Oleh Luh De Suriyani
Metarmofosis Kota Denpasar barangkali bisa ditanyakan pada bapak penjual sate nyuh satu ini. Lebih dari 25 tahun ia mengitari Denpasar sambil membawa emblong (baki besar berbahan seng) yang dipanggulnya. Sampai sekarang, emblong itu nyaris sama dengan pertam kali saya melihatnya sekitar 25 tahun lalu. Saya tak tahu apakah ini emblong berusia lebih 25 tahun atau telah berganti. Yang jelas warnanya sama, perak kusam.
Emblong ini berdiameter sekitar 50 sentimeter, dengan tinggi sekitar 20 senti. Biasanya si bapak dagang sate nyuh memanggulnya di bahu kanan atau kiri. Ia sendiri selalu memakai topi ketika berjualan. Sebagai peneduh sekaligus alas menjunjung emblong berisi sate dan pesan (pepes) berbahan dasar nyuh (kelapa) serta ikan tumbuk itu. Jika bahu kiri dan kanannya letih memanggul, ia menggantikan dengan menjunjung di kepala.
Bapak penjual sate nyuh ini masih bertahan berjualan dengan cara seperti itu. “Ah, biar bisa sekalian jalan-jalan,” ujar sang istri dengan nada bercanda. Istrinya juga berjualan dagangan yang sama di Pasar Satria, Denpasar Timur. Ia menyewa tempat di lantai II pasar, berukuran sekitar 1×1 meter persegi tempat dia menggelar dagangannya yang terdiri dari sekeranjang besar sate dan pesan serta sekeranjang ikan tongkol matang.
Suaminya pun ketika ditanya hal yang sama selalu menjawab dengan gaya berkelakar. “Nah, pang ngidang melali,” katanya. Dengan membawa dagangan sama setiap hari, seperempat abad ini tentu saja ia mendapatkan penghasilan relatif stabil. Jika sate dan pepesnya habis dalam waktu dua jam ia tak menambah dagangan. Alasannya, hanya ingin menikmati kerja hari ini dengan cukup tanpa berlebihan, sambil melali alias jalan-jalan.
Hampir setiap hari, dagangannya habis dalam waktu singkat. Tak sedikit langganannya di gang-gang kecil yang dilaluinya mengeluh karena ia lewat dengan emblong kosong. “Kenken ne, Pak? Semengan suba telah. Ngudiang lewat ngaba emblong kosong,” kata tetangga saya di Jl Banteng yang berharap mendapat sate enak yang rasa dan harganya pas itu.
“Sate, sate. Meli siu, jeg langsung wareg,” demikian sorakan panjanganya ketika menjajakan dagangan. Artinya, beli seribu saja, dijamin kenyang deh. Memang tidak salah kok, beli seribu perak, sekarang dapat lima sate. Ditambah nasi, jadi kenyang deh. Harga satu batang sate nyuh itu sekarang Rp 500. Dulunya Rp 100 per biji sate.
Sapaan si bapak penjual sate itu saya kenal pertama ketika masih sekolah Taman Kanak-kanak di sekitar Jl Nangka, sebelah Banjar Taensiat. Seingat saya, hampir tiap hari bapak saya yang berjualan soto di deket sekolah TK saya membelikan sate. Waktu itu, sekitar 1987, biasanya beli Rp 200 perak, dapat empat biji sate.
Rasa satenya nyaris tidak berubah sampai sekarang. Segumpal ikan yang lunak dibalut parutan kelapa berbumbu lalu dibakar. Rasanya pas banget, antara gurih berempah dengan pedasnya. Rasa pepesannya lebih greng lagi. Ikan tumbuk berbalur bumbu merah. Bumbunya itu yang membuat tak tahan. Cobain deh. Beli satu pesan saja (ukuran sekali telan) terus bejek-bejek (diremas) sama nasi. Bumbunya masih terasa. Pas banget.
Sampai sekarang saya masih sulit memendam keinginan jika pagi-pagi, pas baru bangun, untuk beli sate pesan be tumbuk ini. Inginnya cepat-cepat ke Pasar Satria. Sebelnya, kalau pas nafsu sekali malah baru bangun pukul tujuh pagi. Perasaan gundah gulana karena kemungkinan besar pepesnya sudah habis. Padahal si ibu penjual baru buka dagangan pukul 6!
Seperti sang suami, istrinya juga humble. Kalau pagi-pagi sudah habis, dia cuma bilang, “Eh, nggak tahu juga kok tumben ramai ya.” Perasaan hampir tiap hari dagangan laris manis ini terjadi. Mungkin mereka tidak merasa kalau sate-pepesnya itu yahud.
Kadang, kangen juga sama suaminya yang wara-wiri memanggul emblong. Tapi kini agak sulit, karena jalur pemasarannya berbeda dengan tempat tinggal saya sekarang. Pernah, suatu hari saya pagi-pagi sekali di rumah orang tua sekarang di Jl Banteng yang juga dilewati bapak penjual sate nyuh itu. Saya terlonjak mendengar sorakannya. “Sate, sate. Meli siu anggon awai. Jeg wareg.” Hei, sorakan berusia lebih seperempat abad. Dengan topi dan emblongnya yang sama. Hmm, humble sekali. [b]
luh de, siapa nama bapak penjual sate itu? pak emblong ato siapa? rumahnya dimana alamatnya, kalo mau syuting jam brapa harus siap?