
Sikap menganggap remeh COVID-19 bisa berakibat buruk.
Dokter residen di ruang isolasi RS Sanglah merasakan jelas bagaimana kondisi penanganan COVID-19 di awal pandemi hingga saat ini. Surya Sujana, salah satu dokter yang terlibat dalam penanganan COVID-19, berbagi pengalaman selama menangani pasien Covid-19 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar.
Dokter muda itu bercerita dalam sesi laporan daring terakhir gerakan Tim Putih Hijau. Tim ini memiliki misi menggalang dana untuk alat perlindungan diri (APD) untuk tenaga kesehatan.
Sebelum pandemi, sehari-hari Surya Sujana bertugas di ruang infeksius menangani pasien asma, tuberculosis (TBC), dan penyakit paru kronis. Namun, sejak Maret lalu Surya ditugaskan RS Sanglah ikut menangani pasien COVID-19.
“Sejak ada COVID-19, kami ditugaskan menangani pasien di ruang isolasi, dibantu dokter penyakit dalam. Masih berlangsung sampai saat ini,” Surya bercerita melalui siaran langsung (live) di Instagram BaleBengong.
Menurut Surya periode awal pandemi menjadi tantangan baginya yang sekaligus mempengaruhi tindakan pembelajaran untuk para tenaga medis dalam menangani pasien COVID-19. Saat itu, sekitar Maret 2020, kasus sudah sampai di Bali tetapi para dokter masih awam. Protokol kesehatan juga belum terbentuk.
“Saya pernah merasakan. Waktu itu saya kontak erat dengan pasien. Protokol belum ada. Istilah kontak erat itu belum ada. Istilah OTG (orang tanpa gejala) pun belum ada,” katanya.
Surya mengaku sempat bergejala sehingga saya mendapat pelayanan dan diisolasi di rumah sakit. Mereka difasilitasi rumah sakit. “Kalau ada tim residen yang memiliki gejala, kami difasilitasi tes swab. Sampai sekarang,” lanjutnya.
Lebih Pesimis
Secara psikologis Surya merasa lebih pesimis pada awal terjadinya pandemi. Apalagi kondisi pasien saat itu cepat memburuk. Di sisi lain tata laksana dan mekanismenya belum baik. Namun, seiring waktu berjalan, penelitian soal COVID-19 terus dilakukan, baik dari badan kesehatan dunia WHO, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) terus berjalan. Hasilnya, dari sisi psikologis pun tenaga medis semakin siap.
Di sisi lain, ia juga merasa beruntung karena sebelum pandemi ini pun, menurutnya RS Sanglah sudah sigap. Salah satunya dengan adanya ruang isolasi yang sebelumnya digunakan untuk menangani pasien SARS dan MERS. Pasien COVID-19 pun diisolasi di ruangan tersebut. Pelayanan bisa dilanjutkan. Tenaga kesehatan seperti perawat pun sudah terbiasa menangani kasus yang infeksius.
Sedihnya, ketika tenaga kesehatan sudah makin siap, banyak orang justru menganggap remeh COVID-19. Padahal, virus ini sangat rentan menyerang pada orang tua dan memiliki penyakit bawaan, seperti hipertensi, kencing manis, penyakit jantung dan kelainan darah.
“Kalau kita yang masih muda dan tidak memiliki penyakit bawaan sih masih aman,” ujarnya.
Sikap menganggap remeh ini berakibat buruk. Jumlah kasus dan pasien COVID-19 terus bertambah. Ruang isolasi atau ruang intensif RSUP Sanglah pun penuh. Pemerintah pun membuat kebijakan, pasien COVID-19 dengan gejala ringan dan sedang jarang dikirim ke Rumah Sakit Sanglah. Ini membuat nakes bisa lebih bernapas lega.
RS hanya menangani pasien-pasien dengan penyakit bawaan (komorbid) berat karena mereka membutuhkan alat medis seperti butuh ventilator, oksigen dengan tekanan kuat, dan lain-lain. Mereka juga memerlukan perawatan yang panjang.
Surya mengingatkan bahwa COVID-19 memiliki gejala awal yang santai dan ringan. Kemudian dalam waktu 1-2 minggu tiba-tiba akan berat. Oleh karena itu, tindakan pertama oleh para dokter adalah dengan menolong fungsi pernapasan agar lebih cepat di ruang intensif.
Pengalaman Istimewa
Bagi Surya secara pribadi, kasus pertama menjadi pengalaman paling istimewa dalam menangani pasien Covid-19. Pasien pertama yang ditangani Surya kebetulan warga negara asing. Hal yang ia senangi karena pasien itu bisa bercerita dan menjadi refleksi bagaimana penanganan COVID-19 di Bali. Misalnya, beberapa negara sudah melakukan penutupan (lockdown) sedangkan di Indonesia masih buka, termasuk di Bali.
“Bersyukur kami bisa memberikan yang terbaik. Kami belajar bagaimana cara menyampaikan berita buruk, kematian, hal-hal sensitif. Bagaimana menyampaikan hal itu agar keluarga tetap merasa tenang,” kenangnya.
Surya berharap melalui cerita ini, warga akan lebih serius menghadapi COVID-19 dengan menerapkan protokol yang baik. Kalau keluar rumah harus pakai masker dan membawa pencuci tangan (hand sanitizer). “Untungnya sekarang pemerintah tegas, setiap ruang publik sudah difasilitasi dengan tempat cuci tangan,” katanya.
Terkait sistem tracing, menurut Surya, hal yang bisa dilakukan sekarang adalah setiap orang harus sadar dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Kalau sudah merasa keluar, bertemu orang lain, apalagi yang tidak menggunakan masker, orangnya dalam keadaan sakit, bertemu lebih dari 15 menit, dan merasa diri flu, pilek, batuk-batuk demam, segeralah isolasi diri di rumah selama 10 hari.
Gejala awal COVID-19 antara lain batuk, pilek dan demam. Namun, menurut tren saat ini, gejala yang ditimbulkan yaitu adanya penurunan fungsi penciuman dan pengecapan.
“Kalau teman-teman ada yang memiliki keluhan meriang, batuk, demam jarang-jarang tapi tiba-tiba tidak bisa mencium bau harum, atau bau menyengat atau pengecapan terasa mulai berkurang itu bisa jadi tanda-tanda,” ingatnya.
“Segera minum obat. Kalau batuk, pilek, demam setelah tiga hari minum obat tidak membaik, bisa lapor ke puskesmas,” sarannya.
Selanjutnya puskesmas yang akan melakukan tracing. Kalau memang membutuhkan tes usap (swab), puskesmas akan membawa ke tempat yang bisa melakukan. Puskesmas sudah memiliki tata laksana penanganan COVID-19.
Surya menambahkan apabila sudah terkonfirmasi bahwa hasil swab positif, tetapi tidak ada gejala, segera isolasi di rumah 10-14 hari. Kalau sudah 14 hari dan tidak ada gejala boleh beraktivitas asalkan tetap menggunakan masker. [b]
situs mahjong