Teks dan Foto Anton Muhajir
Setelah dirawat selama tiga pekan, I Gusti Ngurah Wahyunda, 30 tahun, meninggal Jumat malam di Rumah Sakit Sanglah, Denpasar. Wahyunda adalah Koordinator Ikatan Korban Napza (IKON) Bali, kelompok korban narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Napza) yang memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) untuk mereka. Wahyu dan IKON merupakan bagian dari sejarah perjuangan kelompok terpinggirkan tersebut di Bali, bahkan Indonesia.
Lahirnya IKON tak bisa dilepaskan dari maraknya program penanggulangan HIV/AIDS di Bali, terutama di bidang pengurangan dampak buruk (harm reduction). Program ini dilaksanakan di kalangan pengguna Napza dengan jarum suntik atau injecting drugs user (IDU). Ada tiga LSM pelaksana harm reduction di Bali yaitu Yayasan Hatihati, Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), dan Yayasan Mata Hati.
Wahyu, mantan IDU yang pernah menjalani rehabilitasi di Yakeba, adalah manajer program di Yakeba. Pengalamannya sebagai mantan IDU dan pergaulannya dengan sesama korban Napza di tingkat nasional maupun internasional mendorongnya mengumpulkan IDU di Bali untuk mendirikan IKON.
Selama ini, kata Wahyu saat itu, LSM-LSM pelaksana harm reduction di Indonesia termasuk di Bali belum mengadvokasi hal lebih mendasar bagi IDU, hak asasi manusia. “Padahal, IDU adalah kelompok yang sering mendapat pelanggaran HAM,” kata Wahyu saat itu.
Pelanggaran HAM tersebut, menurut Wahyu, terjadi terutama ketika IDU ditangkap oleh polisi. Tak sedikit IDU yang mengalami tindak kekerasan seperti pemukulan, penyiksaan, dan lain-lain. Wahyu sendiri mengalami itu. Dia pernah disiksa polisi di salah satu pos polisi di daerah Jalan Diponegoro, Denpasar ketika tertangkap pada tahun 2003.
Beberapa IDU aktif ataupun mantan pun mengatakan hal yang sama, kekerasan pada IDU adalah hal yang terus terjadi dan berulang-ulang. Tiap tahun, masih saja terjadi tindak penyiksaan pada korban Napza ini baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Bentuknya bermacam-macam seperti pemukulan, pemerasan, penodongan, dan semacamnya.
Pelaku kekerasan ini paling banyak adalah polisi. “Saya disiksa habis-habisan untuk mengakui kesalahan. Mereka dengan kejamnya menyiksa saya di kamar mandi. Mereka sangat tidak manusiawi. Mereka samakan saya dengan binatang,” kata salah satu IDU yang pernah mengalami penyiksaan.
Ketika berdiri pada Juni 2006, IKON Bali berupaya mengampanyekan perlunya perlindungan HAM di kalangan IDU. IKON melakukannya melalui empat program utama: pendidikan kritis di kalangan IDU tentang HAM, kampanye pada publik tentang perlunya menghormati HAM, dokumentasi berbagai pelanggaran HAM di kalangan IDU, dan advokasi kebijakan agar lebih melindungi HAM IDU.
Menurut Kadek Adi Mantara, saat ini Direktur Yakeba sekaligus Koordinator Harian IKON Bali, empat program itu dilakukan saling bersinergi. Pendidikan kritis diberikan pada IDU agar IDU sadar bahwa mereka juga punya hak asasi meski disangka sebagai pelaku tindak kriminal. “Selama ini IDU hanya pasrah ketika disiksa karena merasa wajar diperlakukan demikian,” kata Mantara.
Adapun kampanye perlunya perlindungan HAM pada IDU lebih banyak dilakukan melalui aksi pada momen-momen tertentu yang relevan dengan isu HAM ataupun Narkoba. Salah satu momen penting adalah ketika untuk pertama kalinya para IDU di Bali melakukan aksi damai memperingati Hari HAM Internasional pada 10 Desember 2006.
Pada aksi damai yang dilakukan di Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri Denpasar inilah untuk pertama kali muncul wacana dari kalangan IDU tentang perlunya vonis rehabilitasi bagi korban Napza, bukan dengan hukuman penjara.
Selain aksi damai, aktivis IKON juga melakukan advokasi berupa lobi ke hakim ataun Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial terkait dengan perlunya vonis rehabilitasi. Lobi ini dilakukan, misalnya, melalui workshop atau lobi langsung ke kantor instansi pemerintah tersebut.
Juni 2009 lalu, sekitar 50 anggota IKON kembali melakukan aksi damai di PN Denpasar. Kali ini mereka punya amunisi yang jauh lebih nyata untuk menuntut vonis rehabilitasi bagi korban Napza, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 27 tahun 2009 tentang vonis rehabilitasi bagi korban Napza.
Surat edaran ini dikeluarkan pada 17 Maret 2009 oleh Mahkamah Agung dan ditujukan kepada Para Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri di Indonesia. Surat itu mengacu pada pasal 41 Undang-undang (UU) no 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan pasal 47 UU no 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Dua pasal tersebut menyatakan bahwa hakim dapat memerintahkan seseorang yang terbukti sebagai pengguna narkoba dan psikotropika untuk menjalankan rehabilitasi. Nyatanya, vonis rehabilitasi bagi IDU masih sebatas mimpi.
”Kami meminta agara SEMA ini dapat menjadi pegangan para hakim untuk menerapkan vonis rehabilitasi kepada korban Napza,” kata Wahyu saat itu.
Perjuangan para korban Napza itu sudah menemukan titik terang. Tinggal apakah para hakim bersedia menerapkan atau tidak. [!]
Saya mewakili DPD Gerakan Nasional Anti Narkotika (GRANAT) Bali mengucapkan bela sungkawa, semoga beliau mendapat tempat disisi-Nya dan keluarga yang ditinggalkan mendapat kekuatan. amen.
saya banyak terimakasih yg sebesar-besar nya,walaw dulu pernah di rehab, dn lebih mengerti makna dari kedamaian dn h.o.w] walw tk da yg bisa seperti sang pejuang(angkel bob) tpi saya percaya terutama anak” yakeba pasti bisa melanjutkn perjuangan sang angkel bob. thnk yakeba