Saatnya warga turut serta mengawasi layanan setara bagi penyandang disabilitas.
Pada Jumat, 23 Maret 2018, Ade Wirawan, Ketua Bali Deaf Community mendapatkan undangan dari salah satu kementerian dalam rangka sosialisasi kebijakan dan program pemberdayaan disabilitas dan lanjut usia yang inklusif di Provinsi Bali. Pertemuan tersebut diadakan pada 28 Maret 2018 di Legian.
Setelah mengetahui dan memahami maksud undangan tersebut, Ade mengontak dua nama panitia yang tercantum pada undangan. Tujuannya untuk mendapatkan akses bagi tuli seperti juru Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) agar dapat memahami inti dari acara nantinya. Masalahnya, Provinsi Bali saat ini belum memiliki Juru BISINDO profesional. Hanya ada yang bersifat kesukarelawanan sehingga memiliki waktu di luar hari kerja.
Ade kemudian menyarankan panitia untuk menghubungi Pusat Layanan Juru (PLJ) BISINDO di Jakarta. Namun, jawaban panitia saat itu adalah permintaan maaf karena terkendala biaya transportasi. Akibatnya, Bali Deaf Community pun memutuskan untuk tidak hadir meski tercantum dalam undangan.
Ade kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia – Lembaga Bantuan Hukum Bali (YLBH LBH) Bali dalam bentuk kronologis.
Tidak terlepas dari kejadian di atas sebagai sebuah ilustrasi namun tetap dengan itikad baik, maka yang menjadi perhatian khusus YLBHI LBH Bali adalah penerapan dari produk hukum terkait penyandang disabilitas. Produk hukum yang dimaksud baik di tingkatan daerah maupun nasional.
Hak dan jaminan konstitusional bagi penyandang disabilitas di Bali sebenarnya telah dilindungi dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), terutama bagi penyandang disabilitas yang belum menikmati kesempatan sama dengan orang lain. Maka perlu mendapatkan perlindungan dan pelayanan secara optimal sehingga penyandang disabilitas dapat mendiri dan berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan tanpa diskriminasi.
Perda Bali Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (Perda Disabilitas Bali) pada pasal 5 menyebutkan bahwa setiap penyandang disabilitas mempunyai kesamaan kesempatan dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, seni budaya dan olah raga, keagamaan dan adat, pemberitaan, politik, bantuan hukum, penanggulangan bencana, tempat tinggal, dan rehabilitasi.
Bab kelima dari Perda Disabilitas Bali juga mengatur mengenai Aksesibilitas, di mana akses digolongkan dalam dua sub yaitu akses fisik maupun non fisik.
Hal sama juga ada pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabilitas Bali). Kedua produk hukum ini juga menjadikan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) sebagai pertimbangan, sehingga dimensinya telah lepas dari charity based dan beralih pada human rights based. Penyandang disabilitas dianggap sebagai individu yang dapat berdaya bila diberikan akses dan mengambil peranan, bukan objek untuk dikasihani.
Untuk itu, YLBHI LBH Bali menyatakan empat hal.
Pertama, mengapresiasi kinerja Pemerintah Daerah Bali atas diterbitkannya Perda Bali Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas;
Kedua, mendorong segera disahkannya beberapa Peraturan Gubernur yang menjadi amanat dari Perda Disabilitas Bali pada 2015;
Ketiga, mendorong segera dibentuk Komite Daerah Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas sebagai lembaga daerah independen yang mempunyai kedudukan hukum dan melaksanakan fungsi pengkajian dan penelitian, penyuluhan, dan pemantauan hak asasi dan kebebasan dasar penyandang disabilitas sesuai dengan amanat dari Perda Disabilitas Bali pada 2015;
Keempat, mendorong dan memastikan partisipasi masyarakat untuk pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di Bali. [b]