Pancasila tidak lagi sakti tetapi sakit.
Francis Fukuyama dalam bukunya The End Of History and The Last Man menegaskan berjayanya kapitalisme menyusul tumbangnya komunisme di Uni Soviet dan Eropa timur akhir tahun 1980-an. Tidak ada ideologi lainnya yang menandingi, sehingga hanya kapitalisme menjadi satu-satunya kekuatan yang mengatur kehidupan manusia di muka bumi ini.
Tesis Francis Fukuyama ini bisa menjadi jawaban atas pertanyaan kita. Mengapa Pancasila seakan-akan mati suri di negeri ini? Pancasila telah terbelenggu kapitalisme yang merasuk di jiwa, tidak hanya pemimpin tapi juga rakyat negeri ini. Lalu apakah Pancasila masih akan tetap sakti atau malah semakin sakit?
Pancasila lahir dalam kondisi di mana terjadi perang hebat antar dua ideologi besar di dunia ini. Dua kekuatan besar idelogi pada masa itu adalah sosialisme (baik kanan maupun kiri) dan kapitalisme. Bung Karno kemudian dengan sangat cerdas mengambil jalan tengah di antara kedua ideologi tersebut. Beliau melakukan sintesis dari nilai-nilai yang memang dikandung peradaban negeri di nusantara ini.
Lahirlah ideologi Pancasila. Tidak ada satupun pemimpin di dunia ini yang tidak mengakui kehebatan dari pemikiran Bung Karno dengan ideologi Pancasilanya. Semuanya memberi pujian.
Namun, Pancasila kemudian mengalami pergeseran-pergeseran. Yang paling besar terjadi pada masa Orde Baru. Pancasila justru dipergunakan sebagai alat melegitimasi kekuasaan Soeharto. Dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun, Pancasila tidak lebih hanya sebagai simbol yang tak dimaknai dengan jujur oleh pemimpin negeri ini.
Ironisnya, setelah rezim Orde Baru runtuh, Pancasila tidak direvitalisasi melainkan justru lebih banyak diabaikan. Sebagian kalangan mengatakan pengabaian atas Pancasila lahir dari rasa trauma yang mendalam atas rezim Orde Baru.
Namun demikian, trauma atas rezim Orde Baru bukanlah alasan kuat untuk menjelaskan melemahnya kekuatan ideologi Pancasila.
Tak Bertepi
Faktanya, konstitusi Indonesia masih tetap mengakui bahwa Pancasila adalah dasar negara sekaligus sumber dari semua sumber hukum di negeri ini. Akar persoalannya adalah perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia yang kini terbelenggu oleh kekuatan kapitalisme global.
Hingga akhir tahun 1980-an, komunisme sebagai perwujudan dari paham sosialisme masih sangat kuat. Akibatnya kekuatan kapitalisme global sedikit terhambat dalam upayanya merambah keseluruh belahan dunia. Para pemimpin dunia juga masih terbelah dalam dua kutub besar, yaitu blok komunis dan blok kapitalis. Tetapi begitu Uni Soviet jatuh dan Tembok Berlin runtuh, maka kekuatan kapitalisme global merangsek dengan sangat kuat keseluruh belahan dunia. Kapitalisme “mematikan” semua ideologi yang masih ada di dunia ini lalu menjadi satu-satunya pemenang (Francis Fukuyama, 1992)
Para pengusung kapitalisme mendasarkan pemikirannya pada rasionalitas atas semua urusan di muka bumi ini. Karena itulah kapitalisme merambah hingga pembentukan budaya di masyarakat. Depersonalisasi hubungan sosial, spesialisasi ilmu pengetahuan, dan kalkulasi keuntungan adalah ciri umum yang dapat diidentifikasi dalam karakter budaya kapitalisme (Fachrizal H Halim, 1998). Dalam tahap yang lebih lanjut budaya kapitalisme adalah budaya yang mengagungkan keuntungan materi karena tujuan utamanya adalah mengakumulasi modal.
Dengan perkembangan media massa yang didukung kecanggihan teknologi informasi yang mengatasi ruang dan waktu, kapitalisme akhirnya mendorong lahirnya keinginan-keinginan (want) melebihi kebutuhan (need). Manusia dijejali dengan pengaruh-pengaruh bahwa kehidupan ini tidak cukup hanya dengan memenuhi kebutuhan saja, melainkan juga keinginan-keinginan.
