Perahu Nelayan di Pantai Kedonganan.jpg
Cuaca cukup terik saat saya turun dari mobil minibus yang mengantar kami untuk melihat lebih dekat salah satu pasar Ikan terbesar di Bali, Pasar Ikan Kedonganan. Tujuan kami untuk berkunjung ke Pasar Ikan Kedonganan adalah untuk untuk melakukan riset sederhana terkait seafood yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Hari itu kami akan menyaksikan kehidupan nelayan di sekitaran Kedonganan, yang merupakan penyuplai langsung ikan-ikan di Pasar Kedonganan. Kami juga akan mengamati langsung seafood yang dijual di Pasar. Selain itu, kami juga akan berbincang dengan pemilik restoran seafood bakar.
Kehidupan Nelayan dan Penangkapan ikan berkelanjutan
Sekitar enam orang sedang duduk sambil menikmati kopi dan rokok di warung pinggir pantai siang hari itu, Jumat, 25 Agustus 2022. Mereka merupakan sekumpulan nelayan di kawasan pantai kedonganan Bali.
Seorang bapak menunjuk bapak yang lain yang lebih pantas untuk memberikan keterangan kepada saya. Namun tak berapa lama, mereka putuskan salah satu dari mereka yang bersedia meladeni saya untuk sedikit bertanya-tanya mengenai aktivitas mereka sehari-hari.
Bapak yang bersedia menjadi narasumber tersebut mengenalkan diri sebagai M.Holil. Usianya 41 tahun. Dia merupakan nelayan di Pantai Kedonganan. Telah menjadi nelayan selama dua puluhan tahun terakhir.
“Akan terus jadi ini (nelayan). Bisanya ini,” terangnya saat ditanya apakah dia ingin mengganti pekerjaan ke bidang yang lain.
Nelayan sedang duduk-duduk di Warung Pinggir Pantai Kedonganan.jpg
Spesifik hanya menangkap Lobster, M. Holil pergi menangkap lobster di perairan sekitar Uluwatu. Pukul 16.00 WITA dia akan berangkat dan baru akan kembali pukul 8.00 pagi keesokan harinya.
Pengalaman panjang menjadi nelayan, dia mengatakan ongkos terbesar yang dia keluarkan adalah bensin untuk perahu dan alat tangkap, seperti jaring. Selain itu, dia juga harus mengeluarkan biaya-biaya lain seperti bekal selama melaut dan sebagainya.
Pekerjaannya menjadi nelayan tentu bukan tanpa tantangan. Cuaca buruk dan ombak yang tinggi masih menjadi archenemy yang kadang kali harus dia hadapi. “Ngerilah, rasanya kayak nggak pengen kerja nelayan,” ceritanya.
Ombak tinggi dan cuaca yang tidak bersahabat biasanya membuat tangkapan menjadi berkurang. Tangkapan yang berkurang juga artinya, uang yang dia hasilkan berkurang.
Pekerjaan menjadi nelayan menurut M. Holil belum bisa dibilang menyejahterakan. Namun, bagi dirinya, pekerjaan ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Menyoal sustainable seafood atau seafood berkelanjutan, atau dalam konteks nelayan seperti M. Holil, penangkapan ikan secara berkelanjutan, M.Holil menjawab bahwa dirinya tidak tahu mengenai apa itu sustainable seafood.
Berkaitan dengan sustainable seafood, saat dikulik lebih jauh, dalam proses penangkapan lobster yang dia lakukan, tak jarang dia mendapatkan tangkapan yang tidak dia inginkan seperti ikan atau hewan lain. “Ya, tapi kalau ikan kecil ya dilepas,” imbuhnya.
Nelayan lain yang saya temukan di pantai kedonganan juga menyebutkan hal yang sama.
“Kadang kadang, nyangkut penyu, Tapi kan penyu biasanya dilepas lagi soalnya dilindungi, takut kena sanksi,” kata Nasihin, 45 tahun. Nelayan di pantai kedonganan.
