Jeritan beberapa perempuan terdengar dari balik layar ponsel saya.
Layar hitam dihiasi beberapa kalimat muncul. Salah satu petikan kalimatnya berbunyi, “Dalam beberapa kasus, perlawanan dipimpin oleh perempuan”. Dalam layar itu, muncul seorang jurnalis perempuan bernama Febriana Firdaus. Dia duduk di sebuah bandara sembari mengingat kejadian empat tahun lalu saat dirinya menyaksikan ibu-ibu Kendeng menyemen kaki mereka di depan Istana Negara.
Cerita perempuan tersebut terekam dalam sebuah film dokumenter yang diproduksi The Gecko Project dan Mongabay. Film berjudul Tanah Ibu Kami ini telah tayang perdana pada 2 November 2020 di kanal YouTube The Gecko Project.
Film Tanah Ibu Kami menjadi salah satu film yang saya tunggu-tunggu penayangan perdananya. Sebelumnya, saya hanya mampu menyaksikan cuplikan film ini gentayangan di beranda Twitter.
Tanah Ibu Kami menjadi cerminan pengalaman perempuan yang begitu kaya. Dari awal film saya melihat bagaimana perempuan di berbagai wilayah di Indonesia memiliki agensi dan ruang dalam komunitas atau daerahnya masing-masing. Sepanjang 50 menit itu juga, aktor dalam film tersebut adalah perempuan, termasuk ilustrasi yang dihadirkan pada film ini dibuat oleh seorang ilustrator perempuan bernama Nadiyah Rizki.
Film ini menunjukkan bahwa pengalaman perempuan adalah hal penting. Sebab pengalaman juga menghasilkan pengetahuan baru bagi kita semua.
Cerita dirangkai melalui perjalanan Febriana Firdaus menapaki ladang perjuangan perempuan-perempuan dari berbagai wilayah ini, dimulai dari Kendeng, Mollo, Banggai hingga Aceh yang terletak di ujung barat Indonesia. Dengan latar bandara sebagai adegan pembuka film ini, Febriana Firdaus menjelajahi beberapa titik di Indonesia. Dia menemui perempuan-perempuan yang selama ini memperjuangkan ruang hidup mereka dari gempuran industri.
Perjalanan pertamanya dimulai dengan mengunjungi Yu Sukinah, seorang perempuan yang berjuang melindungi Pegunungan Kendeng di Jawa Tengah dari kungkungan pabrik semen. Meskipun budaya masyarakat Jawa masih didominasi oleh laki-laki, tetapi hal berbeda tergambar pada Gerakan Kendeng. Di sini mana wadah dan ruang terbuka lebar bagi perempuan. Bahkan perempuan menjadi pemimpin dan garda terdepan dalam setiap aksi yang mereka lakukan di ruang publik.
Gerakan Kendeng menjadi salah satu contoh solid bagaimana pergerakan dibangun dengan nilai-nilai kesetaraan di dalam komunitasnya. Gerakan Kendeng seolah menekankan bahwa kesadaran untuk merawat dan melindungi alam bukan hanya tugas salah satu gender. Hal itu menjadi kesadaran dan tanggung jawab bersama. Bahkan di tahun 2016, ibu-ibu Kendeng yang kemudian dikenal dengan sebutan Kartini Kendeng melakukan perlawanan dengan mengecor kaki mereka dengan semen di depan Istana Negara. Hal tersebut mereka lakukan setelah sebelumnya berbagai upaya di depan pabrik semen telah dilakukan, tetapi yang mereka terima hanya kekerasan dari aparat pada saat itu.
Cobaan terberat juga menimpa Kartini Kendeng, di tahun 2017. Salah satu perempuan bernama Yu Patmi meninggal usai melakukan demonstrasi di depan Istana Negara. Meski hingga kini pabrik semen tetap beroperasi dan mereka harus kehilangan satu saudaranya, tetapi semangat mereka masih terus membara. Sebab, menurut Sukinah, meski raga Yu Patmi telah tiada tetapi jiwanya masih bersama mengiringi gerakan mereka hingga saat ini.