Padahal, dalam pemahaman apapun, keinginan manusia itu ibaratnya seperti lautan samudera tak bertepi. Dalam bahasa sederhannya, kapitalisme adalah ideologi yang membenarkan sifat serakah karena dengan keserakahan itulah kapitalisme hidup. Bahkan ada satu idiom penting bagi penganut kapitalisme adalah “greed is good” (serakah itu baik).
Sulit untuk mengatakan kalau bangsa ini tidak dalam belenggu kapitalisme. Bahkan di negeri ini kapitalisme sudah menjelma menjadi kekuatan liar, tanpa ada sedikit pun nilai-nilai moral sebagai kontrol terutama di kalangan para pemimpinnya. Kerakusan begitu merasuk kedalam benak para pemimpin di negeri ini sehingga keinginan untuk mengeruk keuntungan materi demikian kuat.
Moralitas hanyalah menjadi pemanis bibir (lips service), yang meluncur dari mulut pemimpin ketika masa-masa kampanye.
Celakanya adalah ketika kapitalisme juga merasuk kuat di benak masyarakat. Kehidupan yang dipenuhi pengaruh kenikmatan materi, yang disebar dengan masif oleh media massa, menanamkan sifat-sifat bahwa manusia itu haruslah rakus akan materi. Karena itulah, dalam budaya kapitalisme yang dangkal, kehormatan seseorang hanya ditentukan dari seberapa besar kekayaan yang dimilikinya. Tidak peduli apakah kekayaan itu berasal dari korupsi atau menipu. Asal manusia itu kaya dan rajin menyumbang, pastilah dihormati masyarakat.
Menjadi sangat logis kalau kemudian dalam menentukan pemimpin, rakyat menjatuhkan pilihannya kepada mereka yang rajin menyumbang pembangunan tempat ibadah, memberi bantuan pembangunan jalan-jalan desa, atau hanya sekadar memberi amplop berisi uang puluhan ribu rupiah saja.
Sakit
Dalam penjelasannya di sidang BPUPKI, Bung Karno dengan lugas menyatakan bahwa jika Kelima Sila Pancasila diperas, hanya ada tiga sila yakni Sosio-nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan.
Kemudian Bung Karno menawarkan satu sila dari perasan ketiga sila tersebut yakni apa yang disebut dengan Negara Gotong Royong. Asas gotong royong merupakan prinsip yang didasarkan rasa kebersamaan, di mana setiap orang bekerja bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan (need) bersama pula. Tidak ada kepentingan individu di sana. Apalagi hanya untuk memperkaya diri sendiri guna memenuhi keinginan-keinginan (wants) belaka.
Maka, jika direnungkan dengan mendalam, maka secara prinsip kapitalisme dan Pancasila adalah dua kutub yang berbeda.
Fakta kekinian, negeri ini begitu kuat dibelenggu budaya kapitalis. Pancasila kemudian hanya menjadi simbol tanpa suara, tanpa kekuatan. Pemimpin negeri ini tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai paham yang menuntun pola berpikir dan prilaku dalam menjalankan kepemimpinan.
Begitu juga rakyat yang tidak merasakan lagi kesaktian dari Pancasila karena terbuai dalam budaya kapitalis. Pancasila tidak lagi sakti tetapi sakit.
Untuk menyembuhkan Pancasila, maka obat yang paling mujarab adalah memulihkan kembali rasa percaya. Para pemimpin dan rakyat negeri ini harus membangun kembali kepercayaan atas kekuatan Pancasila. Pemimpin dan rakyat melakukannya secara bersama-sama. Tetapi, mungkin beban yang utama tetap di pemimpin karena dengan kondisi yang sekarang, kehidupan ekonomi pemimpin sudah lebih dari cukup.
Yang perlu dikendalikan adalah sifat kerakusannya saja. Kemudian rakyat juga harus secara tulus dan ikhlas memilih pemimpin. Jangan memilih yang hanya memberi bantuan materi tetapi gemar korupsi. Tolaklah sumbangan yang bersumber dari pemimpin yang korup, apalagi sumbangan itu untuk tempat ibadah.
“Membunuh” koruptor adalah jalan menghidupkan kembali kekuatan Pancasila. [b]
Ilustrasi diambil dari sini.