Saya menjumpai Nasihin di bawah rindang pohon kala dirinya sedang memperbaiki jaring. Dia sedang bersiap-siap untuk berangkat melaut hari itu.
Cerita Nasihin tak jauh berbeda dengan nelayan lain di pantai kedonganan. Dirinya sendiri telah menjadi nelayan sejak tahun 2000. Dirinya bekerja menjadi nelayan karena keluarga di kampugnya juga merupakan seorang nelayan. Nasihin berasal dari Probolinggo.
Sama. Dia juga mengatakan bahwa dirinya mengatakan bensin merupakan biaya paling besar untuk pekerjaannya sebagai nelayan. Sekali melaut, dia membutuhkan sekitar 15 liter. Dia tentu tahu mengenai subsidi bensin buat nelayan, sayang untuk membeli bensin yang bersubsidi, membutuhkan surat tertentu, sementar Nasihin tidak mempunyai surat dan mau tidak mau membeli bensin dengan harga normal. Sama seperti warga negara asing yang membeli bensin di tanah air.
Ombak dan cuaca buruk juga menjadi momok bagi Nasihin. Selain itu, di bulan-bulan tertentu dirinya juga bercerita bahwa agak susah mendapatkan tangkapan. “Misalnya bulan November atau Desember, susah nangkap ikan karena sampah. Malah jaringnya isinya banyak sampah,” tuturnya.
Bagi Nasihin, menjadi nelayan adalah pilihan yang harus dia jalani. Dia mengatakan ingin bekerja di sektor lain, namun tidak ada pekerjaan lain yang bisa dia kerjakan. “Ya, jadinya, jadi nelayan mau nggak mau.”
Menyinggung mengenai sustainable seafood, Nasihin dan Holil memang sama-sama tidak tahu mengenai hal tersebut, namun dalam keterangan yang dapatkan, Nasihin dan Holil bisa dikategorikan sebagai nelayan tradisional, tentu Nasihin dan Holil tidak memakai sampan atau perahu kecil yang hanya menggunakan dayung, namun dilihat dari alat tangkap, alat yang mereka gunakan masih terbilang sederhana.
Sebagai nelayan tradisional tentu mereka tidak terlepas dari tangkapan yang tidak disengaja atau bycatch, berdasarkan keterangan Nasihin dan Holil, mereka melepaskan kembali tangkapan yang tidak mereka kehendaki. Nasihin bahkan sudah paham bahwa penyu termasuk hewan yang dilindungi.
Di titik ini, bukankah secara tidak langsung atau dalam porsinya, kedua nelayan ini telah menerapkan penangkapan ikan secara berkelanjutan? Menghargai ekosistem laut dan menolak tangkapan yang hewan langka atau tangkapan yang tidak mempunyai nilai ekonomi bukankah prinsip penangkapan ikan yang keberlanjutan?
Seafood di pasar ikan dan restoran seafood bakar
“Tiang pak Made Ripuk,” jawabnya sembari menunjukan lokasi warung seafood bakarnya di belakang tempat saya mewawancarainya, Jumat, 25 Agustus 2023. Bisa dibilang, dia nelayan serta pemilik warung seafood bakar senior. Sebagian rambutnya sudah tidak lagi berwarna hitam. Saat saya tiba di pantai kedonganan, saya melihat dirinya sedang tidur di kursi plastik di depan warung seafood bakarnya.
Sebelum menjadi pemilik warung seafood atau penyedia layanan bakar seafood di dekat pasar ikan kedonganan, dia dulunya ikut seseorang untuk menjadi pemilik usaha warung seafood bakar. Satu dan lain hal, bagi Ripuk usaha itu tidak berjalan lancar. “Minjam di bank sana-sini, akhirnya malah rugi,” tuturnya.
Itulah awal mula kenapa dia memutuskan untuk membuka usaha bakar seafoodnya sendiri. Warungnya persis di samping pasar Kedonganan.
