Oleh Ni Putu Yogi Paramitha Dewi
“Elemen yang paling merusak dalam masyarakat adalah ketidakpedulian” – Emma Goldman
Reklamasi Tanjung Benoa menjadi topik yang saat ini ramai dibicarakan khalayak di Bali. Di balik hiruk pikuk aksi pro dan kontra terhadap rencana tersebut, kelas menengah perkotaan nampaknya lebih nyaman dengan posisi menjaga jarak. Mereka ini adalah para pekerja intelektual dengan penghasilan di atas rata-rata dan merupakan penikmat hiburan-hiburan baru yang ditawarkan pasar.
Mereka sebaliknya juga didesain sedemikian rupa oleh sistem pendidikan untuk memenuhi permintaan-permintaan pasar kerja. Untuk menampung tenaga kerja dan dahaga hedonisme kelas menengah ini pulalah yang konon menjadi alasan reklamasi ini dilakukan.
Maka menjadi pertanyaan, apakah hal ini yang membuat mereka berada dalam kebimbangan antara menolak atau menerima atau malah acuh-tak-acuh terhadap polemik yang terjadi?
Banyak yang berspekulasi bahwa kelas menengah adalah lokomotif perubahan. Mereka akrab dengan kemajuan teknologi informasi, memiliki potensi berjaringan yang luas dan sekaligus kekuatan pasar potensial yang bisa merubah pola produksi ekonomi.
Namun dalam banyak kasus, kelas menengah merupakan kelas yang oportunistik. Tidak saja takut mengambil posisi tegas, mereka juga dipandu oleh kepentingan-kepentingan individualnya. Ketika kepentingan ini akan terganggu oleh embusan perubahan politik atau ekonomi, mereka dapat saja mengambil sikap konservatif dan mendukung status quo.
Sebaliknya, jika kepentingan mereka bisa terartikulasi lebih jelas oleh perubahan, mereka akan larut dalam euphoria walau terkadang sesaat karena mereka harus kembali pada rutinitas kerja produksi.
Bencana
‘Bencana’ merupakan kata yang ditakutkan oleh orang-orang yang memiliki properti. Kelas menengah akan berusaha sekuat tenaga untuk mencegah atau mendukung proyek-proyek pencegahan bencana. Bagaimana tidak? Jika kelas atas tidak begitu khawatir dengan bencana karena mereka memiliki banyak pilihan untuk tinggal dan menginvestasikan kekayaannya di tempat yang labih aman, kelas menengah sebaliknya berada dalam posisi tidak menentu.
Hal ini karena dalam kata ‘bencana’ terkandung makna ketidakmenentuan, sebuah kondisi yang paling ditakutkan kelas menengah. Bencana baik sosial atau alam dapat saja membuat mereka kembali pada titik nol, kehilangan properti yang selama ini mereka kumpulkan beserta kenyamanan yang lahir dari relasi dengan properti tersebut.
Bacaan yang tepat tentang kesadaran kelas menengah perkotaan di Bali yang membuat pemrakarsa proyek dan pemerintah untuk bermain di ranah ‘kebencanaan’. Reklamasi diklaim untuk mencegah terjadinya bencana tsunami yang mengancam Bali. Dihantui oleh dahsyatnya dampak gempa bumi yang diikuti tsunami di Aceh tahun 2004 silam, kelas menengah memproyeksikan reklamasi Teluk Benoa nantinya akan dapat mencegah mereka menjadi korban-korban tsunami berikutnya.
Kejutan
Mungkin di sini ‘kapitalisme bencana’ yang diperkenalkan oleh Naomi Klein memainkan perannya. Hal ini merujuk pada cara kerja kapitalisme dengan melahirkan shock (kejutan) secara psikologis melalui bombardir siaran tentang dampak bencana tsunami kemudian menggunakan kesempatan dalam situasi keterkejutan untuk memuluskan hasrat akumulasi modalnya.
