Teks Anton Muhajir, Ilustrasi Universitas Toronto
Ketika media arus umum bergairah mengantisipasi gelombang new media, pers mahasiswa justru tenggelam.
Karena itu, pers mahasiswa (Persma) harus lebih sigap menghadapi perubahan ini. Mereka tak boleh melulu mengandalkan romantisme sebagai pers alternatif dari media arus utama (mainstream) saat ini.
Gairah media arus utama itu terlihat, antara lain dengan kian banyaknya media yang awas pada media online. Ada sebagian media yang membuat varian baru dari media “induk”-nya. Kompas, salah satunya. Selain tetap menerbitkan koran harian, mereka juga sangat serius menggarap Kompas.com dan, bahkan, portal jurnalisme warga Kompasiana.com.
Media online yang menyusul keberhasilan detik.com pun terus bertambah. Okezone milik grup MNC atau Vivanews.com milik grup Bakrie. Media-media baru ini tak hanya membuat berita-berita yang diupdate secara cepat (breaking news) tapi juga menampilkan saling silang format media (konvergensi). Teks, gambar, audio, video, grafis, semua dalam satu wadah.
Semakin banyaknya media online di Indonesia ini berbalik dengan makin banyaknya media bangkrut: di Amerika Serikat, Eropa, China, Asia, lalu Indonesia. Media cetak berguguran satu per satu akibat pesatnya media online.
Tapi, gairah media arus utama itu belum terasa di kalangan Persma, setidaknya di Denpasar, Bali. Beberapa media Persma yang saya kenal, seperti Akademika, Maestro, Khlorofil, Kertha Aksara, dan Media Ekonomi (Medikom) belum terlalu peduli dengan media online ini. Hanya Akademika yang agak peduli dibanding yang lain. Misalnya, dari domain yang sudah tak lagi nebeng, seperti Maestro yang masih nebeng di website Universitas Udayana atau Medikom dan Khlorofil yang masih nebeng di Blogspot.
Di tengah hiruk pikuk new media, misalnya dengan makin murah dan terjangkaunya internet serta masifnya penggunaan jejaring sosial, seperti Twitter dan Facebook, ketertinggalan Persma ini adalah ironi. Karena itu, meski agak terlambat, Persma perlu segera merespon gelombang new media ini.
Ciri-ciri new media ini ditandai antara lain oleh (1) digitalisasi (dari koran, radio, TV), (2) model berita yang realtime (aktual, breaking news), (3) konvergensi (teks, foto, video), (4) adanya interaksi dengan konsumen (kontribusi, kontrol), (5) reader driven (pembaca punya kuasa karena banyak pilihan), dan kebiasaan membaca sambil bergerak (mobile readership).
Persma perlu melakukan lima hal penting untuk menyambut atau bahkan menikmati arus besar new media. Pertama dengan mengubah bentuk media. Dari yang semula melulu fokus pada media cetak, seperti tabloid dan majalah, Persma kini harus mengubah bentuk pada media online.
Kalau toh tidak berubah sepenuhnya, setidaknya memberi tempat lebih pada media online. Misalnya dengan blog (dan, plis, deh jangan pakai blogspot) atau bahkan website. Kalau blog bisa murah meriah. Gratis pun banyak. Atau kalau beli domain dan hosting sendiri tak akan sampai Rp 1 juta per tahun. Bandingkan dengan biaya cetak yang setahuku bisa sampai Rp 5 juta per edisi.
Kedua, Persma sebaiknya aktif menggunakan jejaring sosial semacam Twitter dan Facebook. Jejaring sosial terkesan main-main tapi sebenarnya sangat berguna untuk menyebarluaskan karya para penulis di masing-masing bentuk media.
Apalagi, para mahasiswa masuk dalam kategori usia yang paling aktif menggunakan jejaring sosial. Mahasiswa, umurnya antara 18-25 tahun merupakan pengguna terbesar jejaring sosial ini. Menurut riset di Amerika Serikat, misalnya, sekitar 96 persen pengguna jejaring sosial ini masuk pada kategori umur ini. Di Bali pasti tak jauh berbeda.
Ketiga, lebih baik kalau Persma memberikan porsi tulisan lebih banyak sesuai bidang ilmu masing-masing, terutama untuk media milik fakultas. Sebab, kalau mengambil tema seperti media arus utama, Persma tak punya cukup kapasitas sumber daya manusia (jumlah) dan waktu. Ini persoalan klasik.
Dengan memberikan bahasan sesuai bidang keilmuan, Persma akan memberikan perspektif berbeda dengan media arus utama sekaligus mengelaborasi ilmu yang diperoleh di bangku kuliah. Tapi, ini tak mutlak. Persma tetap harus memberikan ruang untuk hal-hal di luar bidang keilmuannya biar tidak menjadi generasi apolitis.
Keempat, ajaklah pembaca untuk terlibat dalam mengelola media. Keterlibatan ini bisa dalam bentuk komentar, koreksi, atau bahkan produksi. Ini yang banyak dikembangkan media arus utama seperti Kompas, detik.com, Tempo, dan seterusnya. Di tiap media ini ada fasilitas bagi pembaca untuk memberikan komentar sekaligus koreksi.
Dalam media yang menganut model web 2.0, konsumen media bahkan diberikan keleluasaan untuk memproduksi beritanya sendiri dalam bentuk teks, foto, ataupun video. Persma harus mengajak pembaca melakukan hal yang sama. Ya, memang ini pekerjaan tak mudah seperti halnya di balebengong.net, tapi itu harus dicoba.
Kelima, Persma sebaiknya memilih kedalaman daripada keluasan. Di terbitannya, Persma sebaiknya mengurangi jumlah rubrik sekaligus memperdalam tulisan-tulisan. Sebab, salah satu persoalan media arus utama saat ini, terutama media online, adalah dangkalnya berita.
Persma punya cukup modal untuk menulis dengan lebih mendalam, antara lain karena pada umumnya Persma menerbitkan medianya dalam waktu agak lama, antara dua hingga tiga bulan. Jadi, ya, cukuplah waktu untuk membuat tulisan yang agak mendalam disertai gambar dan video. Kalau ada analisis tentu tulisannya akan lebih keren lagi. [b]
~ Tulisan ini dikembangkan dari materi tentang new media yang disampaikan di pelatihan jurnalistik oleh Persma “Khlorofil” Fakultas Pertanian Universitas Udayana Bali. Silakan unduh presentasi lengkap tentang new media jika perlu. Materi bisa disebarluaskan dengan sesuka hati.
~ Pembuat tulisan ini bekas Pemred Persma Akademika yang sekarang jadi wartawan lepas sambil ngurusi balebengong.net, blog jurnalisme warga di Bali.
~ Ilustrasi diambil dari research.utoronto.ca