Suasana di Pasar Ikan Kedonganan.jpg
Pasar Ikan Kedonganan merupakan salah satu pasar ikan di Bali. Berlokasi di kawasan wisata Pantai Jimbaran, pasar ini bukan cuma pasar untuk warga lokal, wisatawan asing tak jarang tampak keluar-masuk pasar untuk membeli ikan, atau sekedar mengabadikan gambar.
Selain dari nelayan setempat, Pasar Ikan Kedonganan juga mendatangkan ikan dari tempat lain. Hal ini diakui Fatimah, salah satu pedagang ikan di Pasar Kedonganan yang telah berjualan sejak tahun 2007. Fatimah menyebut, sebagian ikan yang dia jajakan dia ambil dari nelayan di Kedonganan, sebagian yang lain juga dia ambil dari luar daerah Bali.
Ripuk, pemilik warung seafood juga mengamini hal tersebut. Menurutnya, seafood atau ikan-ikan di pasar ikan Kedonganan rata-rata dari karangasem dan daerah lain, bukan hanya dari nelayan di Kedonganan.
“Nelayan di Kedonganan, hanya bisa menyedikan paling sekitar hanya satu ton,” jelas Made Ripuk.
Ripuk kemudian bernostalgia. Beberapa tahun lalu menurutnya bisa dengan gampang mendapatkan 10 – 20 kg, namun hari ini, dia mengatakan nelayan paling mentok mendapatkan 2 hingga 5 kilo saja.
“Dulu, turun pancing, kasih umpan, langsung dapat. Sekarang harus nunggu berjam-jam,” kenangnya.
Secara umum, Kabupaten Badung pada tahun 2022 mempunyai angka produksi perikanan sejumlah 8095 Ton. Produksi ini baik dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Data ini diambil dari laporan BPS Bali terkait Produksi Perikanan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Bali (Ton), 2020-2022.
Kembali mengenai usaha warung bakar seafood Made Ripuk, dia menjelaskan bahwa biasanya pelanggan akan memilih dan membeli sendiri ikan yang mereka inginkan di Pasar Ikan Kedonganan, kemudian akan membawa ke warung Made Ripuk atau warung lain untuk dibakar dan disantap.
Menyoal mengenai seafood yang berkelanjutan, sejatinya, para pembeli seafood di pasar Kedonganan bisa menentukan sendiri, apakah seafood yang mereka konsumsi telah layak dikonsumsi sesuai standar keberlanjutan ekosistem seafood.
Caranya sederhana, yang perlu dilakukan yaitu mengingat ukuran ikan yang layak konsumsi.
Sebelum mewawancarai Made Ripuk, saya sempat mencoba mengukur beberapa seafood yang dijual di Pasar Kedonganan. Hasilnya, untuk Kerang Darah, Cumi, Lobster, Ikan kembung, dan ikan Mahi-mahi termasuk ikan yang telah layak dikonsumsi.
Ukuran Ikan Mahi-Mahi di Pasar Ikan Kedonganan.jpg
Ukuran Lobster di Pasar Ikan Kedonganan .jpg
Ukuran Cumi di Pasar Ikan Kedonganan.jpg
Pecinta seafood dan kesadaran untuk seafood yang berkelanjutan
Menyantap Seafood bakar di Warung Seafood bakar pinggir pantai Jimbaran.jpg.png
Source: https://drive.google.com/file/d/1NzSKkn5cQgK1X0RkApPr1tuBtZz_dXCa/view?usp=sharing / Pexels/Photo by sl wong: https://www.pexels.com/photo/barbecue-and-baked-tahing-1191426/
“Susah untuk tidak menyukai seafood,” kata Aryagading, 23 tahun, karyawan swasta di Kerobokan, Badung. Dia kemudian menjelaskan apa yang dia paling sukai dari seafood. Sensasi smoky dan juicy dari seafood bakar menurutnya hal paling dia alasan di balik kesukaannya menyantap hidangan favoritnya tersebut.