Membombardir Gunung
Perjalanan kemudian dilanjutkan ke wilayah timur Indonesia, jalanan tampak berkabut di daerah Mollo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada akhir dekade 1990-an hingga tahun 2000-an, ibu-ibu dari masyarakat adat Mollo berjuang melindungi gunung mereka dari perusahaan tambang. Di sini, Febro (sapaan akrab Febriana Firdaus) menemui Mama Lodia Oematan salah satu perempuan yang berjuang melawan tambang dengan menenun di atas Pegunungan Mollo.
Mama Lodia bercerita bahwa pada saat ia menenun, bor membombardir gunung yang ia duduki. Meski begitu Mama Lodia tetap menenun sebab ia berpikir harus tetap menolak tambang yang merusak gunungnya. Dia percaya masyarakat adat punya hak milik atas alam. Kegiatan menenun tetap dilakukan selama kurang lebih satu minggu, meski di sisi lain ia juga harus mempertaruhkan hidupnya di tangan perusahaan itu.
Masyarakat Mollo memiliki kepercayaan bahwa batu adalah hal sakral dan harus dilindungi di daerahnya. Dalam kesempatan itu, Febro juga berbincang dengan Mama Aleta Baun. Dia bercerita bahwa pengetahuan paling unik adalah pengetahuan dari alam. Alam mengajari kita semua sebelum ilmu pengetahuan hadir. Maka, sudah sepatutnya alam itu dijaga keberadaannya sebab ia memberi banyak kepada manusia.
Perjalanan di Mollo mengisahkan perjuangan mama-mama yang memegang teguh filosofi kehidupannya tentang alam di Pegunungan Mollo, tetapi perjalanan harus terus berlanjut.
Perjalanan kemudian dilanjutkan ke utara, sebuah daerah di Provinsi Sulawesi Tengah bernama Kabupaten Banggai. Seorang perempuan bernama Eva Bande mengatakan bahwa dirinya selalu merasa diawasi di tanah kelahirannya sendiri. Eva Bande adalah perempuan yang dipenjara karena mengorganisir petani melawan perusahaan yang mengubah lahan petani menjadi perkebunan sawit.
Perjalanan dilakukan dengan menyusuri lahan pertanian tempatnya melakukan demonstrasi terhadap perusahaan sawit. Perlawanan dilakukan dengan terus menanami tanah mereka, agar pemilik modal berhenti melakukan ekspansi sawit di tanahnya. Eva menjadi salah satu orang dari 24 orang yang ditangkap akibat membela petani yang menolak ekspansi sawit tersebut. Banyak trauma yang terjadi pasca penangkapan aktivis di Banggai, termasuk bagi Mbah Parmi salah satu keluarga korban yang anaknya menjadi korban salah tangkap.
Peristiwa penangkapan sejumlah petani membawa trauma bagi perempuan yang suaminya harus dipenjara. Perempuan harus menafkahi keluarganya sendiri. Momen tersebutlah yang kemudian memberdayakan para perempuan ini, mereka bersolidaritas dan membentuk koperasi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pengalaman mereka membuat para perempuan sintas di dunia yang memaksa mereka untuk mengambil peran ganda, sebagai kepala keluarga sekaligus ibu rumah tangga.
Perjalanan yang dilakukan Febro dalam film ini semakin menguatkan argumen bahwa komunitas berperan penting dalam suatu daerah, solidaritas terjalin melalui pembentukan komunitas perempuan di Kabupaten Banggai ini.
Beban Emosional
Perjalanan terakhir Febro mengantarkannya bertemu dengan perempuan sebayanya bernama Farwiza di ujung barat Indonesia. Pertemuan mereka di Aceh seolah menjadi momentum untuk membicarakan perjalanan Febro mengunjungi Kendeng, Mollo dan Banggai. Mereka membicarakan bahwa fokus perjuangan perempuan-perempuan ini berasal dari perjuangan kelompok. Meski spotlight kerap digantungkan pada individu, tetapi hal itu seharusnya dijadikan modal untuk membangun gerakan yang lebih solid ke depannya.
