Misinya menata lingkungan hijau. Nyatanya, ruang hijau terus menyusut.
Kawasan Denpasar Timur dan Desa Guwang di Gianyar berada di dataran rendah, kurang dari 100 meter di atas permukaan laut. Karena itu udaranya tergolong panas sepanjang tahun dengan suhu rata rata di atas 26 derajat C.
Pemanasan global membuat suhu udara di seluruh dunia termasuk Bali meningkat. Pada Januari dan Februari ini, udara panas dan gerah dirasakan warga Denpasar dan orang yang bermukim di dataran rendah. Konsumsi energi untuk mengurangi kegerahan meningkatkan pemanasan. Sebab, sebagian besar listrik yang dikonsumsi masyarakat Bali bersumber dari bahan bakar fosil.
Namun, ada perbedaan tingkat kegerahan tersebut karena penggunaan lahan yang terjadi. Luas ruang hijau menentukan perbedaan ini.
Jika ingin kota hemat energi, perbanyaklah ruang hijau yang kaya keragaman hayati dan rancanglah bangunan hemat energi yang disesuaikan dengan seni Bali. Ini tantangan bagi arsitektur Bali di masa kini dan di masa depan. Kota yang hemat energi dan ramah keragaman hayati adalah perwujudan nyata dari aspek Tri Hita Karana.
Di Denpasar, Kuta, Seminyak dan Nusa Dua luas lahan hijau kurang dari 20 persen total luas wilayah itu. Ini tidak termasuk sawah. Bila sawah diikutsertakan, luas lahan kurang dari dua pertiganya.
Di Desa Guwang, ada perbedaan menarik dengan kota Denpasar dari segi udaranya. Ini karena sebagian besar desa itu masih sebagai sawah. Mungkin 80 persen dari luas desa itu berupa sawah meskipun bukan yang sepenuhnya ramah lingkungan karena masih menggunakan pestisida dan pupuk kimia.
Ruang hijau dan sawah memberikan oksigen dan menyerap uap air serta gas rumah kaca. Penyerapan gas rumah kaca oleh tanaman hijau dan keluarnya oksigen ini yang menghasilkan udara sejuk saat menyentuh badan manusia.
Saat ruang hijau dan sawah diubah menjadi beton dan aspal, udara gerah menyelimuti karena gas rumah kaca dan uap air tidak diserap tapi mengambang di udara. Panas yang diserap dan tersimpan di situ. Inilah yang membuat udara jadi gerah dan saat malam hari suhu di Denpasar lebih terasa panas daripada di Guwang. Udara gerah membuat manusia lebih mudah stress dan ini berujung pada penyakit yang berpotensi muncul.
Dengan pemanasan global yang membuat ruang hidup terasa menyesakkan, seharusnya penataan lahan diperhatikan kembali berdasarkan aspek ekologinya untuk menghasilkan udara sejuk. Di Indonesia, meski menurut hukum yang berlaku sawah bukan termasuk ruang hijau, dia memberikan kesejukan udara.
Dengan pertanian ramah lingkungan, sawah dapat berperan dalam menahan pemanasan global. Sawah bisa bebas dari bahan bakar minyak bumi untuk pestisida dan gas alam untuk pupuk buatan. Dua bahan kimia itu menyebabkan timbulnya gas nitrous oxide (N2O) yang ratusan kali lebih kuat memerangkap panas di bumi daripada karbon dioksida
Burung, ikan, reptil, amfibi, serangga dan invertebrata serta tanaman tanaman di tepi sawah merupakan merupakan kekayaan biologi pulau ini. Karbohidrat, mineral, vitamin, dan protein diperoleh dari sini. Nilai keindahan mahluk mahluk itu dapat dinikmati kembali setelah luntur karena kesalahan revolusi hijau dan peralihan lahan. Masyarakat kota semakin dekat pada alam yaitu bersentuhan dengan kehidupan liar di sawah.
Hutan kota dan kebun permakultur perlu dikaji untuk perluasan. Luas kedua lahan hijau tersebut kurang dari 20 persen kota Denpasar. Hutan kota berfungsi untuk paru-paru kota dan daerah resapan air agar air tanah terus diperbaharui untuk menanggulangi krisis air di Bali Selatan. Luas hutan kota minimal 15 persen.
Di Denpasar, kita dapat melihat contoh dari Taman Baca Kesiman bagaimana kebun permakultur di Banjar Kesiman menjadi oase di tengah himpitan gedung. Permakultur di situ mencakup tanaman yang dapat dimakan dan tanaman hias yang cocok ditanam di iklim dan tanah yang sesuai dengan kondisi kota Denpasar tanpa bahan kimia.
Gambar Permakultur Taman Baca Kesiman. Terong merupakan tanaman bernutrisi kaya serat yang cocok ditanam di Denpasar.
Lahan-lahan permakultur dan sawah ramah keragaman hayati seharusnya dibebaskan dari pajak. Pemilik lahan tersebut didorong untuk mengelolanya dengan asas keadilan sosial di mana para pekerja dapat hidup layak dan pemilik lahan meperoleh keuntungan.
Peran pemerintah kota, kabupaten bahkan provinsi menjadi penting dalam penataan kawasan hijau yang mampu memberikan manfaat ekonomi, pangan dan kesehatan. Dengan demikian, Bali benar-benar akan bisa mewujudkan kemandirian pangan, meningkatkan nilai tambah, dan daya saing pertanian sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani serta menata wilayah dan lingkungan yang hijau, indah dan bersih. [b]