Lokasi atau restoran tidak menjadi urusan yang terlalu penting bagi Gading. Preferensi yang dia pilih lebih ke selera dan rasa dari restoran atau warung seafood yang dia kunjungi. “Asal rasa dari seafood itu enak dengan bumbu yang kuat dan seafood yang fresh aja sih” jelasnya.
Soal biaya makan seafood, harga memang bisa disebut relatif. Namun terakhir kali Gading menyantap seafood bakar, dia menghabiskan sekitar Rp480 Ribu untuk dua orang. Gading merinci biaya yang dia keluarkan terdiri dari biaya beli ikan di pasar ikan Kedonganan dan jasa masak di restoran
”Harga Rp480 ribu itu terdiri dari 4 ekor ikan berukuran sedang hingga besar, 500gr udang, 500gr cumi, 1 kg dari campuran kerang hijau dan dara,” jelasnya, Kamis, 31 Agustus 2023.
Gading sendiri menyebut dirinya sebagai seafood lovers atau pecinta makanan laut. Namun, saat ditanya mengenai apakah dia mengetahui soal seafood berkelanjutan atau sustainable seafood, dirinya menggeleng.
Akan tetapi, Gading tak menampik bahwa seafood atau hewan laut merupakan makhluk hidup yang harus dijaga keberadaannya. “Selain itu, di laut pasti ada ekosistem yang harus dijaga, tentunya pemerhati lingkungan tidak ingin keberlangsungan ekosistem ini terhenti,” ujarnya.
Seperti Gading yang menggemari seafood, muncul pertanyaan, bagaimana cara menikmati seafood dan sadar mengenai kelangsungan ekosistem seafood itu sendiri?
Perlunya seafood berkelanjutan
Berdasarkan data dari BPS Provinsi Bali, nilai produksi perikanan di Kabupaten Badung pada tahun 2022 hanya Rp 158.589.646, sementara, nilai produksi perikanan Provinsi Bali Rp3.309.142.021.
Terkait dengan data tersebut, meskipun belum dibilang menyejahterakan, nelayan tradisional seperti M.Holil mengatakan bahwa pekerjaan menjadi nelayan telah memberinya penghidupan yang cukup.
Sementara itu, berlokasi di dekat pasar Ikan Kedonganan, warung seafood bakar Made Ripuk, nampak sering dikunjungi para pecinta seafood. Selain itu, Gading juga tak ingin berhenti untuk menyantap makanan favoritnya.
Lalu bagaimana cara agar seafood bisa terus bermanfaat dan bisa dinikmati sembari ekosistemnya terus berkelanjutan?
World Wildlife Foundation (WWF) salah satu organisasi yang mempunyai kepedulian di bidang perikanan berkelanjutan menyebut bahwa dalam sejarahnya, Industri seafood sendiri mempunyai dampak yang besar bagi lingkungan. WWF dalam The United Nations Food and Agricultural Organization mengestimasikan bahwa sekitar 85% ketersediaan seafood bisa jadi hasil eksploitasi atau penangkapan berlebihan.
Bycatch atau pengungkapan yang tidak dikehendaki juga merupakan ancaman bagi spesies lain di lautan. Selain itu, aquaculture atau budidaya ikan juga menyebabkan deteriorasi bagi habitat ikan di laut, danau dan sungai.
Karenanya, WWF sendiri bekerja di semua rantai pasok atau supply chain seafood untuk melindungi habitat ikan, masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari perikanan, dan pengawasan makanan seafood itu sendiri.
WWF sendiri bertujuan agar penangkapan ikan di laut atau budidaya tidak mempunyai dampak terhadap lingkungan serta tetap memperhatikan pemenuhan permintaan seafood di tengah populasi dunia yang terus meningkat.
Nah, lalu apa sih itu seafood yang berkelanjutan? Dalam diskusi yang dilaksanakan oleh WWF Indonesia pada kanal Youtube mereka yang berjudul, “TALKSHOW: THE SEAFOOD NEEDS YOU!.” Siti Yasmin Enita, atau Senit dari Seafood Saver, WWF Indonesia, menyebut bahwa seafood yang berkelanjutan adalah seafood yang berasal dari penangkapan atau budidaya yang bertanggung jawab atau berkelanjutan.
