• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Friday, May 23, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Berita Utama

Serangan, Dari Berperahu Hingga Taman Air

Didi Purwadi by Didi Purwadi
17 December 2011
in Berita Utama, Kabar Baru, Lingkungan, Travel
0 0
0

Hujan gerimis mengguyur Denpasar pagi Minggu pekan lalu. Hujan yang sudah lama dinanti karena menjadi sebuah kelangkaan di Denpasar. Tapi hujan ini tidak menyurutkan niat saya untuk datang ke Pulau Serangan.

Pulau Serangan, terletak 5 km di sebelah selatan Kota Denpasar. Sebuah pulau kecil dengan panjang maksimum 2,9 km dan lebar 1 km. Secara administratif, Serangan termasuk wilayah Kota Denpasar. Serangan dapat ditempuh dalam waktu 30 menit dari Kota Denpasar melalui jalan darat. Bagi warga luar Bali, saya sarankan untuk menyewa kendaraan jika ingin ke Serangan. Karena tidak ada kendaraan umum yang mampir ke Serangan. Serangan sendiri dikenal sebagai pulau konservasi penyu.

Saya datang ke Serangan masih dalam rangkaian kegiatan Kelas Menulis Jurnalisme Warga yang diadakan Sloka Institute, Sabtu – Minggu pekan lalu. Hari itu saya dijadwalkan berkeliling Serangan menggunakan kapal kecil bersama tiga rekan saya, Mas Victor, Mbak Nenden dan Gus Tulank.

Mangrove dan Sampah
Perjalanan berkeliling ini dimulai dari dermaga desa, tempat kapal-kapal nelayan bersandar. Begitu juga kapal-kapal yang digunakan untuk tujuan wisata seperti memancing, diving, snorkelling serta beberapa fast boat menuju Gili Trawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tujuan pertama kami adalah hutan mangrove. Serangan merupakan salah satu ekosistem mangrove di Bali. Perahu kami mulai bergerak menuju hutan mangrove yang berjarak hanya 500 meter dari dermaga.

Begitu kami memasuki kawasan ekosistem mangrove, kami disambut pemandangan dan bau tidak sedap. Kumpulan sampah terlihat tersangkut pada mangrove. Hal yang lebih memprihatinkan adalah setumpuk stereofoam, bahan tidak akan pernah bisa diuraikan oleh lingkungan.

Sampah-sampah ini tertimbun di hutan mangrove akibat kurangnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan dan kiriman yang terbawa gelombang air laut. Bahkan, sampah ada yang terbawa ke dermaga dan terdampar di pantai-pantai Serangan. Penumpukan sampah akhirnya menyebarkan bau tidak sedap yang cukup menusuk hidung.

Reklamasi dan Jembatan
Perjalanan kami lanjutkan menuju jembatan yang menghubungkan antara Bali daratan dan Serangan. Jembatan ini dibangun karena kebutuhan proyek reklamasi di Serangan pada tahun 1990-an. Di satu sisi jembatan itu memudahkan akses ke Pulau Serangan, di sisi lain dia menghilangkan pemandangan iring-iringan jukung yang sarat sarana persembahyangan dan Pemedek, orang yang ingin bersembahyang.

Jembatan ini lebih menarik jika dilihat dari bawah. Pada saat saya melintasi jembatan ini, tidak terlihat menarik. Jembatan terlihat menarik karena melengkung pada bagian bawahnya dan sangat dekat dengan permukaan air.

Mungkin jika tidak mendung akan lebih bagus lagi dengan latar belakang langit biru. Sayang kami tidak bisa lebih dekat lagi karena banyaknya pemancing di bawah jembatan yang mungkin akan kehilangan ikan buruan pada saat kami mendekat.

Bangunan Apung
Kapal kemudian membawa kami ke Ponjok, destinasi terakhir, sebuah daerah di dekat daerah reklamasi di timur Serangan. Di perjalanan kami melihat tiang listrik yang tidak lagi dipergunakan sejak dibangun ya jembatan antara Bali daratan dengan Serangan. Tiang listrik ini cukup menjelaskan bagaimana listrik disalurkan ke Serangan sebelum adanya akses jalan ke Serangan.

