Matahari belum cukup tinggi ketika saya dan rombongan berangkat ke Tukad Sama (Sungai Sama) dari kantor WWF pada Sabtu 26 Agustus lalu. Sampainya di sana, kami mulai menuruni jembatan menuju sempadan sungai.
Jalanan turunan berbatu dilewati dengan satu per satu orang saling membantu. Ketika sampai di sempadan, kami dihadapkan dengan sebaran sampah di sekitar sempadan sungai di bawah jembatan. Tim mulai melakukan briefing singkat dan mengajak kami, citizen journalist, mengukur dan menghitung sampah serta berbagai macamnya.
Saya menyimak dengan khusuk penjelasan yang diberikan oleh pihak WWF mengenai memetakan sampah. Data-data sampah yang selama ini kita lihat salah satunya dibuat dengan pemetakan sampah berdasarkan jenis, ukuran dan keadaannya dengan metode CSIRO. Sebagai informasi, CSIRO atau metode Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation merupakan metode pengumpulan data sampah dengan melakukan pengamatan terhadap sampah berdasarkan jumlah dan jenis sampah yang ditemukan.
Pendataan ini penting dilakukan guna mengetahui jenis sampah apa atau perusahaan apa yang banyak menyisakan sampah-sampah plastik dan terbuang ke sembarang tempat seperti bantaran atau sempadan sungai. Selain itu, tentunya pendataan tersebut diperlukan untuk menggelitik kesadaran para perusahaan agar lebih sadar akan kemasan-kemasan produk yang dihasilkan yang dapat menjadi ancaman terhadap lingkungan sekitar.
Seusai mencoba pengukuran, saya dan rombongan melakukan dokumentasi dan kembali bergegas ke mobil untuk melanjutkan perjalanan. Panas matahari semakin terik, kami pun terus menyusuri sungai selanjutnya yakni Tukad Pancing, dan melihat keadaan sampah di sekitar sungai tersebut.
Hawa sungai yang tenang, orang-orang duduk di bawah pohon yang rindang, tawa anak kecil yang bermain riang adalah suasana nyaman yang saya rasakan kala itu. Namun, tak dapat dimungkiri, sampah-sampah masih saja bisa ditemukan sejauh mata memandang.
Tak puas dengan hanya melihat dan mendokumentasikan, kami putuskan untuk berbincang-bincang dengan warga sekitar sungai tersebut.
“Sudah juga disediakan tempat sampah cuman agak jauh misal di ujung sana. Jadi, orang yang di sini mau ke sana agak males gitu ya. Jadi, sampah itu di taruh di kresek dan langsung taruh aja di situ, maksudnya orang yang mau nongkrong-nongkrong itu nggak punya inisiatif buat cari tong sampah untuk buang sampahnya,” pungkas Tika, warga sekitar yang sempat kami wawancarai.
Pedagang yang ada di sana pun mengatakan bahwa keadaan di sekitar sungai tersebut memang sudah lebih baik dari yang sebelumnya, hanya saja kurangnya kesadaran dari pengunjung terkait kebersihan.
Lantas, saya tersentak saat bertanya, “apakah ada pedagang yang barangkali pernah ibu lihat buang sampah sembarangan di tukad pancing ini?”
“Gak ada, kan kena denda, maksudnya sudah dihimbau dan orang sini juga sadar sendiri, kita semua punya tong sampah sendiri-sendiri, kita satu grup punya tong sampah di sana dan setiap bulan kita juga bayar sampah,” jawabnya.
“Kira-kira apakah ada penyortiran sampah yang dilakukan?” tanya saya melontarkan pertanyaan yang terbesit dalam benak.
“Nggak ada, karena itu kan juga susah ya. Kalau dari pengangkut sampahnya ngasih imbauan kalau sampah plastik harus dipisah, sampah rumah tangga harus dipisah, mungkin bisa ya. Karena yang ngangkut sampah juga diem-diem aja. Jadi, orang-orang asal buang aja (tidak disortir),” tutup Tika.
Mendengar hal itu, tentu permasalahannya, selain berada di ketidaksadaran masyarakat juga berada pada kebijakan atau sosialisasi pada petugas yang kurang dilakukan.
Selain sungai-sungai tersebut, saya juga berinisiatif untuk pergi menelusuri Tukad Badung yang terletak di jantung kota. Dengan melewati hiruk-pikuk pasar di sore hari, saya menuruni sungai melewati anak tangga. Ukiran-ukiran dan lukisan pada dinding sungai serta tempat duduk dan meja yang nyaman untuk bersandar dan bersantai di tengah keramaian kota memang menjadi spot menarik untuk dijelajahi. Namun, benar saja, masih ada pula sampah yang terlihat di sungai dan bantaran sungai tersebut.
“Masih aja ada sampah, tetapi dari DKP nya sudah tiap hari membersihkan tetapi masih kotor, karena mungkin ada aja orang buang sampah yang nggak sadar itu. Dari pihak pemerintah juga nggak begitu memperhatikan niki soalnya,” ungkap seorang pengunjung.
Permasalahan sampah memang tidak hanya dari hilirnya atau saat sudah di laut ataupun pantai. Namun, sumbernya dari hulu, baik itu dari rumah warga ataupun dari perusahaan industri.
Sebelumnya, saya dan rombongan mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Catur Yudha Hariani dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali mengenai pengelolaan sampah di Bali.
“Sebetulnya kalau di rumah tangga, di denpasar, rata-rata belum seluruhnya 100% masyarakat berlangganan oleh petugas pengangkut sampah. Di tiap desa, ada banjar, ada komplek, itu ada pengangkutnya. Namun, masih saja ada orang yang tidak mau berlangganan dan rata-rata itu orang pendatang, mungkin bisa jadi karena kos, atau kontrak atau juga tidak terorganisir oleh pemilik tanah atau tuan rumah kontrak misalnya sehingga dia buang sembarangan,” ujarnya.
