
Almarhum Yusuf Bilyartra (Y.B) Mangunwijaya dalam bukunya Sekolah Merdeka: Pendidikan Pemerdekaan (2020) mungkin bisa bangkit dari peraduannya di sorga mendengar “gerakan tambahan” militer ke dunia pendidikan, khususnya ke perguruan tinggi. Tidak saja di Universitas Udayana (Unud), tapi pihak militer akan bergerak serentak untuk melakukan perjanjian kerjasama dengan pihak universitas seantero negeri ini.
Saya menengarai setidaknya ada tiga ancaman besar dari fenomena “militer masuk kampus” ini: pertama, sudah tentu ancaman terhadap kebebasan akademik universitas di Indonesia yang terus mencari bentuk dan diperjuangkan oleh insan kampus yang berlapis dan penuh dengan berbagai kepentingan; kedua, militerisasi dari rezim kekuasaan sekarang akan membentuk generasi “Indonesia Emas” dengan pengaruh militer yang kuat dan ketiga, kita bisa mempertanyakan akan kemana arah dan posisi perguruan tinggi ke depan jika sepatu lars masuk di meja kuliah-kuliah? Jika kita merujuk perjalanan sejarah militer, maka tidak bisa dihindarkan perhatian kita akan tertuju kepada rangkaian kekerasan dan perebutan kekuasaan. Gerakan reformasi dan pasca reformasi salah satu tujuan pentingnya adalah memutus intervensi kekuasaan militer dalam supremasi masyarakat sipil dan melawan kebangkitan militersime dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat. Gerakan masyarakat sipil selalu melakukan resistensi terhadap praktik ini, yang akhir-akhir ini kembali menggeliat dalam pemerintah rezim Prabowo.
Setelah gerakan protes dan kritik tajam terhadap tingkah polah militer dengan berbagai aksi kekerasan terhadap masyarakat sipil, gugatan terhadap dwi fungsi TNI, dan tekanan untuk mereformasi diri dan menggunakan pendekatan persuasif, militer kini mendekati dunia pendidikan untuk diajak bekerjasama. Selain bekerjasama, di ujung timur negeri ini, di Tanah Papua, militer meminta keleluasaan untuk mencatat nama-nama mahasiswa di kampus-kampus yang “dicurigai” separatis dan melawan negara.
Sebelum ramai pihak militer yang merambah arena ke perguruan tinggi, pihak militer adalah salah satu aktor yang menjadi penjaga berjalannya PSN (Proyek Strategis Nasional) food estate di Merauke agar berlangsung aman dan terkendali. Bahkan, mereka terlibat dalam program MBG (Makan Bergizi Gratis) di beberapa wilayah yang dianggap “rawan” yang sayangnya banyak dikritik siswa Papua.
Udayana Bersepatu Lars
Kodam IX/Udayana di Bali tetiba melakukan kerjasama dengan Universitas Udayana (Unud) dengan surat perjanjian Nomor KERMA/8/11/2025 dan B/29/UN14/HK.07.00/2025. Berbagai bidang termasuk dalam kerjasama tersebut, diantaranya adalah: (1) Koordinasi dan sinkronisasi setiap program terkait pelatihan dan pendidikan yang dimiliki masing-masing instansi; (2) Peningkatan kapasitas SDM (Sumber Daya Manusia); (3) Penelitian pengembangan dan pemanfaatan rekacipta; (4) Pertukaran data dan informasi; (5) Kampanye informasi dan publikasi bela negara, serta (6) Kegiatan kerjasama lain yang disepakati para pihak.

Aksi BEM Universitas Udayana di Kampus Jimbaran. Foto: dokumentasi massa aksi BEM Universitas Udayana
Hal lainnya yang mengejutkan adalah bahwa Universitas Udayana bertanggungjawab mengikutsertakan Kodam IX/Udayana dalam program Tri Dharma Perguruan Tinggi, sementara Kodam IX/Udayana bertanggungjawab dalam melibatkan mahasiswa dalam kegiatan pertanian/ ketahanan pangan. Hal ini sebelumnya sudah dilakukan dengan perekrutan lulusan mahasiswa pertanian untuk diterjunkan sebagai bagian dari pihak militer untuk program lumbung pangan di beberapa wilayah nusantara.