“Karena kalau seafood itu ditangkap dengan bom atau racun sianida, pastinya itu akan berbahaya untuk dikonsumsi bagi manusia dan bahaya bagi ekosistem laut” paparnya.
Selain itu, Senit juga menjabarkan mengenai seafood yang berkelanjutan juga harus memenuhi beberapa kriteria seperti, alat tangkap yang ramah lingkungan, tidak merusak habitat atau ekosistem, menangkap ikan sesuai aturan yang berlaku, atau penangkapan dilakukan di lokasi yang diizinkan.
“Banyak sebenarnya aturan penangkapan ikan yang berkelanjutan seperti, volume tangkap, dan ukuran ikan yang bisa ditangkap, dan mempunyai surat resmi penangkapan,” jelas Senit.
Lebih detail, Achmad Mustofa National Coordinator for Capture Fisheries, Yayasan WWF Indonesia mengambil definisi seafood yang berkelanjutan apabila seafood yang disajikan di atas piring konsumen dihasilkan melalui proses-proses yang mencakup beberapa aspek. Di antaranya, aspek ecological well-being (kelestarian stok ikan/biota termasuk menjaga kelestarian habitatnya); human well being (aspek konservasi yang dilakukan memberikan manfaat dan melibatkan masyarakat komunitas pesisir yang berinteraksi secara langsung); dan good governance (dikelola dengan baik oleh otoritas, memiliki tujuan pengelolaan yang jelas dan terukur, serta pengelolaanya dilaksanakan secara inklusif termasuk dalam decision making process-nya).
Mustafa juga menjelaskan bahwa dalam aspek ecological well being misalnya, jika tidak dilakukan penangkapan ikan secara berkelanjutan, dampak utama yang bisa terjadi adalah overfishing dan overfished pada stok perikanan di suatu lokasi. Menurutnya, hal ini bisa diketahui dengan indikasi seperti jumlah tangkapan yang menurun, ukuran ikan yang semakin mengecil, dan wilayah penangkapan yang semakin jauh
“Dampak lainnya berhubungan dengan terganggunya keseimbangan jaring-jaring makanan di laut sebagai akibat penangkapan berlebih yang menghilangkan salah satu komponen/aspek biota dalam rantai makanan di laut,” jelas Mustofa.
Lebih lanjut, dia juga menjelaskan apabila seafood tidak dikelola secara berkelanjutan akan terjadi masalah sosial dan ekonomi. Dia mencontohkan, penangkapan ikan secara tidak berkelanjutan akan berdampak berdampak pada biaya produksi yang makin besar dan harga ikan yang menjadi lebih mahal; nelayan mengeksplorasi ikan di lokasi lain yang berpotensi menimbulkan konflik dengan nelayan lokal baik terkait dengan alat tangkap yang digunakan maupun lokasi penangkapannya
Dia kemudian menjelaskan ada tiga kriteria utama untuk menilai perikanan sudah berkelanjutan atau belum. Pertama, Ketersediaan stok seafood tersebut di alam. Hal ini bisa dinilai dengan ketersediaan stok seafood tersebut di alam (apakah masih berada dalam kategori aman atau sudah overfished atau condong ke overfished).
Hal ini bisa dilihat dengan indikator-indikator seperti: apakah nelayan menangkap ikan lebih jauh/tetap; apakah ukuran ikan yang ditangkap semakin mengecil/tetap; jumlah tangkapan ikan/seafood semakin menurun; apakah sering terjadi konflik antar nelayan di lokasi tersebut.
Yang kedua, kriteria untuk menilai perikanan yang berkelanjutan adalah melihat dampak dari penangkapan ikan tersebut terhadap ekosistem.
Yang ketiga, kriteria yang bisa digunakan untuk menilai perikanan berkelanjutan dengan melakukan pengelolaan perikanan yang efektif, yang meliputi legalitas penangkapan, pelaporan hasil tangkapan, regulasi, dan lain sebagainya.