Selama perjalanan menuju tempat terakhir ini, kami banyak melihat rumah-rumah kecil di atas air. Menurut penuturan Gus Tulank, rumah-rumah tersebut adalah rumah untuk pemancing dan memelihara ikan, karena di bawah rumah dipasangkan keramba, jaring-jaring untuk menjaga agar ikan tidak terlepas ke laut lepas. Beberapa rumah terlihat cukup bagus, yang ternyata disewakan dengan tarif per malam.

Di ponjok, kami melihat sebuah bangunan cukup luas mengambang di air. Bangunan tersebut digunakan sebagai atraksi lumba-lumba. Pengunjung harus mengeluarkan uang sebesar Rp 600 ribu untuk melihat atraksi lumba-lumba. Saya sendiri lebih suka melihat lumba-lumba di laut lepas daripada terkungkung di tempat-tempat atraksi.

Water Garden
Serangan ternyata memiliki miniatur seaworld. Water garden terletak di dekat dermaga desa, terlihat kecil dari depan namun memanjang ke belakang. Tapi jangan berharap akan melihat area yang luas dan kolam besar di sana.

Sebagai pengganti kolam, koleksi ikan ditempatkan di akuarium-akuarium kecil tertata rapi dalam ruangan yang tidak teralu besar. Water garden merupakan sumbangan dari warga Jepang untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai jenis-jenis ikan air laut.

Tidak perlu biaya untuk masuk dan menikmati koleksi ikan, namun disediakan kotak donasi bagi mereka yang ingin menyumbang demi kelangsungan hidup para ikan.

Koleksi ikan cukup beragam. Mulai dari ikan perairan dangkal hingga terumbu karang perairan dalam. Dari ikan selucu clown “nemo” fish hingga rock fish yang beracun.

Yang menarik lagi adalah terumbu karang laut dalam. Diletakkan di bagian belakang ruangan water garden. Di ruang tertutup tanpa cahaya. Cahaya hanya berasal dari terumbu karang yang memantulkan sinar lampu akuarium yang redup. Di tengah kegelapan, warna yang di pancarkan sangat indah dipandang.

Water garden ini melengkapi perjalanan sambil liputan saya akhir pekan lalu. Saya sudah. Kapan Anda mencobanya? [b]

Tags: DenpasarTravelWisata
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
Didi Purwadi

Didi Purwadi

Related Posts

Melestarikan Tapel Ngandong, Kesenian Unik dari Desa Les Lewat Akses Digital

Kesenian yang Terancam Hilang di Desa Wisata Les

3 January 2025
Kembalikan Sanur yang Dulu

Kembalikan Sanur yang Dulu

24 July 2024

Mau ke Mana Bali?

11 July 2024
Tarif Parkir di Denpasar Naik, Apakah Pelayanannya Asyik?

Tarif Parkir di Denpasar Naik, Apakah Pelayanannya Asyik?

30 May 2024
Ketika Mall Mengubah Tata Kota

Ketika Mall Mengubah Tata Kota

15 May 2024
TPA Suwung yang Dibalut Asap: The Aftermath

TPA Suwung yang Dibalut Asap: The Aftermath

19 October 2023
Next Post
Genealogi (Kuasa) Pariwisata Bali

Masih Relevankah Paradigma Pariwisata Keberlanjutan?

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Benarkah Gelombang PHK Tak Menyentuh Media Massa Bali?

23 May 2025
Percepatan Pemanfaatan PLTS Atap

Percepatan Pemanfaatan PLTS Atap

23 May 2025
Mendorong Tata Krama Berwisata di Bali

Mendorong Tata Krama Berwisata di Bali

22 May 2025
Ruang Publik jadi Kanvas Terbuka di Tangi Street Art Festival

Ruang Publik jadi Kanvas Terbuka di Tangi Street Art Festival

21 May 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia