Dua merek khas pria dalam satu lagu untuk mengkritik ajik-ajik.
Digimon Adventure merupakan serial anime Jepang yang diproduksi sekitar akhir 1990-an dan awal 2000-an. Seingat saya hadir di layar kaca tiap Minggu.
Anime ini mengisahkan petualangan tokoh-tokohnya di dunia digital. Tentu saja sekaligus persahabatannya dengan Digimon (Digital monster). Agomon, Gatamon, Gabumon hanya tiga dari sekian banyak Digimon yang muncul diserial anime ini.
Sejujurnya, Pikachu dan anime Pokemon jauh lebih membekas dalam ingatan saya dibandingkan dengan anime Digimon. Namun, kemunculan secara resmi ““Pajeromon”” pada 14 Februari 2020, memunculkan kembali ingatan pada Digimon.
Pertama kali membaca kata ini pikiran langsung mengonotasikannya dengan sebuah hormon, seperti testoteron dan progesterone. Mungkin karena akhiran “on” di belakang “pajerom”. Namun, ternyata konotasi yang berhasil ditarik itu salah. Deskripsi di unggahan video menyatakan bahwa ““Pajeromon”” merupakan figur Digimon (Digital Monster), sesosok monster imajiner yang dilahirkan ROLLFAST.
“Pajeromon”, figur digimon yang dihadirkan dalam bentuk sebuah single.
Baiklah. Daripada panjang kali lebar membahas digimon, yang berpotensi dianggap sebagai nostalgia manis anak 90-an yang enggan move on, maka lebih baik sedikit berbincang tentang “Pajeromon”, Digimon yang baru saja dilahirkan oleh ROLLFAST, sebuah band psychedelic rock yang awalnya beranggotakan 5 orang pemuda Denpasar.
Berawal dari Ajik
“Ajik datang… Ajik datang… Ajak datang…” disebut berulang-ulang. Seolah begitu kegirangan menyambut kedatangan sosok yang ditunggu, sang Ajik.
Ajik adalah panggilan untuk sosok berpengaruh dalam struktur kuasa. Pangilan ayah dalam keluarga darah biru. Bisa juga digunakan untuk menjilat para pembesar secara kedudukan, kekayaan atau kekuatan.
Bukankah seseorang suka dipuji? Dan, panggilan ini tentu saja efektif digunakan untuk menggerogoti orang-orang belog ajum (sombong dengan kebodohannya).
Pembukaan ini menggambarkan bentuk awal dari makhluk imajiner Pajeromon sekaligus menjawab dari mana asal komentar “ajik datang” yang sering meuncul di kolom komentar unggahan Instagram band ROLLFAST.
“Dini hari di simpang enam yang kini dipensiunkan.”
Setelah mendengar teriakan kegirangan menyambut kedatangan Ajik, kita diajak ke sebuah sudut ikonik kota Denpasar. Simpang enam. Sebuah persimpangan dengan bilangan prima terbanyak yang saya tahu. Karena simpang siur bukanlah sebuah bilangan, tetapi lebih pada sebuah keadaan kusut.
Dan, bagi saya yang jarang ke Bali Selatan, kehadiran Underpass Simpang Siur membuat Simpang Siur semakin kusut, karena salah jalur berarti salah arah. Hidup sudah simpang siur, jadi tidak usahlah semakin dibuat kusut dengan melintasi Simpang Siur (kini Simpang Dewa Ruci). Namun, di sisi yang lain hidup terlalu beragam untuk diseragamkan hanya dengan dipermudah mengikuti nasehat berada “satu jalur”.
Persoalannya, tempat apa di Simpang Enam yang kini dipensiunkan? Kalimat dipensiunkan merujuk pada paksaan, dipaksa pensiun. Tebak-tebak buah manggis, apakah tempat di simpang enam yang dipaksa pensiun?
Jawabannya tentu mudah, tinggal Googling saja. Mengetauhi tempat tersebut sebenarnya penting-tidak penting. Tidak penting karena Pajeromon tetap akan lahir dengan atau tidak mengetahui tempat tersebut. Penting, karena dengan mengetahui tempat tersebut kita bisa memahami secara detail latar evolusi Ajik sekaligus mengetahui sekelumit sejarah kota Denpasar. Bahwasannya kota ini pernah memiliki sebuah pusat hiburan malam dengan dunia yang bertautan di dalamnya.
