Upaya membuka diri telah positif HIV menjadi bumerang bagi Made Sujana.
Bapak berumur 50 tahun ini justru dibuang keluarganya. “Sekarang saya yang harus mengurusi,” kata Desak Sukarmiasih yang mendampinginya.
Desak adalah staf lapangan Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) yang mendampingi Sujana.
Menurut Desak, Sujana baru membuka statusnya sebagai sebagai orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) tiga bulan lalu setelah dia sakit. Selain terkena infeksi oportunistik, di lehernya ada benjolan. Sujana keta tuberculosis (TB) juga.
Desak menemukannya ketika dia melakukan kunjungan rutin ke Rumah Sakit Tabanan, wilayah kerjanya. Sujana berasal dari Kerambitan, Tabanan.
“Karena sudah dibuang keluarganya, dia sekarang tinggal rumah saya,” Desak bercerita kemarin.
Menurut Desak, pengucilan yang terjadi pada Sujana adalah bentuk diskriminasi yang masih saja terjadi di Bali. Selama bekerja menjadi petugas lapangan, Desak sudah menemukan lebih dari 10 kali kasus serupa di Tabanan dan Badung.
“Dua bulan lalu juga ada ODHA mati di Marga (Tabanan) tapi tidak ada yang mau mengurusi karena takut tertular,” ujar Desak.
Banyaknya diskriminasi pada ODHA di Bali, menurut Desak, terjadi akibat masih rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai epidemi AIDS ini. Stigma dan diskriminasi menjadi cerita lama yang terus berulang.
Karena itu, menurut Desak, upaya melibatkan komunitas dalam penanggulangan HIV dan AIDS menjadi isu penting.
Aktivis penanggulangan AIDS di Bali akan membawa isu pentingnya keterlibatan komunitas dalam menanggulangi epidemi ini dalam Konferensi Tahunan AIDS di Melbourne, Australia pada 20-25 Juli 2014.
Direktur Yakeba Kadek Adi Mantara yang akrab disapa Moyong mengatakan upaya melibatkan komunitas ini perlu diangkat kembali sebagai pesan bagi Konferensi AIDS di Melbourne.
“Ini saatnya pemerintah menegaskan kembali dukungan terhadap komunitas agar terlibat dalam penanggulangan AIDS di Indonesia, termasuk Bali,” kata Moyong yang menjadi peserta konferensi tahunan tersebut.
Menurut Moyong, saat ini pemerintah Indonesia telah menerapkan strategy of use antiretroviral (SUFA). Fokus strategi ini adalah peningkatan penggunaan ARV di kalangan ODHA yang dilaksanakan melalui tiga hal yaitu Temukan, Obati, dan Pertahankan (TOP). Tujuannya untuk menekan angka kematian dan penularan HIV.
Temukan merupakan upaya untuk menemukan ODHA yang sudah mengakses layanan kesehatan, seperti Puskesmas atau mobile VCT, namun mereka belum minum ARV. Setelah ditemukan, mereka akan dirujuk agar minum ARV.
Obati merupakan upaya agar ODHA yang belum minum ARV bisa segera minum ARV agar sistem kekebalan tubuh mereka lebih kuat. Dulunya, menurut standar WHO, ODHA yang disarankan ikut terapi ARV adalah ODHA dengan CD4 di bawah 350.
“Setelah adanya SUFA, saat ini ODHA yang diketahui positif langsung disarankan untuk mengakses layanan CST, termasuk terapi ARV,” kata Moyong.
Adapun Pertahankan adalah upaya untuk mempertahankan ODHA yang sudah ikut terapi ARV. Bagi sebagian ODHA, terapi ARV bukan hal mudah karena harus dilakukan seumur hidup dan kadang mengakibatkan efek samping.
SUFA merupakan pilot project dari Kementerian Kesehatan yang dilaksanakan sejak tahun lalu di 13 kabupaten/kota. Denpasar dan Badung merupakan dua wilayah yang termasuk dalam pilot project tersebut.
Menurut Moyong, strategi yang baru dilaksanakan sejak November 2013 ini berhasil meningkatkan jumlah ODHA yang dijangkau. “Mereka yang ikut terapi ARV juga meningkat,” tambahnya.
Meskipun demikian, kata Moyong, keberhasilan tersebut masih menyisakan masalah kurang siapnya komunitas dalam penanggulangan. “Kasus di lapangan menunjukkan bahwa peningkatan pengguna ARV belum diikuti peningkatan keterlibatan komunitas,” ujar Moyong.
“Ini penting karena ODHA yang ikut terapi juga perlu mendapat dukungan dari teman sebaya atau keluarganya,” tambahnya.
Keterlibatan komunitas ini, misalnya, pembentukan kelompok dampingan sebaya (KDS), komunitas peduli AIDS, dan keluarga itu sendiri.
Moyong memberikan contoh ada ODHA yang sudah minum ARV tapi tidak sesuai resep. “Jenis ARV yang diminum menjelang tidur ternyata diminum pagi hari. Kan kasihan kalau begitu,” katanya.
Mantan IDU yang juga ODHA ini menambahkan, ada tiga hal yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk melibatkan komunitas dalam penanggulangan AIDS khususnya melalui SUFA. Pertama dengan memberikan pengetahuan perawatan seperti perawatan ODHA melalui home based care atau penggunaan ARV. Kedua dengan menyediakan ruang untuk belajar. Ketiga melalui pendanaan operasional bagi komunitas.
Faktanya, tiga tahun terakhir, KDS-KDS di Bali justru makin banyak yang bubar karena tidak adanya dukungan pendanaan. Lima tahun lalu misalnya ada KDS untuk khusus IDU seperti Positive, IDU Plus, dan Methadone Plus. Sekarang tidak ada satu pun dari tiga KDS itu yang masih bertahan.
“Dulu kita bebas mau ikut KDS mana. Sekarang tidak ada sama sekali,” ujar Moyong.
Desak, ODHA yang juga petugas lapangan di Tabanan memberikan hal sama. “Semua pihak harus dilibatkan dalam penanggulangan ini seperti desa adat dan keluarga. Biar kasus seperti Pak Sujana tidak terulang kembali,” ujarnya. [b]