Merayakan Hari Kasih Sayang dengan seni untuk bumi.
Yayasan Manik Bumi tidak pernah kehabisan energi untuk memberikan ruang bagi seniman berkarya dan selaras dengan penyelamatan lingkungan hidup. Kali ini Manik Bumi menggelar acara bertajuk “Gumi Lascarya” (satu cinta merawat Bumi) di areal kantornya di jalan Pantai Indah Singaraja, Buleleng.
Acara digelar selama empat hari pada 10-14 Februari. Menurut Pembina Yayasan Manik Bumi, Luh Gede Juli Wirahmini, akrab dipanggil Juli, pemilihan puncak acara disengaja untuk membuat hari kasih sayang tidak hanya tentang cinta sepasang manusia tapi juga bisa dimaknai cinta bumi.
“Valentine tidak hanya tentang mawar dan cokelat. Valentine juga bisa tentang merawat bumi dengan mengurangi bebannya walaupun sedikit,” ujar Juli.
Menurut Juli, ide itu dituangkan dalam konsep kegiatan dengan memadukan pameran seni dari sampah bertajuk “Trash to Art”. Sampah diolah menjadi seni berkualitas tinggi. Apa yang selama ini dipandang sebelah mata, ternyata bisa diolah menjadi sebuah karya seni.
“Sampah kalau diolah, bisa jadi media baru dalam berkesenian. Kami harap ini bisa jadi media alternatif bagi seniman-seniman dalam berkarya,” lanjutnya.
Puluhan karya menggunakan media sampah pun dipamerkan di Sekretariat Yayasan Manik Bumi. Ada 23 karya seni yang dihadirkan. Puluhan karya itu diciptakan oleh 16 orang seniman, 15 di antaranya berasal dari Buleleng.
Mereka yang terlibat dalam pameran yakni Made Bayak, I Putu Wilasa, Kadke Dwi Jayanta, Kadek Surya Dwipa, Angga Heri, Juning, I Wayan Trisnayana, I Made Santika Putra, Ngakan Nyoman Ardi, I Komang Wikrama, I Ketut Andi Palwika, Gede Sukradana, Yohanes Soubirius de Santo, I Gede Pasek, Made Wijana, dan Mizan Torek.
Para perupa mengolah sampah menjadi media baru untuk berkarya. Ada yang menggunakan sampah plastik, ban dalam, kardus, kaleng, maupun kertas. Hampir seluruh karya dihadirkan dalam bentuk tiga dimensi.
Patung “I am Ayam” karya I Made Santika Putra misalnya. Patung yang menghadirkan kisah pertarungan dua ekor ayam jantan itu, dibuat dari ban dalam bekas.
Sementara patung “Bangkai Ikan” karya Putu Wilasa, menggunakan media sampah plastik kemasan. Sampah-sampah itu dilelehkan dan dirangkai sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk ikan. Di salah satu sisi, Wilasa menghadirkan perut ikan yang berisi sampah-sampah plastik.
“Ini terinspirasi dari berita soal ikan yang terdampar dan ditemukan dalam kondisi mati. Kemudian setelah dibedah di perutnya ada banyak sampah plastik. Ini menjadi persoalan serius bagi ekosistem kita,” kata Wilasa yang juga seorang musisi itu.
Parade Mural
Selain menggelar pameran dari sampah, dalam rangkaian kegiatan ini juga digelar parade mural. Media yang digunakan adalah tembok di sekitar kawasan sekretariat manik bumi.
Para seniman mural dari beberapa kota di Indonesia, melangsungkan aksi live mural. Mereka menuangkan kritik dan kegelisahan terkait pengelolaan lingkungan yang terjadi di Indonesia. Aksi live mural itu dilangsungkan di Sekretariat Yayasan Manik Bumi.
Total ada 27 orang seniman dari 12 kelompok mural yang terlibat dalam aksi tersebut. Para seniman itu datang dari sejumlah kota di Indonesia.
Seperti Bogor, Magelang, Bandung, Padang, serta tuan rumah Bali. Mereka menuangkan ide dan kreatifitasnya pada sebidang tembok berukuran 3×4 meter.
Para seniman akan menggarap media tembok itu, hingga puncak acara Jumat (14/2) . Para seniman yang terlibat dalam aksi live mural itu sebelumnya sudah melalui proses kuratorial yang cukup ketat.
“Sebelum mereka melakukan live mural, sebenarnya mereka sudah mengirimkan konsep ide dan karya sejak Oktober 2019 lalu.
Kemudian kami pilih 12 karya terbaik dan kami undang untuk melakukan live mural,” kata Juli.
Menurut Juli, karya-karya yang ditampilkan dalam mural, lebih banyak mengangkat tema kesetiakawanan dalam merawat bumi. Tema itu sengaja dipilih, sebab merawat bumi tidak bisa dilakukan orang per orang. Melainkan harus melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada.
“Kami ingin lewat mural ini ada pesan yang tersampaikan. Bahwa merawat bumi itu harus dikerjakan bersama dan dilakukan secara ikhlas. Kami berharap ini bisa membuka wawasan, minimal bagi relawan kami sendiri,” ungkap Juli.
Selain melibatkan komunitas mural dari beberapa kota di Indonesia, aksi live mural itu juga melibatkan Komunitas Mural Taring Babi sebagai peserta kehormatan.
Hasil live mural ini dinilai Dewan Juri yaitu Jango Pramarta, Mike Marjinal dan Bobi Marjinal. Juri menentukan jura 1 hingga 3. Adapun juara favorit ditentukan oleh pengunjung yang melakukan penilaian sesaat setelah memasuki kawasan acara.
Pengumuman dilakukan di puncak acara pada panggung hiburan. Ada bondres Rarekual, standup comedy dari Inguh dan penampilan band. Di antaranya Rastafara Cetamol band reggae dari Buleleng, Dialog Dini Hari dan Band Marjinal dari Jakarta.
Acara terlihat ramai dan pengunjung terlihat antusias melihat pameran “Trash to Art” dan juga antusias melakukan penilaian karya mural dari 22 finalis.
Acara yang ramai pengunjung ini terlihat bersih dari sampah. Di samping itu tidak terlihat banyak botol plastik karena panitia menyediakan gelas dan air di beberapa area acara. Menurut Juli, panitia memang menganjurkan pengunjung agar membawa tumbler dan tidak membawa minuman kemasan sekali pakai. “Kami fasilitasi air minumnya,” katanya.
Demikian pula, terkait sampah kami fasilitasi dengan banyak tempah sampah. “Kami patut bangga karena acara ini bebas dari perilaku buang sampah sembarangan. Setidaknya acara ini berhasil mengajak warga pengunjung untuk bijak menyampah,” pungkas Juli.