kota ini.
Dengan kepadatan lingkungan yang luar biasa, kepadatan aktivitas yang semakin tinggi, akankah nasib pejalan kaki semakin tidak terperhatikan? Akankah kita menunggu ada yang celaka untuk perbaikannya?
Semoga para pemimpin kita mau kapan-kapan berjalan kaki bersama rakyat dalam keseharian sehingga mengetahui permasalahan yang sering terabaikan. Dan segera memperbaiki kondisi ini sebelum masa jabatannya berakhir. [b]