Saya curiga ekowisata dan desa wisata hanya dalih untuk terus mengeksploitasi.
Kisah tersingkirnya komunitas lokal di tengah terjangan investasi global mungkin tidak hanya dialami manusia dan Tanah Bali. Kisah getir tersebut dialami oleh seantero negeri ini.
Rakyatnya terus berjuang untuk menegakkan harkat dan martabat di tengah kepungan kuasa investasi dan rezim infrastruktur yang melalap tanah dan ruang hidup mereka.
Pengalaman saya melakukan penelitian lapangan pada komunitas-komunitas lokal di Tanah Papua memberi kesan mendalam. Terjaga atau rusaknya lingkungan seolah-olah hanya menjadi beban masyarakat lokal semata. Tidak ada yang meragukan setiap komunitas lokal memiliki konstruksi pengetahuan untuk menjaga keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam yang mereka miliki untuk anak cucu.
Namun, kondisi kini telah berubah. Dunia tanpa sekat.
Raksasa investasi tanpa henti beraksi menyasar wilayah-wilayah kaya sumber daya alam. Kuasa raksasa investasi inilah justru yang memegang peranan penting dalam menjaga atau merusak sumber daya alam komunitas lokal. Raksasa investasi ini bekerja di luar imajinasi dunia komunitas lokal. Pada konteks inilah menjadi sangat penting untuk melihat persoalan pengelolaan sumber daya alam dari sisi ekonomi politik dan juga social budaya.
Merefleksikan pengalaman di Papua, saya melihat apa yang terjadi di Bali adalah setali tiga uang dengan muatan berbeda. Pada situasidi Papua, kita dipertontonkan bagaimana eksploitasi secara sarkastik berlangsung terhadap sumber daya alamnya. Penyingkiran dengan intimidasi dan kekerasan terjadi terhadap komunitas lokal berlangsung tanpa henti.
Di Bali, kita menyaksikan bagaimana eksploitasi sumber daya budaya dipercantik dalam bungkus pelestarian yang dikemas dalam konsep pariwisata budaya dan yang terkini melalui ekowisata dan desa wisata. Inilah imajinasi kelas menengah urban terdidik dalam mewarisi cara berpikir kolonial Belanda untuk menampilkan otensisitas dan eksotisme berbalut pelestarian kebudayaan dalam kemasan pariwisata.
Tanpa sadar, praktik eksploitasi sumber daya alam di Bali dengan cantik berbungkus pelestarian pariwisata budaya, bahkan melalui tipu muslihat ekowisata serta desa wisata.
Jika di Papua atau daerah kaya sumber daya alam lainnya di negeri ini dikeruk kekayaan dan disingkirkan manusianya, di Bali justru manusianya dikooptasi untuk berpikir dan bertingkah laku mendukung kebudayaannya sendiri sebagai modal budaya penggerak pariwisata. Hal ini disebabkan karena dengan pelestarian kebudayaan lah sumber daya yang paling menjanjikan sekaligus yang tersisa setelah pertanian dan perkebunan disingkirkan.
Titik Balik
Hingga kini belum ada yang berani mengutak-atik apalagi mendebatkan wacana tentang pariwisata budaya. Seakan hal yang terpahami secara samar-samar ini tidak perlu dipertanyakan atau digugat kembali. Padahal, inilah jargon yang membentuk karakteristik dan mental manusia Bali pasca pembantaian massal Tragedi 1965. Pada masa inilah titik balik sejarah dan peradaban Bali terbentuk dan terwariskan hingga kini.
Rakyat Bali faham betul bagaimana goncangan peradaban terjadi berturut-turut. Letusan Gunung Agung tahun 1963 di Kabupaten Karangasem meluluhlantakkan lingkungan dan juga kehidupan mereka. Banyak juga orang Bali yang bermigrasi ke daerah lain.
Dua tahun berselang, tragedi pembantaian massal orang-orang yang dituduh anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) berlangsung pada tahun-tahun mencekam antara 1965-1969.
Tahun 2019 lalu, terbit dua novel menggugah yang mengangkat pembantaian massal Tragedi 1965 di Bali yaitu Lentera Batukraru: Cerita Tragedi Kemanusiaan Pasca-1965 karya Putu Setia (Mpu Jaya Prema Ananda) dan Leak Tegal Sirah karya I Gusti Putu Bawa Samar Gantang. Pada kedua novel itu, dalam amatan saya, tergambarkan dengan sangat detail bagaimana kehidupan rakyat Bali pada masa itu yang sangat dinamis, politis, sekaligus juga memiliki karakteristik kuat.
Suasana keseharian masyarakat Bali adalah pergolakan kritik itu sendiri. Dialektika yang berlangsung tiada henti. Bagaimana kalangan petani tanpa lahan mengkritik penguasaan lahan yang berlebihan dari para bangsawan dan tuan tanah. Kehidupan kesenian juga sangat dinamis dengan saling kritik.
Keseluruhan elemen kehidupan masyarakat tergambarkan sangat politis dan terpolarisasi menjadi dua kekuatan utama yang memiliki karakter kuat: Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sedikit mengeneralisasi, saya mencoba mengimajinasikan inilah dua karakteristik manusia Bali pada zamannya yaitu progresif dan kompromi.