Cara-cara persuasif dan terkesan intelektual ini kontan saja ditolak oleh berbagai kalangan kampus. Intervensi militer dalam dunia kampus bahkan sudah terjadi saat pelaksanaan diskusi mahasiswa Universitas Udayana yang “dimata-matai” oleh prajurit yang tanpa diundang bahkan memberanikan diri duduk di depan layaknya sebagai narasumber. BEM Universitas Udayana menggelar aksi berantai dan desakan untuk pembatalan kerjasama. Alumni Universitas Udayana bersatu dan mengkonsolidasikan diri menolak intervensi militer ke dunia kampus.
Sayangnya, kalangan akademisi di internal Universitas Udayana diam seribu bahasa. Para dosen dan pejabat kampus sebagaian besar bungkam dan tidak menyampaikan pendapat terbuka mengkritisi kebijakan ini. Suara kritis satu dua orang dosen tenggelam di tengah kebungkaman akademik yang menyedihkan. Sebagian besar akademisi mencari selamat dengan menenggelamkan sikap kritisnya demi mencari aman. Mahasiswa dibiarkan bergerak sendiri beraliansi dengan para alumni dan gabungan organisasi masyarakat sipil.
Gabungan organisasi masyarakat sipil inilah yang kemudian berkoalisi menamai dirinya Koalisi Bali Tolak Militerisasi mendesak Kodam IX/Udayana segera menarik diri dari kehidupan kampus dan membatalkan perjanjian kerjasama tersebut. Koalisi menilai kerjasama TNI dengan perguruan tinggi di sejumlah wilayah termasuk Bali adalah upaya militerisasi yang dapat mengikis nalar kritis dan menekan kebebasan akademik. Inilah salah satu upaya kembalinya militerisasi, salah satu kekuatan raksasa yang dilawan pada masa reformasi kini dihidupkan kembali.
Situasi ini yang selalu dikhawatirkan berkaitan dengan kembalinya kekuatan militer pada kehidupan masyarakat sipil. Hal ini yang diakomodasi dalam pengesahan RUU TNI yang subtansinya diantaranya memperluas peran militer, keleluasaan penempatan sejumlah pejabat militer dalam posisi sipil, kenaikan anggaran yang besar di sektor keamanan, mobilisasi militer dalam program strategis pemerintah, hingga pelatihan kabinet bergaya militer. Kembalinya militer di wilayah supremasi sipil kini semakin kuat difasilitasi oleh rezim berkuasa. Perambahan wilayah-wilayah sipil mulai dijajaki, tidak terkecuali untuk “mematai-matai” universitas yang menjadi salah satu basis gerakan sosial yang dikhawatirkan rezim dan pihak militer itu sendiri. Cara-cara persuasif militer melakukan kerjasama dengan Unud dan universitas lainnya memiliki tujuan jangka panjang: membungkam kebebasan akademik dan gerakan sosial (mahasiswa dan dosen) berbasis kampus. Gelombang pembungkaman dengan cara terkesan intelektual (perjanjian kerjasama) ini akan menggelinding seperti fenomena gunung es yang akan berdampak besar dikemudian hari tanpa disadari sedari awal.