Mustofa juga kemudian menjelaskan mengenai hubungan antara aspek keberlanjutan dengan ketahanan ekonomi nelayan dan komunitas. Dia menjelaskan, dengan perikanan berkelanjutan, aspek ecological well-being akan tercapai. Artinya, stok ikan terjaga dan lingkungan/ekosistem juga terjaga sehingga secara langsung akan memberikan dampak positif untuk ketersediaan pangan (food security) maupun untuk aspek ekonomi karena penangkapan ikan memberikan kontribusi secara ekonomi untuk pelaku perikanan secara langsung.
Dalam jangka panjang, manfaat penerapan praktik seafood atau perikanan berkelanjutan akan menghasilkan masyarakat yang sehat dan sejahtera serta ekosistem laut yang terjaga.
WWF Indonesia sendiri mengeluarkan Seafood Guide yang bisa digunakan untuk mengetahui dan menjadi panduan dalam memilih seafood yang berkelanjutan. Yang bisa dilakukan adalah memastikan seafood yang dikonsumsi ditangkap dengan alat tangkap yang ramah lingkungan atau datang dari budidaya yang berkelanjutan. Hindari untuk mengkonsumsi ikan yang langka. Selain itu, bisa juga dengan membeli ikan yang mempunyai label berkelanjutan.
Untuk memberikan gambaran dari Seafood Guide dari WWF tersebut, berikut beberapa seafood yang sebaiknya kamu konsumsi, pertimbangi dan hindari.
Untuk tangkapan alam, pilihan terbaik adalah mengkonsumsi Barakuda, Baronang, atau Cakalang. Jika ingin mengkonsumsi Bawal Hitam, Bawal Putih, atau Cum-cumi, sebaiknya perlu untuk mempertimbangkannnya. Sementara itu, berdasarkan Seafood Guide, sebaiknya menghindari untuk mengkonsumsi Caviar, ikan Tenggiri, atau Tuna Sirip Kuning. Selengkapnya bisa dibaca di WWF Seafood Guide.
Chef Lucas Glanville, Executive Chef and Director of Culinary Operations, Grand Hyatt Singapore dalam artikel berjudul “Sustainable Seafood is Good for People, Planet and Profit” membagikan bagaimana pengelola restoran atau chef bisa memulai untuk mempromosikan seafood yang berkelanjutan.
Dalam pengalamannya beberapa hal yang bisa dilakukan sebelum menghidangkan seafood diantaranya adalah dengan menghindari spesies yang langka, melakukan edukasi kepada konsumen, memastikan asal usul seafood, dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, Menurut Mustofa, upaya untuk mendorong implementasi perikanan berkelanjutan ini harus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan. Mustofa mempunyai pendapat bahwa untuk menuju seafood yang berkelanjutan, membutuhkan kerjasama dan kolaborasi antar pihak dan tidak bisa berdiri sendiri.
Dari segi penikmat seafood, dia menuturkan bahwa konsumen harus lebih kritis untuk meminta produk-produk yang dikonsumsi dan dihasilkan dengan cara-cara ramah lingkungan/berkelanjutan. Menurutnya hal ini tentu akan mendorong oleh produsen (nelayan penangkap ikan) untuk menyesuaikan.
“Misalnya dengan alat tangkap ramah lingkungan, bukan biota yang dilindungi, minimal tangkapnya sesuai, ditangkap di lokasi yang tidak dilarang,” imbuhnya.
Karenanya, mulai dari penangkapan ikan dengan cara yang berkelanjutan dengan alat tangkap yang tidak eksploitatif. Penyedia layanan seafood yang selektif dalam memilih asal-usul seafood yang dijual. Juga konsumen yang harus mulai sadar dan kritis terhadap seafood yang dikonsumsi sejatinya merupakan langkah dan kerjasama untuk menuju perikanan atau seafood yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Produksi konten ini dengan dukungan WWF Indonesia dalam program kolaborasi #citizenscience #citizenjournalism BaleBengong.