Di Bali, kapitalisme bencana tersebut telah beberapa kali terbukti. Sesaat setelah pembantaian massal 1965-1966, dengan cepat Soeharto mengambil kebijakan pariwisata massal di Bali. Hotel-hotel sebagai sarana penunjang pariwisata mulai tumbuh di beberapa tempat. Brosur promosi pariwisata dicetak dan disebarkan dengan menggunakan bahasa marketing ‘Bali Pulau Surga’, ‘Bali Pulau Dewata’ dan sebutan indah lainnya.
Masyarakat Bali pun terbuai dalam mimpi indah hidup di bawah gemerlap industri pariwisata di mana segala sesuatu yang dihasilkan masyarakat Bali bisa ditukarkan dengan dolar.
Selanjutnya, sesaat setelah terjadinya Bom Bali I tahun 2002, banyak pihak yang meramalkan kejatuhan pariwisata Bali. Namun yang saat ini terjadi justru sebaliknya, pariwisata semakin massif dan ekspansif.
Kondisi keterkejutan masyarakat Bali akibat dampak Bom Bali I secara ekonomi, sosial dan budaya dengan cepat membuka peluang yang lebih besar untuk penguasaan tanah Bali guna mendukung industri pariwisata. Atas nama recovery pula, masyarakat Bali diarahkan untuk mendukung proyek-proyek yang dapat segera memulihkan atau bahkan memacu kenyamanan pariwisata lebih jauh. Tanah-tanah dijual untuk mendukung ekonomi keluarga karena jika harus kembali bertani berarti turun kelas serta menurunkan standar kenyamanan.
Tak butuh waktu lama, sawah sudah berubah jadi rumah, vila, hotel, mall, supermarket, kafe dan sebagainya.
Sementara kelas menengah merasa bimbang dalam menimbang dampak reklamasi Tanjung Benoa, suara-suara jujur masyarakat kecil (subaltern) lah yang harus belajar untuk diperdengarkan. Mereka mewakili suara jujur. Walaupun juga tidak sepenuhnya namun paling tidak kita dapat melihat dan tau apa yang sebenarnya paling mereka butuhkan. Pun juga mereka mencoba membentuk perlawanan-perlawanan kecil terhadap skema pariwisata Bali yang tidak adil melalui praktik kehidupan sehari-hari.
Nyoman, seorang bapak paruh baya yang bekerja sebagi supir mobil carteran bandara, misalnya. Dalam perbincangan dari bandara menuju rumah, Nyoman menceritakan kepada saya bagaimana gemerlap industri pariwisata perlahan-lahan menggeserkan dia semakin jauh ke pinggiran. Penghasilan sebagai sopir di bandara tidak menentu. Sementara itu, dia harus menghidupi istri dan tiga anak yang dalam usia sekolah.
Di tengah maraknya pembangunan proyek untuk menarik wisatawan, Nyoman dan teman-temannya tidak serta merta ikut merasakan penambahan potongan kue pariwisata Bali. Turis yang datang menginap di vila atau hotel sudah langsung dijemput mobil jemputan hotel atau vila tersebut. Sementara dia dan teman-temannya dulunya adalah supir taksi ‘resmi’ saat ini memilih untuk tidak menggunakan argo dan tidak pula tergabung dalam perusahaan taksi resmi.
Hal ini untuk membuat ruang tawar-menawar yang fleksibel mengikuti ‘kebutuhan’ mereka dan pelanggan serta berada di luar skema ‘resmi’ negara dan kapital. Perlawanan sehari-hari seperti ini tidaklah boleh diremehkan karena dapat saja bermakna sebagai senjata kaum lemah dalam melawan ketidakadilan pariwisata Bali. [b]
Penulis, Alumni Magister Hukum UNUD, Pegiat Komunitas Anak Tangguh Guwang, Gianyar.
Seberapa besar jumlah kelas menengah di Bali mbok?