Perspektif inilah yang sering disebut dengan bingkai politik militer yang memiliki tiga dimensi penting: pertama, arena masyarakat sipil, di mana interaksi sipil-militer berperan dalam membentuk atau “mengendalikan” berbagai pergerakan sosial dan organisasi kemasyarakatan; kedua, ranah masyarakat politik, di mana hubungan sipil-militer militer merupakan salah satu bentuk pertarungan atas kekuatan publik dan politik secara luas, termasuk di dalam partai politik dan legislatif; dan ketiga, dalam ranah pemerintahan, di mana interaksi sipil-militer terfokus pada penguasaan berkelanjutan dan penuh atas alat-alat pemerintahan untuk “mengelola” dua arena lainnya–masyarakat sipil dan masyarakat politik. (Laksmana, 2010)
Militerisasi dan Kebudayaan Nasional
Kembali ke cara-cara persuasif dan terkesan intelektual ini bukannya menghilangkan karakteristik dari militer tersebut. Almarhum Romo Mangun tidak menyaksikan situasi ini, saat bagaimana pendidikan mencoba untuk dikaitkan untuk berjiwa militer (baca: bela negara). Tanpa tedeng aling-aling, ia menuliskan bahwa selama kekuasaan Orde Baru, selama 30 tahun lebih (1960-1990-an), 30 juta anak-anak kita dianiaya setiap hari oleh suatu sistem pengajaran dan pendidikan yang tidak menghargai anak sebagai anak.

Aksi dari BEM Universitas Udayana di Kampus Jimbaran. Foto: dokumentasi massa aksi BEM Universitas Udayana
Pada tataran konseptual, sistem pendidikan kita dari masa ke masa selalu menyebut dirinya ber-Pancasila. Begitu resminya, tetapi dalam pelaksanaan operasionalnya seluruh sistem Orde Baru (politis, ekonomis, sosial, budaya, dan dalam dunia sekolah pun) berkaryalah filsafat, paradigma atau cara pikir, cita rasa, cipta karsa, dan rekayasa yang hakikatnya (sadar/atau di bawah sadar) berjiwa militer. Militer dalam konteks ini bukan pada pribadi aparat militer, tetapi kelembagaannya, kolektivitasnya, sikap dasar profesionalnya.
Romo Mangun melanjutkan, dunia miiliter adalah dunia pakaian siap gerak seragam kaum berbaris, serba main komando dari atas, instruksi, birokrasi, taat mutlak pada pemerintah, gaya menghancurkan dan hukuman. Pokoknya jalan, jangan tanya korban, membunuh musuh dan menghancurkan pertahanan musuh seefektif mungkin, jangan tanya baik atau buruk, bermoral atau tidak, taati saja perintah. Hantam dulu, urusan belakang.
Sylvia Tiwon dalam esainya yang menggugah “Paradoks dan Baju Hijau” (tanpa tahun) mengungkapkan dengan satir bahwa militer merupakan lembaga yang paling publik dan sekaligus paling penuh misteri. Di satu pihak, ia merupakan lembaga yang sangat mudah dikenal, dari mulai seragam, warna baret, berbagai lencana dan atribut, nomer kendaraan bahkan tempat tinggal. Tidak ketinggalan sampai bentuk tubuh yang kekar dan cukuran rambut yang cepak. Semua ciri-cirinya membentuk identias yang jelas.
Pada sisi lain, lembaga ini juga memiliki unsur “rahasia”, kemampuan untuk bermain di belakang layar, jauh dari pengamatan dan kontrol publik. Dalam alam samar-samar ini berbagai operasi gelap dimatangkan, atribut pengenal ditanggalkan, senjata disembunyikan sehingga tidak lagi berfungsi sebagai simbol belaka, tetapi kembali ke fungsi dasarnya sebagai alat perenggut nyawa.
Sylvia Tiwon mengungkapkan sosok militer di Indonesia dalam sejarahnya memang sangat kontradiktif. Inilah beberapa hal kontradiktif dari sosok militer tersebut. Ia menjaga keamanan tetapi sering menciptakan suasana mencekam. Ia bertugas melindungi warganya tetapi memegang rekor nasional sebagai pembantai rakyatnya sendiri. Ia dipercaya menjaga stabilitas tapi cenderung mencipta kondisi destabilitas. Ia menuduh berbagai gerakan masyarakat sebagai “gerakan pengacau keamanan“ atau “gerakan pengacau liar“ tetapi perbuatannya sendiri sering lebih kacau dan lebih liar. Ia menjaga semangat nasionalisme, tetapi sangat bergantung pada pasokan senjata, ilmu, dan dana dari luar negeri. Ia menyandang predikat “pengayom“ untuk rakyat, tetapi lebih sering dipakai untuk mengusir warga dari tanah tempat tinggalnya sebagai fasilitator kepentingan modal domestik dan internasional.
