Teks I Komang Sastrawan, Foto Ilustrasi Anton Muhajir
Kemacetan di Bali merupakan isu hangat di daerah Bali Selatan, seperti Denpasar dan Badung.
Pariwisata memberikan sumbangan besar dalam masalah kemacetan. Kebijakan publik pemerintah daerah dalam memecahkan masalah ini adalah dengan membangun jalan baru. Tercatat dua proyek besar pembangunan jalan tersebut adalah Sunset Road dan jalan Bypass Ida Bagus Mantra. Pembangunan jalan baru selalu menjadi pakem absolut dari pemerintah untuk memecahkan masalahan kemacetan ini.
Perkembangan paling hangat saat ini adalah rencana pemerintah untuk membangun jalan (tol) di atas Perairan (JDP). Pembangunan ini akan dilaksanakan oleh Konsorsium yang terdiri dari 4 BUMN, yaitu PT Angkasa Pura II, PT Jasa Marga, PT Pelindo III dan PT. Bali Tourism Development Corporation (BTDC).
Tidak jauh beda dengan alasan sebelumnya, proyek JDP ini juga dilandasi alasan sama bahwa Bali Selatan, khususnya Denpasar dan Badung dari ruas jalan Benoa samapai Nusa Dua, mengalami kemacetan yang dikhawatirkan akan mengganggu kenyamanan masyarakat. Di tengah fakta kemacetan tersebut, gagasan ini tentu saja dipandang sebagai gagasan menyegarkan bagi masyarakat. Ketika masyarakat jenuh dengan permasalahan kemacetan, akhirnya yang terlintas langsung dalam benak masyarakat adalah: jalan baru maka kemacetan berlalu.
Pertimbangan lain seketika lenyap begitu saja. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi Bali seiring sejalan dengan peningkatan kemacetan itu sendiri tidak menjadi pertimbangan lain. Padahal bila ditelusuri lebih cermat, penyebab utama kemacetan di Bali terutama di Denpasar dan Badung bukan hanya karena persediaan jalan melainkan karena pemerintah gagal menyediakan sarana transportasi publik. Pemerintah gagal membangun manajemen transportasi publik yang optimal.
Kegagalan ini pada akhirnya memacu peningkatan jumlah kendaraan dari periode ke periode. Namun, tingginya volume kepemilikan kendaraan pribadi bukanlah satu-satunya faktor kemacetan di Bali.
Di sisi lain, pariwisata juga berkontribusi besar terhadap permasalahan kemacetan ini. Kondisi obyektifnya, setiap industri pariwisata memberikan pelayanan transportasi ekslusif bagi kliennya. Misalnya, hotel, vila, restoran, spa serta industri pariwisata di bidang hiburan.
Belum lagi perusahaan tour and traveling yang memang notabene bergerak di bidang transportasi. Bayangkan saja berapa banyak akomodasi pariwisata yang semuanya memberikan jasa trasportasi? Berapa jalan dipenuhi mobil-mobil dan bus-bus pariwisata?
Terkait pembangunan JDP, apakah benar-benar dapat menanggulangi kemacetan?
Pertama, pembangunan JDP terdapat empat persimpangan. Satu persimpangan di tengah perairan dan tiga persimpangan di darat. Persimpangan di darat di antaranya: 1) persimpangan dengan jalan di Nusa Dua, 2) persimpangan di Patung Ngurah Rai Tuban, dan 3) persimpangan di Pelindo Benoa. Berbicara simpangan tidak terlepas dari pengalaman sebelumnya yaitu persimpangan Patung Dewa Ruci (Kuta).
Awalnya pembangunan persimpangan tersebut direncanakan langsung laju tanpa traffic light. Tapi, agar tidak terjadi tabrakan arus dari dua arah menuju tiga arah maka dipasanglah traffic light. Penumpukan kendaraan tiap detik pun terjadi sehingga kemacetan terjadi.
Tak ayal persimpangan tersebut disebut sebagai simpang siur, sindiran tepat atas kemacetan dan kesimpangsiuran persimpangan tersebut.
Bahkan, saat ini persimpangan tersebut adalah titik macet luar biasa di ruas Bypass Ngurah Rai. Begitu juga nantinya adanya tiga titik persimpangan dalam rencana pembanguan JDP. Tidakah pada akhirnya menumbuhkan 3 titik kemacetan yang baru? Karena pada ketiga titik persimpangan tersebut akan terjadi pemberhentian jeda beberapa detik maka akan terjadi tumpukan kendaraan–kendaraan berikutnya. Kemacetan tak akan terhindarkan.
Kedua, dibangunnya JDP tersebut menimbulkan kesan Bali lebih nyaman. Sebab, gambaran umumnya di Bali tidak ada kemacetan. Hal ini dapat dikatakan sebagai sekadar alasan yang dicari-cari oleh para investor untuk menanamkan modalnya di Bali.
Padahal, apabila diteliti lebih jauh, pembangunan JDP ini tidak lebih sebagai proyek untuk kepentingan penyelenggaraan APEC.
Menariknya, sebelumnya rute pembangunan jalan ini adalah dari Pulau Serangan menuju Benoa. Rencana itu telah menjadi rencana dalam Perda RTRW Provinsi Bali. Namun, tiba-tiba proyek jalan tersebut diubah rutenya dari Benoa s/d Nusa Dua hanya karena momentum penyelenggaraan APEC. Konsekuensinya, perubahan tersebut secara otomatis menuntut revisi Perda RTRW Provinsi Bali.
Dengan demikian pembanguan JDP ini bukan murni dibangun sebagai solusi mengatasi kemacetan. Rencana ini hanyalah bagian dari sebatas proyek yang aji mumpung, dalam artian mumpung ada penyelenggaraan APEC dan mumpung didukung pemerintah pusat.
Persoalannya bukan sebatas menerima atau menolak. Namun, permasalahannya adalah kejujuran pemerintah dalam setiap kebijakan pembangunannya. Karena pijakan kejujuran ini pula yang akan menjadi ukuran apakah kebijkan tersebut benar-benar untuk rakyat atau sebatas kepentingan uang semata pihak-pihak tertentu.
Di sisi lain, perubahan rute JDP tentu saja harus dibarengi kajian mendalam. Kajian pembagian jalan atas rute awal tidak bisa secara serta merta dijadikan kajian untuk rute baru. Apabila itu tidak dilakukan maka proyek JDP bukanlah solusi mengatasi kemacetan. Pada saat yang sama solusi alternatif bagi penataan transportasi publik juga tidak terpikirkan.
Dengan permasalahan ini tentunya pemerintah harus mengambil tindakan tepat. Bukan instan seperti pembangunan JDP ini. Kalau pemerintah mampu menyediakan trasportasi publik yang maksimal dari segi kuantitas, kualitas dan ekonomis masalah kemacetan tentunya dapat diatasi. Pemerintah tak perlu berdiri teguh di atas pakem baku yaitu bangun jalan baru untuk mengatasi kemacetan. [b]
Penulis adalah aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali.