Buku sastra ‘Bulan Sisi Kauh’ memperoleh Hadiah Sastra Rancage 2018.
Satu-satunya penerbitan prosa liris dalam bahasa Bali ini terpilih dari enam judul buku sastra yang terbit pada tahun 2017. Penghargaan diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancagé, yang konsisten memberikan penghargaan pada pengarang yang menulis dalam bahasa ibu.
“Tidak banyak sastrawan Bali yang menulis prosa liris. Dalam 44 prosa liris, penulis mengantar pembaca masuk ke dalam hutan kata-kata yang menjadi jembatan menuju pencarian ke luar maupun ke dalam diri,” tutur Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancagé Ajip Rosidi di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Rabu, 31 Januari 2018.
Prosa liris itu tampil dengan ekspresi bahasa Bali yang kuat, segar, dan orisinal. Begitu penilaian panitia atas karya pertama Nirguna, sapaan akrab I Gdé Agus Darma Putra.
Bagi pembaca filsafat Bali terkait tatwa dan tutur, Ajip mengungkapkan, bakal langsung merasakan prosa liris itu adalah usaha pengarang menginterpretasikan filsafat-filsafat tersebut dengan fenomena aktul dan nilai-nilai universal. Contohnya terlihat pada prosa liris bertajuk Bibi (ibu).
Wantah kenyung Bibik, sane dados ubad tiange
Titiang nyadia mangapayah
Getih titiang anggen ngwangsung sariran bibi.
(Hanya senyum ibu yang jadi obat bagiku
Aku bersedia menjadi pelayan
Darahku gunakan membasuh tubuh ibu)
Yayasan Kebudayaan Rancagé memandang kehidupan sastra Bali modern secara keseluruhan cukup dinamis. Salah satunya karena karya-karya itu hadir dalam rubrik berbahasa Bali di koran lokal setiap pekannya. Selain itu, sastra Bali modern juga muncul dalam media daring Suara Saking Bali.
Keberadaan grup diskusi lewat media sosial yang dikelola sanggar sastra Bali modern, Bangli Sastra Komala (Baskom) juga mendukung kehidupan sastra di Pulau Dewata. Grup diskusi ini sekarang memiliki 1.078 anggota dengan beragam latar belakang namun punya minat sama, sastra Bali modern.
Semaraknya apresiasi karya sastra Bali tidak lepas dari beragam kegiatan diskusi dan bedah buku yang pada tahun 2017 tercatat setidaknya ada tujuh kegiatan. Ajip juga mengapresiasi inisiatif kompetisi cipta sastra ‘Gerip Maurip’ atau Pena Hidup yang dirintis sastrawan muda I Made Sugianto.
Dari delapan kumpulan cerpen yang diterima panitia ‘Gerip Maurip’, ada dua yang terpilih dan diterbitkan oleh Penerbit Ekspres. Masing-masing, ‘Joged lan Bojog Lua Ane Setata Ngantiang Ulungan Bulan Rikala Bintang Makacakan di Langite’ (Penari Joged dan Monyet Betina yang Selalu Menanti Jatuhnya Bulan Ketika Bintang Bertebaran di Langit) karya Putu Supartika dan ‘Surat Uli Amsterdam’ (Surat dari Amsterdam) karya Ketut Sugiartha.
Buku Joged lan Bojog Lua memuat 16 cerpen yang semuanya berjudul kalimat lengkap. Supartika menghadirkan cita rasa baru dalam dunia cerpen Bali modern. Sebagian ceritanya menyajikan kritik sosial terhadap fenomena yang terjadi di Bali belakangan ini.
Tengok saja cerpen Saka Joged ane Malajah Apang Sekaane Setata Laku yang menyorot polemik joged porno yang sempat membuat gerah kalangan seni dan masyarakat umum karena merendahkan seni tari pergaulan di Bali. Kekuatan Supartika adalah kemampuannya mengolah konflik dan membangun kisahan yang berbingkai.
Sementara kumpulan cerpen karya Ketut Sugiartha menghadirkan berbagai kisah hidup manusia Bali di tengah arus modernisasi. Cerita yang dijadikan judul buku ini menggambarkan pergaulan bebas manusia Bali dalam pusaran pariwisata. Kisah asmara sesama jenis jadi inti kepercayaan manusia Bali pada ilmu hitam seperti terungkap dalam cerpen ‘Balian’ (Dukun). Tema dominan dalam antologi ini adalah persoalan manusia Bali modern yang tarik menarik dengan dunia tradisi.
Selain dua buku ini, panitia Rancagé juga menilai kumpulan cerpen ‘Cetik Dadong Tanggu’ (Racun Nenek Tanggu). Buku ini memuat empat karya Wayan Selat Wirata dan tiga karya siswa binaannya, serta sebuah cerpen dalam bahasa Indonesia.
Cerpen ini jadi usaha perlawanan pengarang terhadap kepercayaan berlebih masyarakat pada unsur-unsur black magic. Pengarang memberikan gambaran keyakinan berlebihan pada suatu hal justru berakibat ketersesatan paham. Ajip menilai rata-rata cerpen ini beralur linear dan terkesan terburu-buru menyelesaikan kisahan.
Antologi puisi Gebug Ende (Permainan Saling Pukul) karya penulis muda yang baru muncul, I Wayan Wikana hadir dengan gaya berpuisi sederhana. Kekuatannya adalah rima yang terjaga dengan baik.
Menurut Ajip, penulis menggiring pembacanya supaya sadar fenomena-fenomena sosial di sekitarnya. Wikana juga banyak menggugah kecintaan dan kerinduan pada tradisi di kalangan anak muda dalam sajak-sajaknya.
Terkait kumpulan puisi ‘Sangsiah Kehilangan Somah’ (Burung Sangsiah Kehilangan Isteri) karya I Gdé Nala, Ajip memaparkan, kekuatannya ada pada diksi yang apik dan jalin menjalin. Tidak ada tema pusat dalam karya ini karena dihadirkan semacam catatan perjalanan dalam bentuk puisi.
Meski mengandalkan irama dalam ekspresi, ungkap Ajip, sajak-sajak dalam antologi ini padat dengan catatan tentang perubahan sosial seperti dalam dunia pariwisata Bali. “Dari dunia penuh rezeki jadi dunia penuh dilema,” begitu Ajip memaparkan penilaiannya.
Selain karya sastra berbahasa Bali, panitia juga memberi hadiah pada lima pengarang lain yang menulis dalam bahasa Sunda, Jawa, Lampung, Batak, dan Banjarmasin. “Senang sekaligus sedih saat ada penerbitan dalam bahasa ibu. Senang karena ada yang baru menjadi buku, sedih karena bingung mempersiapkan hadiahnya,” kata Ajip.
Masing-masing pemenang mendapatkan hadiah berupa piagam dan uang sebesar Rp 5 juta. Hadiah uang itu berasal dari kantong Ajip sendiri meski kemudian diberikan melalui Yayasan Kebudayaan Rancagé. “Sampai sekarang tidak pernah mengerti dapat dari mana (sumbangan), tapi selalu ada,” kata Ajip yang berusia 80 tahun saat mengumumkan Hadiah Sastera Rancagé 2018 ini. [b]