Catur menjelaskan soal pengelolaan sampah di Bali dan memaparkan hal-hal yang telah dilakukan oleh PPLH Bali dalam penanganan isu sampah. Untuk pengelolaan sampah yang ada di Bali, ada pula penanggung jawab masing-masing. “Jadi kalau sampah ada di daratan, itu miliknya Dinas Lingkungan Hidup (DLH), tetapi kalau jatuhnya sudah ke sungai itu oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR),” ujar Ibu Catur.
Selain itu, dalam pengelolaannya, sampah yang terbuang tidak semua bisa didaur ulang. “Kalau sampahnya masih bersih atau bisa didaur ulang akan dibawa ke pengelolaan sampah atau tempat pemulung atau pengepul sampah, tapi kalau sudah tidak beraturan akan dibawa ke TPA,” jelasnya.
Menurut Catur, sistem daur ulang sampah berjalan apabila sampah tersebut bersih, sedangkan sampah-sampah di Indonesia tidak semuanya bersih dan akan sulit dilakukan daur ulang. “Karena kalau tidak bersih itu biayanya tinggi untuk mendaur ulang, kalau biayanya tinggi untuk daur ulang, orang malas. Jadi mengambil material baru lebih cepat,” tuturnya.
Oleh sebab itu, penyortiran sampah dari sumbernya sangat penting dilakukan. Itu pun lantas menjawab pertanyaan saya dan sebagian orang yang bertanya-tanya tentang banyaknya sampah yang didaur ulang di negara lain, tetapi sedikit yang didaur ulang di Indonesia.
“Karena mereka (negara lain) sudah memilah sampah dan bersih dari sumbernya, dicuci. Jadi, bagaimana kita memilah di rumah itu harus bersih. Kalau pembiasaan di rumah ini dilakukan sejak kecil, maka sumber daya alam kita ini (seperti minyak bumi) akan bisa diturunkan kebutuhannya,” jawab Catur.
Selain medaur ulang sampah dari sumbernya, penting juga untuk menanamkan kebiasaan pemilahan sampah dan pengurangan sampah plastik sejak dini. Itulah yang dilakukan oleh PPLH dalam programnya.
“Kami sudah mempunyai dampingan kemarin itu ada 20 sekolah terpilih. Jadi, kami melakukan seleksi dan kami melakukan dan meminta komitmen. Jadi di masing-masing kabupaten itu ada percontohan SD dan SMP. Kami saat ini masih membuat jejaring dengan mereka mendorong mereka mengurangi sampah plastik sekali pakai di sekolah masing-masing,” ujarnya.
Dari program tersebut, Ibu Catur pun mengatakan bahwa telah terdapat perubahan signifikan yang tadinya banyak makanan kemasan sekali pakai, sekarang menjadi tidak ada makanan kemasan sekali pakai di sekolah tersebut. Anak-anak membawa tumbler dan wajib bawa tempat makan dan kalau sembahyang tidak membawa plastik lagi.
Melihat isu sampah yang kian menjadi perbincangan, ada beberapa faktor yang harus ditingkatkan guna mengentaskan isu sampah yang ada di Bali menurut Catur. Yang pertama adalah kebijakan yang mesti harus ditingkatkan. Menurut Ibu Catur, penerapan Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai oleh pemerintah bagi pasar tradisional hanya sebatas imbauan.
“Seperti hanya pengumuman, silakan dikerjakan, tidak ada pengawasan sampai pasar tradisional,” pungkasnya. Sebab, apabila ada peraturan yang jelas dan disosialisasikan ke khalayak luas, sedikit tidaknya akan ada kesadaran dari masyarakat.
Yang kedua, sumber daya manusia (SDM) kurang terlatih. Pastinya kita juga sering mendengar atau merasakan keluhan yang sama bahwa “Aku sudah milah tapi dicampur lagi!” Hal ini dikarenakan SDM kurang mendapat pelatihan yang cukup dari pemerintah.
“Mereka hanya sosialisasi ke masyarakat tapi tidak cukup melatih para petugas,” tegasnya..
Yang Ketiga adalah monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah masih rendah. “Hanya terus menghimbau saja, mungkin nanti ada perubahan kita tidak tahu,” ujarnya.
Jadi, dapat disimpulkan pula bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan kembali adalah kebijakan yang harus ditingkatkan, SDM terlatih, sosialisasi penting supaya membangun partisipasi, dan kebutuhan keuangan negara untuk operasional (seperti iuran sampah).
Berdasarkan itu pula, tentu terdapat tantangan dalam mengatasi pengelolaan isu sampah tersebut seperti mengubah kebiasaan masyarakat, dari yang biasanya mencampur sampah menjadi kebiasaan memilah sampah dengan baik dan benar. Tak hanya dari luar, tetapi dari sumbernya, dari rumah kita masing-masing.
Selain itu yang juga penting, walau pemerintah mengambil andil yang besar untuk mengelola, tetapi kesadaran masyarakat juga diperlukan untuk saling bahu-membahu menghadapi isu sampah ini bersama. Semua kalangan pun hendaknya dapat membangun partisipasi dalam melestarikan lingkungan dan tentu memiliki peran masing-masing yang juga punya fungsinya masing-masing dalam menghadapi isu kita bersama.
Produksi konten ini dengan dukungan WWF Indonesia dalam program kolaborasi #citizenscience #citizenjournalism BaleBengong.