Lewat pengeras suara, petugas Museum Bajra Sandhi mengusir kami.
“Dimohon kepada bapak-bapak agar tidak menaikkan layang-layang di lapangan utama…” Begitu bunyinya berulang dari si pemilik suara yang khas lelaki dewasa.
Kami sedang beraksi Lapangan di Puputan Renon, Denpasar. Di pelataran seberang kantor Gubernur Bali, sejumlah anak muda berdiri berderet. Seorang perempuan berkacamata memegang tongkat berbendera merah putih. Sisanya memegang lembaran spanduk hijau panjang dan bendera identitas organisasi. Di depannya, Ahmad Haris, si orator jangkung berkacamata berdiri sambil sesekali mengepal tinjunya ke atas.
“Berikan hak rakyat atas penggunaan tanah…,” teriak aktivis Frontier tersebut.
Samar sepenggal kalimat mengalir. Terdengar dari suaranya yang tak begitu nyaring terpantul dari loudspeaker. Mereka tidak sedang melakukan aubade di lapangan. Atas nama Walhi Bali, Frontier Bali, dan Konsorsium Pertanahan Agraria (KPA) Bali, mereka tengah melakukan aksi: Tolak Bali International Park (BIP).
BIP ini adalah proyek yang dibangun menjelang KTT APEC pada November 2013 mendatang. Sebelumnya mereka juga melakukan penolakan dengan aksi teatrikal. Selengkapnya bisa dibaca di tulisan Tolak BIP! Saatnya Moratorium Bali Selatan.
Haris masih berdiri di barisan depan memimpin anak-anak muda yang memegang atribut. Sekitar pukul 10.00 Wita, konsentrasi kegiatan mereka sebagian beralih ke tengah lapangan.
Sebuah layangan berukuran sedang diboyong dan dibentangkan di rumput. Dari penampangnya tergambar sesosok raksasa yang hendak memakan bulan; dalam bulatan bulan itu ada bumi. Mirip cerita Kalaru Bali. Tulisan Tolak BIP menjuntai di ekornya. Seketika angin berhembus, mengudaralah layang-layang itu.
Disusul layang-layang segi empat lainnya yang mulai mengudara satu persatu. Pelan, mereka menampakkan pesannya di langit. Sama-sama bertuliskan ekspresi negasi: Tolak BIP.
Tiga musisi Bali Superman is Dead (SID), Jerinx, Eka, dan Bobby juga turut bermain layang-layang di antara para penolak BIP. Kenapa memilih layangan, dalam satu obrolan santai usai aksi sekenanya Jerinx menjawab; “saat orang – orang mulai cuek, butuh sesuatu yang bisa menarik perhatian.”
Peringatan
Belum sampai setengah jam bermain layangan, suara dari Monumen Perjuangan Bajra Sandhi Renon memecah keriuhan. Sebuah pemberitahuan mengudara. “Dimohon kepada bapak-bapak agar tidak menaikkan layang-layang di lapangan utama…” Begitu bunyinya berulang dari si pemilik suara yang khas lelaki dewasa.
Gendo Suardana, komandan Walhi Bali masih sibuk dengan tali yang terus ia ulur.
Peringatan itu tampak tidak digubrisnya. Bahkan dia yang sempat berdiri di sebelah saya, sempat nyeletuk bercanda, “Grogi dia, masa dibilang jangan menaiki lapangan.”
Sekitar satu jam layang-layang itu sempat meraih langit. Ada yang putus diterbangkan angin, tersangkut dan ditarik kembali untuk disimpan ke dalam plastik.
Waktu yang sama, dari akun twitter @balebengong ada kicauan: “Lapangan Renon adalah milik publik, bukan pemerintah!! Seharusnya warga naikin layangan #tolakBIP tidak diusir dari sana.”
Lapangan Renon saya kira termasuk ruang publik. Nah, ruang publik itulah yang dimanfaatkan teman-teman yang menyuarakan aspirasinya. Tujuannya, untuk menjangkau atensi publik. Bahwa yang mereka kampanyekan mengandung kepentingan publik.
Ruang Publik dalam diskursus hukum, politik dan sosial sejak zaman arkaik di abad ke 17 di Eropa bahkan diklaim sebagai suatu bentuk rasio pencerahan. Konsep publik dikaitkan dengan keberanian para warga negara untuk menggunakan rasionya secara mandiri di hadapan umum tanpa campur tangan otoritas. Sederhanaya lewat ruang itu ada tindakan partisipasi politis warganegara.
Nah publik, apa bentuk partisipasi kita dalam negara yang demokratis ini? Sudahkah? [b]