Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup Bali sangat rentan.
Sebagai pulau kecil, Bali secara ekologis mempunyai hubungan erat antara hulu dan hilir, antara gunung dan laut. Dalam konteks inilah dikenal dengan istilah konsep nyegara gunung.
Seiring perkembangan perekonomian Bali yang bergantung pada industri pariwisata, konsep nyegara gunung ini seolah mulai ditinggalkan. Eksploitasi lingkungan hidup di Bali terjadi sangat massif. Dari hilir hingga ke hulu. Tak terhitung pembangunan akomodasi pariwisata yang dibangun di kawasan hilir khususnya Bali selatan.
Pembangunan yang mengeksploitasi sumber daya alam dari wilayah hulu menimbulkan kerentanan ekologi cukup signifikan. salah satunya ancaman krisis air di Bali akibat konsumsi air berlebih di sektor jasa akomodasi. Banyak kajian menyatakan hal tersebut.
Namun eksploitasi demikian tidak cukup. Saat ini pun sektor akomodasi pariwisata mulai merambah daerah hulu, tepat di jantung sumber daya air Bali. Daerah hutan Dasong telah sejak lama dirongrong Proyek pembangunan vila dengan investor PT. Nusa Bali Abadi (PT. NBA). Proyek tersebut telah diinisiasi PT NBA dari tahun 1996. Pada 2008, proyek ini mendapat penolakan besar-besaran dari komponen dan eksponen masyarakat Bali. Alasannya, pembangunan vila ini mengancam ekologi Bali.
Melalui perjuangan gigih, proyek ini pada akhirnya berhenti dan tidak mendapatkan rekomendasi Pemerintah Provinsi Bali.
Saat ini, proyek pembangunan vila tersebut akan dilanjutkan. Maka, komponen masyarakat Bali pun menolak. Hal ini disampaikan Suriadi Darmoko, Deputi Direktur Walhi Bali, bersama gerakan mahasiswa Frontier Bali dan Komunitas Pencinta Alam “Bali OutBond Community”.
Menurut Moko, mereka sudah sebulanlalu mendengar bahwa PT NBA memohon kembali lahan seluas 100 ha kepada Menteri Kehutanan. “Tentu saja tindakan perusahaan ini membuat kami jengkel karena berani meneruskan aktivitas walaupun diklaim baru sebatas tahap eksplorasi dan contoh,” ujar Suriadi yang baru saja lulus dari Universitas Hindu (Unhi) Denpasar.
Penolakan terhadap aktivitas PT. NBA ini dilakukan Walhi Bali sejak lama. Oleh karena itu, aktivitas perusahaan saat ini tetap ditentang Walhi Bali dengan kajian sama.
Pertama, pelanggaran terhadap tata ruang Bali. Taman Wisata Alam (TWA) Hutan Dasong merupakan kawasan lindung. TWA Hutan Dasong Danau Buyan- Danau Tamblingan merupakan kawasan yang bersekutuan dengan hutan lindung dan daerah resapan air. Hutan ini juga tempat dan kawasan suci, daerah sekitar danau dan mata air, berdampingan dengan Cagar Alam, serta kawasan rawan bencana longsor dan kebakaran hutan. Kawasan ini diatur Perda no 16 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Bali.
Kedua, aspek lingkungan hidup. Jika dipaksakan, pembangunan vila di Dasong akan mengurangi fungsi kawasan hutan Bali. Kawasan hutan di Bali hanya seluas 23 persen dari luas daratan. Padahal, setiap daratan idealnya memiliki 30 persen kawasan hutan. Karena kurangnya kawasan hutan Bali dari luas ideal, maka amat masuk akal bagi masyarakat Bali untuk mempertahankan kelestarian setiap jengkal hutan yang ada.
Pembanguna vila di hutan Dasong juga bisa meningkatkan polusi udara dan kebisingan. Tahap konstruksi dan opersional akan berhubungan erat dengan mobilitas peralatan dan bahan serta mobilitas pekerja dan wisatawan. Semakin banyaknya mobiltas masuk hutan menggunakan kendaraan akan mempengaruhi kualitas udara didalam kawasan hutan dan menambah kebisingan bagi masyarakat sekitar proyek.
Dari sisi lingkungan, pembangunan vila di Hutan Dasong juga bisa menganggu ekosistem danau dan hutan. Adanya vila di dalam TWA Hutan Dasong maka akan dibangun pula infrastruktur berupa jalan beraspal menuju lokasi. Hal ini akan memudahkan akses untuk masuk ke dalam hutan sehingga penebangan liar akan memiliki mobilisasi yang cepat. Gangguan terhadap kelestarian Hutan Dasong juga akan meningkat. Selain itu kebisingan juga akan mempengaruhi keberadaan satwa-satwa liar di hutan.
Kebisingan dan aktivitas wisatawan dalam kawasan hutan akan berpengaruh pada keanekaraman hayati atau flora dan fauna di dalam kawasan tersebut. Selain itu, selama ini Danau Buyan dan Tamblingan merupakan tempat bagi satwa liar yang membutuhkan air, sehingga dengan adanya kegiatan manusia berarti akan menyebabkan akses satwa liar terhadap air menjadi berkurang.
Penebangan pohon baik untuk jalan dan sarana pendukung, aktivitas di dalam kawasan akan menyebabkan semakin tingginya potensi erosi. Penebangan pohon juga akan menimbulkan perubahan bentang alam dan hancurnya struktur tanah. Struktur tanah yang sudah hancur akan sangat mudah erosi pada musim hujan dan tersendimentasi bersamaan dengan aliran permukaan tanah. Hal ini akan menyebabkan danau semakin cepat mengalami pendangkalan.