Kita mungkin sudah mengerti bahwa semenjak rezim Orde Baru mengukuhkan peran utama militer dalam kehidupan kenegaraan, militerisme menjadi bagian dari kebudayaan nasional. Mitos Orde Baru dan militer ini dilembagakan sebagai sejarah melalui upacara tahunan dan melalui sistem pendidikan. Mitos itu bernama Kesaktian Pancasila, dimana tentaralah yang sekaligus menjadi korban dan menyelamat bangsa. Tujuh perwira gugur dan diabadikan di Lubang Buaya, tempat yang menjadi sakral bagi Orde Baru.
Sementara, ratusan ribu, bahkan jutaan rakyat biasa ditumpas dan dibuang atau dikubur tanpa upacara, tanpa air mata, bahkan tanpa kita ketahui nama-namanya. Seandainya negara ini pada akhirnya membangun monumen untuk menghormati korban-korban ini, sepanjang apa daftar nama yang akan tertera di sana? Belum lagi kalau monumen ini dilengkapi dengan nama semua korban kekerasan militer yang gugur dengan bisu selama rezim Orde Baru dan kekuasaan militer. Seluruh kekerasan yang menimpa rakyat dibuat sebagai sajian kepada sang penguasa, sementara rakyat biasa yang tidak diberi nama, hiruk pikuk mengungsi dari desa-desa yang musnah dibakar dalam strategi bumi hangus yang rupanya telah menjadi tradisi.1
Pendidikan Pembebasan
Mungkin saya terkesan klise menuliskan sub-judul ini: pendidikan pembebasan. Diri kita saja belum terbebas dari berbagai aturan dan cengkraman mencari selamat dalam keadaan untuk menentukan sikap dan posisi diri (positioning). Cermin itu terasa penad kita refleksikan dalam dunia pendidikan tinggi di Bali, tidak terkecuali dalam kasus kerjasama Kodam IX/Udayana dengan Unud.
Birokat dan pimpinan kampus serta para dosen membiarkan mahasiswa berjuang sendiri, atau bahkan mempraktikkan adu-domba sesama mahasiswa dan menekannya dalam garis struktural dosen dan mahasiswa. Saya yakin dalam pribadi satu-dua orang dosen berkeinginan bersuara, tapi ala lacur sudah terperangkap dalam jejaring struktural birokrasi yang justru mewariskan satu karakteristik militer itu sendiri: instruksi atasan. Inilah yang sering diistilahkan intelektual (akademisi) kelas kambing yang sering membebek kepada penguasa dan kekuasaan
Karakeristik militer yang siap gerak melaksanakan instruksi atasan dan yang lainnya melekat dalam perjalanan sejarah bangsa. Karakteristik militer itulah yang melawan segala prinsip pendidikan asli sejati: ajrih asih mendampingi, persuasi, sabar, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun (menumbuhkan di dalam diri anak) karsa, tut huri handayani (jadi bukan guru melainkan muridlah yang utama) (Mangunwijaya, 2020:15). Tapi sayangnya, justru pendidikan di universitas kini yang semakin memiliterisasikan dirinya sendiri, mengadopsi sekaligus mempraktikkan sistem pendidikan militer di dunia perguruan tinggi.
Pendidikan pembebasan adalah kesadaran untuk memahami bahwa dunia pengetahuan ilmu, sains, dan seluruh aparat yang merakitnya tidaklah pernah dan tidak mungkin netral. Dunia pendidikan, historis maupun empiris selalu menjadi instrumen para kuasa untuk mengonsolidasi dan melegitimasi kemapanan mereka. Juga demi sikap dan mental yang melestarikan dan memperkuat status quo kekuasaan mereka.
Pedagogi Freire berakar pada: pertama, cinta kasih, basis dari dialog dan memang adalah dialog itu sendiri; kedua, kerendahan hati. Dalam suasana dialog tidak ada tempat untuk arogansi, merasa berhak menggurui, merasa diri elit, dan unggul. Suasana yang diciptakan adalah kebersamaan antar sesama, dengan para peserta didik untuk saling belajar; ketiga, percaya kepada manusia, percaya kepada kreativitas dan daya saling berbagi kekuatan.