Dalam Leak Tegal Sirah tergambarkan dengan sangat baik bagaimana karakteristik guru yang cerdas, berpikiran maju, dan yang terpenting adalah agresif untuk menyatakan sikap dan pemikirannya. Melihat suatu yang lazim, nyaman, dan teratur dengan cara yang berbeda. Inisiatif perubahan datang saat guru tersebut memberikan pelajaran Bahasa Inggris gratis di banjar untuk anak-anak yang mulai bosan dengan formalisme di gedung sekolah.
Karakteristik megutgut ajak nyame (saling tikam antar saudara) tercermin dari kisah manusia-manusia Bali yang menjadi perantara untuk mencatat saudaranya sendiri untuk dibawa truk dan siap untuk dibantai. Karakteristik manusia Bali yang pragmatis dan ingin selamat sendiri nampak begitu gamblang selama hari-hari yang mencekam saat pembantaian.
Pada masa pembantaian berlangsung, banyak manusia Bali yang progresif dan berani bersikap dengan kritik yang tajam itu hilang. Truk-truk mengangkut mereka dan tak kembali hingga hari ini. Keluarga-keluarga pada masyarakat Bali hingga kini tak terbantahkan masih menyimpan cerita tersebut.
Sayangnya, banyak manusia-manusia Bali yang cerdas, kritis, dan mempunyai sikap tegas hilang dalam hari-hari mencekam pembantaian. Saya kira, inilah warisan karakteristik manusia Bali yang dihilangkan pasca Tragedi 1965. Inilah momen-momen terpenting sekaligus titik balik dalam pembentukan pribadi-pribadi generasi Bali masa depan.
Apolitis
Momen-momen penting itulah yang dihilangkan dalam perdebatan wacana politik kebudayaan Bali hingga tahun 1970-an. Obat penawar trauma pembantaian itu bernama pelestarian kebudayaan dalam selimut pariwisata budaya.
Oleh Ida Bagus Mantra, Gubernur Bali pada masa itu, naluri dan ekspresi masyarakat Bali pasca pembantaian 1965 diarahkan kepada dua hal pokok: keagamaan, kesenian dan (festival) kebudayaan. Ida Bagus Mantra meletakkan pondasi yang sangat penting untuk menetralisir ketakutan manusia Bali akibat trauma Tragedi 1965. Ia paham betul keseimbangan harus dihadirkan.
Agama Hindu Bali menjadi pondasi pertama yang dibangunnya. Berdirilah Institut Hindu Dharma (IHD) yang kini menjadi Universitas Hindu Indonesia (UNHI). Pura Jagatnatha di jantung Kota Denpasar pun berdiri untuk mempersatukan dan memperkuat karakteristik agama Hindu Bali.
Dalam bidang kesenian, berdiri juga ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) yang kini menjadi ISI (Institut Seni Indonesia) Bali. Pusat kesenian juga didirikan di Abiankapas yang dikenal dengan nama Art Centre. Dan totalitas ekspresi kesenian dan kebudayaan yang sangat politis pada tahun 1960-an diberikan panggung festival bernama Pesta Kesenian Bali (PKB).
Pondasi lain adalah pengaturan yang menjadi payung keseluruhan infrastruktur dan sistem untuk menetralisir trauma manusia Bali pasca 1965. Peraturan Daerah No. 3/1974 dan kemudian diganti dengan Perda 3/1991 tentang Pariwisata Budaya. Pada tahun 1970an inilah Bali betul-betul dikonstruksi menjadi pelopor pembangunan pariwisata di Indonesia.
Rekayasa ini melibatkan Bank Dunia dan SCETO (Societe Centrale Pour l’Equipment Touristique Outre-Mer) dalam pengembangan pariwisata di kawasan Nusa Dua dan jaringan transportasi di sekitar kawasan wisata seluruh Bali. Dampaknya wisatawan meningkat dari 30.000 wisatawan/tahun pada tahun 1960-an menjadi 600.000 wisatawan pada tahun 1970-an. Hal ini terang menggemparkan (Picard 1990).
Roda pariwisata pun berputar. Ekspansi infastrktur pariwisata berlangsung masif sejak itu. Jumlah hotel, villa, restoran, tempat hiburan malam, dan paket wisata meledak. Tahun 1990-an muncullah raksasa investasi yang menyasar Pura Tanah Lot di Kabupaten Tabanan melalui Bali Nirwana Resort yang menuai protes keras masyarakat. Belum lagi kasus lainnya seperti reklamasi Pantai Serangan, Pantai Padanggalak, Selasih, dan lainnya.
Rentang panjang protes eksploitasi sumber daya alam akibat pembangunan pariwisata tidak pernah tajam menukik ke persoalan ekonomi politik. Kalangan kelas menengah terdidik membingkai kritiknya ke soal “wilayah kesucian”, ketersingkiran masyarakat Hindu Bali dalam melaksanakan ritual, hingga kekhawatiran eksistensi masyarakat adat.