Farwiza menjadi perempuan muda yang melindungi paru-paru dunia di hutan Leuser selama ini. Wiza berupaya melindungi Leuser dengan melakukan penelitian, menggandeng media dan mengupayakan jalur hukum untuk mendorong pemerintah melindungi Leuser. Dalam perbincangan tersebut, mereka berdiskusi tentang beban emosional, produksi dan lingkungan yang kerap kali berkelindan dengan pengalaman perempuan. Karena, sehari-harinya perempuan bersentuhan langsung dengan air sebagai manifestasi dari alam itu sendiri.
Film ini memberi gambaran dan realitas utuh melalui perspektif perempuan. Perspektif ini penting, sebab pengalaman perempuan dalam komunitasnya menjadi salah satu alasan mereka hadir sebagai garda terdepan dalam melindungi lingkungan. Pengalaman tersebut diperkuat dengan hadirnya komunitas yang solid dan setara, sehingga ruang gerak bagi perempuan dapat tercapai di dalamnya.
Selain membawa pesan bahwa perempuan mampu menjadi pelindung bagi alam itu sendiri, ada hal lain yang dapat diamati dalam permasalahan di film ini. Bahwasanya perusakan lingkungan terjadi hampir di berbagai wilayah di Indonesia. Mulai dari Aceh, Jawa, Sulawesi hingga Nusa Tenggara Timur (NTT). Persebaran wilayah perusakan alam di Indonesia menjadi permasalahan krusial. Sebab, dalam beberapa dekade ini pemerintah sebagai pemangku kebijakan telah gagal dalam melihat kebutuhan masyarakatnya.
Hal ini mengacu pada mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan, bermata pencaharian petani, dan menganut kepercayaan adat yang menjadikan alam sebagai sumber penghidupan mereka. Perusakan terhadap alam menjadi permasalahan krusial, sebab hingga hari ini masih banyak daerah yang dieksploitasi demi kepentingan pembangunan semata.
Dari apa yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia tersebut, kita juga dapat melihat bahwa perlawanan dari perempuan-perempuan ini selalu diakhiri dengan kekerasan dan ancaman fisik maupun mental bagi mereka yang mempertahankan ruang hidupnya. Pemerintah, aparat dan perusahaan seolah bekerjasama dan membuat masyarakat kian terpuruk. Pengalaman perempuan di berbagai wilayah di Indonesia ini menjadi potret yang muncul di permukaan. Tentu masih banyak perempuan dan masyarakat lain yang harus berjuang menyelamatkan alamnya.
Maraknya industri serta tambang tentu merampas ruang hidup masyarakat yang selama ini bergantung pada alam. Bahkan kebiasaan memuliakan alam sebenarnya telah tercermin dalam kultur masyarakat adat kita selama ini. Di Bali sendiri masyarakat mengenal filosofi Tri Hita Karana yang di dalamnya juga mengacu pada hubungan yang baik terhadap alam (palemahan). Tentu film Tanah Ibu Kami menjadi pengingat bagi kita semua untuk melihat sejenak apa saja yang sudah kita lakukan terhadap Ibu Bumi (alam) selama ini.
Sekali lagi, dalam kultur yang kapitalis-patriarkal ini, perempuan membuktikan bahwa agensi dan perlawanan mereka dalam melindungi bumi menjadi hal yang patut dipelajari bersama. Apa yang dialami perempuan-perempuan tersebut menunjukkan filosofi kehidupan apa yang ingin kita tuju selanjutnya. Apakah itu berupa kehidupan penuh materi tetapi merusak sumber daya alam ataukah kehidupan yang setara dan berkelanjutan? [b]