Kepercayaan yang diciptakan itu tidak naif atau romantis, tetapi realisme yang sanggup melihat baik dan terang maupun yang gelap, berpikir kritis menghargai hal-hal yang alternatif, dan terutama nilai positif dari segala perubahan di dalam evolusi bangsa manusia yang semakin memanusiakan diri. Pada sisi lain, metode Freire bukan suatu pedadogisme naif seolah-olah dunai pendidikan mampu untuk mengubah sendiri masyarakat secara revolusioner. Pendidikan Paulo Freire mengidentifikasinhakikat masalah aitu probleemstelling, penentuan independen status questionis dengan penyadaran (conscientization) sebagai syarat aktivitas yang membebaskan. 2
Saya meyakini usaha pendidikan pembebasan akan tetap terus mencari ruang-ruangnya sendiri meski universitas terbenam dalam kekuasaan rezim dan militerisasi. Kodrat (per-definitionem) pedidikan adalah pelibatan politik. Paulo Freire menganjurkan penyadaran para pendidik serta lembaga-lembaga pendidikan tentang kedudukan dan peran sosilogis politis itu, sehingga memberanikan diri untuk mencipta baru suatu bentuk pendidikan alternatif yang melawan segala bentuk kekuasaan dan manipulasi si kuat kuasa kepada si lemah miskin.
Refleksi
Sebelumnya, saya tidak bisa membayangkan jika pihak militer masuk ke dalam urat nadi kehidupan kampus, apalagi mengambil peran dalam berbagai kerjasama. Kini (jika perjanjian kerjasama dilanjutkan), semuanya menjadi serba mungkin dengan terjadinya perjanjian kerjasama pihak militer dengan institusi kampus. Kebebasan akademik akan terus dirongrong dan dihancurkan perlahan-lahan. Sejarah militer dalam kekuasaan dan kekerasan, begitu juga karakteristik institusionalnya, sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai akademik yang terus diperjuangkan oleh civitas akademika di perguruan tinggi.
Institusi pendidikan tinggi, nilai-nilai pendidikan, dan yang terpenting terbentuknya generasi muda melalui proses pendidikan akan dirusak oleh intervensi militer ini. Secara institusional, militer memiliki tugas untuk kembali ke barak. Tantangan terbesar bagi mereka sebenarnya adalah belajar dan menghayati nilai-nilai humanisme dalam tugasnya mempertahankan negara ini, bukan merusak humanisme itu yang terus-menerus diperjuangkan oleh kekuatan masyarakat sipil, termasuk insan academia di universitas.
Daftar Pustaka
Mangunwijaya, Y.B. (2020). Sekolah Merdeka: Pendidikan Pemerdekaan. Jakarta: Kompas.
Laksmana, Evan. A. 2010. “Dinamika Politik Militer Indonesia,” dalam Beni Sukadis dan Aditya Batara (editor), Panduan Media dan Reformasi Sektor Keamanan. Jakarta: Indonesian Institute Defense and Strategic Studies and Geneva Center for the Democratic Control of the Armed Forces, h. 91 – 111
Tiwon, Sylvia. (tanpa tahun). “Paradoks dan Baju Hijau” (h. xxi – xxii) dalam Militerisme di Indonesia untuk Pemula (tanpa tahun).
1 Bagian ini saya sadur secara utuh dari esai Sylvia Tiwon, “Paradoks dan Baju Hijau” (h. xxi – xxii) dalam Militerisme di Indonesia untuk Pemula (tanpa tahun).
2 Seluruh bagian ini saya nukilkan dalam Y.B Mangunwijaya, Sekolah Merdeka: Pendidikan Pemerdekaan. Jakarta: Kompas, 2020:
tokohpmurah.com vanujacoffee.com sangkarbet sangkarbet chrishondrosfilm.com sangkarbet