Kritik dan gerakan sosial tidak pernah secara bersungguh-sungguh menyinggung rakusnya eksploitasi pariwisata mengeruk ruang hidup mereka. Saya merasakan, kita tidak pernah terbuka dan jujur menghunjamkan kritik dan dampak-dampak buruk pariwisata yang merubah bentang alam sekaligus juga cara berpikir manusia Bali. Pariwisata dan segala pirantinya harus dijaga dan dilindungi dari serangan kritik dan dampak-dampak negatifnya.
Orang Bali sering menyebutkan bahwa dengan pariwisata lah payuk jakan (sumber penghasilan/penghidupan) bisa terus mengepul. Pada momen inilah generasi manusia Bali yang apolitis dan pragmatis tumbuh subur difasilitasi oleh pariwisata dan pelestarian kebudayaan.
Dalih
Pasang-surut pariwisata Bali, dihantam Bom Bali 2002 dan 2005 serta berbagai isu lainnya, tidak membuat Bali memalingkan muka dari industri besar yang menjadi urat nadi pulau ini. Justru yang terjadi adalah perluasan wacana pariwisata yang digerakkan oleh para birokrat, pelaku pariwisata, dan juga akademisi.
Saya mencatat arah pengembangan pariwisata Bali kini menyasar pada dua wacana besar: desa wisata dan ekowisata.
Seluruh komponen pemerintahan, pelaku dunia pariwisata, universitas hingga akademisi menggarap lahan baru mereka bernama ekowisata. Hampir seluruh kabupaten sibuk mencari potensi-potensi wilayahnya yang bisa diarahkan menuju desa wisata. Kisah-kisah sukses pengembangan desa wisata dipromosikan tanpa henti.
Inilah dalih baru pariwisata Bali yang menyasar daerah dan masyarakat daerah terpencil. Jargonnya, community based tourism, yaitu pariwisata berbasis pemberdayaan masyarakat lokal.
Jargon menyejukkan itu seolah tanpa celah. Pariwisata Bali yang mulai jenuh seolah menemukan sang penyelamat. Niat baik pemberdayaan masyarakat bukan berada pada ruang kosong. Bujuk rayu konservasi dan pro lingkungan sunguh memikat dan dianggap netral dari kepentingan ekonomi politik.
Padahal, di balik itu semua, David Harvey (1993) dengan sangat meyakinkan pernah mengungkapkan, all ecological project (and arguments) are simultaneously political-economic projects (and arguments) and vice versa. Ecological arguments are never socially neutral any more than social-political arguments are ecologically neutral.
Pernyataan ini secara tegas mengungkapkan bahwa kebijakan ekowisata dan konservasi yang (dianggap) pro lingkungan tidaklah pernah netral. Desain ekowisata atau desa wisata rentan terperangkap green grabbing, yaitu praktik-praktik perampasan tanah atau eksploitasi sumber daya alam dengan menggunakan isu dan legitimasi konservasi dan lingkungan. Ujungnya adalah kegagalan menyelamatkan alam dan juga krisis bagi manusia yang menjadikan alam sebagai ruang hidup mereka.
Kasus petani Selasih, Desa Puhu di Payangan, Gianyar pada November 2019 lalu adalah contoh gamblangnya. Para petani menghadang eskavator yang menderu untuk menggerus lahan pertanian mereka untuk dijadikan resort pariwisata. Terlepas dari persoalan sengketa agraria yang mereka alami, kasus Selasih ini menggambarkan tunduknya jargon ekowisata dan desa wisata yang (dikesankan) ramah lingkungan dengan kepentingan ekonomi politik infrastruktur.
Saya mencurigai, rezim pariwisata baru bernama ekowisata dan desa wisata, hanya dalih untuk terus mengeksploitasi tanah dan sumber daya alam lainnya. Saya melihat gemuruh gerakan ekowisata dan desa wisata rentan terjebak kubangan eksploitasi sumber daya alam bertopeng konservasi. Melalui alasan ramah lingkungan, rezim infrastruktur hadir untuk mencaplok tanah dan ruang hidup rakyat Bali. Ekspansi modal pariwisata berupa hotel, vila, dan resort pariwisata lainnya merangsek kawasan perdesaan justru dengan pintu ekowisata dan desa wisata ini.
Lalu di mana komunitas lokal? Inisiatif-inisiatif lokal dalam pengelolaan ekowisata dan desa wisata selalu didengungkan. Kini digandrungi proyek-proyek desa wisata.. Namun, mereka harus berhadapan dengan raksasa investor yang terus mengincar di sekelilingnya. Di sinilah tantangan untuk menegakkan martabat dan kemandirian rakyat Bali melampaui kuasa raksasa investasi pariwisata.
Saya lebih setuju dengan terminologi desa mandiri untuk menunjukkan bahwa desa-desa di Bali bisa mandiri, dengan cara sendiri tanpa tergantung dengan investasi besar, untuk mengelola potensi alam dan budayanya untuk kesejahteraan warganya.
Generasi Bali pasca pariwisata adalah orang Bali yang kritis dan mandiri untuk menegakkan martabat dan jati dirinya di Tanah Bali ini. [b]