Kekhawatiran lainnya adalah menurunnya kualitas dan kuantitas pasokan air. Setiap kamar hotel atau vila mengkonsumsi air sebanyak 3.000 liter setiap hari dan menghasilkan limbah tidak sedikit. Selain hal tersebut, kegiatan wisata air yang menggunakan peralatan berbahan bakar fosil akan menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas air danau. Padahal, air Danau Buyan dan Danau Tamblingan merupakan sumber air tidak hanya bagi warga sekitar danau tetapi juga bagi sungai-sungai bawah tanah.
Penurunan kuantitas (debit) air sangat berpengaruh pada kurangnya pasokan air irigasi bagi sawah dan ladang di Buleleng, Tabanan dan Badung. Hal ini bisa mengancam produksi pangan bagi Bali. Penurunan kualitas air danau akan menyebabkan berkurangnya keberlimpahan ikan yang dapat hidup di danau sehingga dapat berpengaruh pada hasil tangkapan nelayan Danau Buyan dan Danau Tamblingan.
Ketiga, aspek sosial dan budaya. TWA Buyan merupakan bumi perkemahan bahkan dapat dianggap sebagai rumah kedua bagi para pecinta alam, seperti Kelompok Pecinta Alam, Mahasiswa Pecinta Alam, Siswa Pecinta Alam, Kelompok Outbound dan lainnya. Diberikannya konsesi pengusahaan pariwisata alam di kawasan TWA akan menutup akses kelompok pecinta alam ini untuk menikmati kawasan.
Masyarakat sekitar Danau Buyan yang biasa mencari kayu bakar, memancing dan mencari rumput untuk ternak mereka juga terancam tidak dapat masuk kedalam kawasan yang menjadi konsesi pengusahaan. Dengan kata lain, kawasan TWA Danau Buyan-Tamblingan akan menjadi monopoli investor dan bagi siapapun yang ingin menikmatinya haruslah membayar kepada investor.
Dari sisi sosial budaya, pembangunan vila di Hutan Dasong juga pengingkaran terhadap nilai dan sistem kepercayaan masyarakat lokal. Pasal 25 Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat menyatakan bahwa, ”Masyarakat adat memiliki hak untuk memelihara dan memperkuat hubungan spiritual yang khas dengan tanah, wilayah, air dan pesisir pantai dan sumber daya yang lainnya, yang digunakan atau dikuasai secara tradisional, dan untuk menjunjung tinggi tanggung jawab mereka terhadap generasi-generasi mendatang.”
Dalam kawasan TWA Hutan Dasong Danau Buyan – Tamblingan terdapat Pura Gunung Anyar dan Pura Tajun selain juga pelinggih-pelinggih dan pesimpangan-pesimpangan termasuk juga bebaturan purbakala yang baru ditemukan. Bahkan, saat ini sedang dalam tinjauan Badan Arkeologi Provinsi Bali dan Dinas Pariwisata Budaya Kabupaten Buleleng. Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat pun telah mengeluarkan Keputusan Nomor 11/Kep/I/PHDIP/1994 tanggal 25 Januari 1994, tentang Bhisama Kesucian Pura, di mana ditetapkan bahwa kawasan suci meliputi gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai-sungai), pantai, dan laut.
Prasasti Tamblingan yang ditulis pada tahun 844 Saka (922 M), ketika Sri Ugrasena menjadi Raja di Bali menyebutkan bahwa wilayah Tamblingan dan sekitarnya (sekarang dikenal sebagai kawasan Bedugul) adalah kawasan suci. Raja-Raja dari dinasti Warmadewa berikutnya antara lain Jayapangus di tahun 1099 M dan Sri Bhatara Parameswara di tahun 1320 M menguatkan keyakinan kesucian wilayah Tamblingan dengan menegaskannya dalam prasasti-prasasti yang berisi “kutukan” bagi pelanggar kesucian. Sejarah mencatat bukti kutukan Bhatara Parameswara atas pelanggaran kesucian wilayah itu berupa malapetaka yang dahsyat.
Beberapa kajian itulah yang menyebabkan Walhi Bali menolak pembangunan vila di kawasan Hutan Dasong oleh PT. NBA. Karena dengan demikan berarti bahwa proyek pengusahaan pariwisata alam oleh PT. NBA telah mengingkari bahkan melecehkan nilai-nilai dan sistem kepercayaan masayarakat lokal.
Padahal, nilai-nilai inilah yang selama ini telah terbukti mampu menjaga kelestarian TWA Hutan Dasong Danau Buyan – Tamblingan.
Komentar pun datang dari Pande Tamanbali dari Frontier Bali. “Aangat tidak beradab jika perusahaan tersebut melanjutkan proyeknya dan mengabaikan keselamatan ekologi Bali,” ujarnya.
Menurut Pande, pembangunan adalah untuk memanusiakan manusia. Namun, pembangunan di kawasan strategis ekologi Bali akan menimbulkan viktimisasi terhadap masyarakat Bali dan generasi Bali ke depan. “Tidak ada pilihan lain kecuali menghentikan aktivitas perusahaan dan membongkar seluruh bangunan yang dibangun PT. NBA!” tegasnya.
Viar Sugandha, dari Bali Outbond Community, ikut menuntut dihentikannya pembangunan vila ini. “Jangankan meminta 100 ha, memberikan kepada perusahaan ini untuk memanfaatkan 20 ha kawasan Dasong saja kami tidak rela,” ujar Viar.
Menurut Viar, bila Menteri Kehutanan tidak memperhatikan nasib lingkungan Bali, maka mereka akan menyerukan perlawanan demi masa depan Bali dan masyarakat Bali. [b]
CINTAI & PELIHARALAH ALAM…..
coz kita sangat tergantung padanya…MERUSAK berarti membunuh kekosistem hidup semua mahluk (binatang,tumbuhan & manusia)