Diiringi dentuman drum, (mungkin) suara burung gagak, gitar, bass dan bebunyian lain yang begitu padat, ROLLFAST mengajak bertemu sosok ajik yang sebenanrya.
“Komandan bagi-bagi bantuan langsung berupa cinta merah muda.”
Komandan, sosok yang memegang komando, memiliki kuasa banyak orang dan yang hobi pamer. Tentu bukan perasaan yang dipamerkan. Lebih nyata dari itu, kekuatan meteri, lebih konkret.
Dini hari membagikan bantuan langsung cinta merah muda, hanya karena 14 Februari merupakan hari Valentine jangan kemudian berimajinasi yang dibagikan itu adalah perasaan cinta yang romantik. Bisa jadi itu hanya selembar uang Rp 100 ribuan yang dihamburkan.
Untuk apa? Untuk menunjukkan kuasa sebagai usaha pemenuhan rasa berkuasa. Bukankah pengakuan merupakan sebuah bentuk kebutuhan yang dibutuhkan manusia?
Itulah sekelumit petikan lirik dari lagu “Pajeromon” milik ROLLFAST, sebuah band yang dimotori oleh Agha Praditya (vocal), AAN Triandana (Bass) dan Bayu Krisna (Gitar). Sebuah single yang baru saja dilepas ke Youtube dalam bentuk video lirik. Seolah ingin ikut merayakan hari Valentine.
Jika membaca lebih detail keterangan tentang Pajeromon yang mengantarkan unggahan video, hal pertama yang terlintas tentu sebuah teori cocoklogi.
Bayangkan saja, Pajeromon ternyata berasal dari tiga kata; Pajero, Jero, dan Romon. Tiga kata yang kemudian digabungkan dan menjadi sebuah kata Pajeromon yang kemudian dipilih sebagai nama dari anak mereka yang ternyata sosok monster digital. Kurang cocoklogi apa lagi?
Bagaimana mungkin, sebuah varian mobil (Pajero) digabung dengan kata yang selain berarti panggilan untuk orang yang mendapat wewenang (tanggung jawab) juga bisa merujuk pada rumah keluarga berkasta (Jero). Dua kata itu kemudian ditambah lagi dengan sebuah kata sifat romon yang berarti kotor (Romon). Lalu menjadi sebuah kata yang mewakili sifat maskulin yang diumbar.
Ahhh, apa yang sebenarnya ada dalam kepala mereka?
Mari tinggalkan saja teori cocoklogi ala ROLLFAST dalam hal membuat kata “Pajeromon”. Kita kembali masuk ke sebuah tempat yang dipensiunkan di Simpang Enam, di mana komandan sedang membagikan bantuan langsung cinta merah muda.
“Jika tak sungkan, sembunyikan homofob, demi ikan tercinta”
Perlahan ajik berevolusi (bukan Revolusi Bung), menjadi sosok komandan yang berlaku begitu licik. Menyembunyikan prilaku antipati terhadap orientasi di luar apa yang diyakininya hanya untuk bisa berbaur. Semakin menancapkan kuasanya dan tentu saja memastikan dia bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.
“Menjelma binatang di lantai mangsa, mengkristalkan hasrat kuasa.”
“Ereksi maskulinnya, sang bonobo berkedok dansa.”
Keriuhan lantai dansa menstimulasi. Di tengah kerumunan mangsa, Ajik sang komandan berevolusi sempurna, menjadi binatang. Sifat aslinya muncul, cara pikir kerdil disembunyikan di balik setiap laku maskulin yang diumbar. Kuasa kekuatan yang diperagakan untuk semakin menancapkan kuku kuasa dan melanggengkan kekuasaan.
Apa akibatnya?
“Hukum rimba lantai dansa, kuku bima haus mangsa
Hukum rimba lantai dansa, kuku bima raja rasa
Hukum rimba lantai dansa, kuku bima merasa raja
Hukum rimba lantai dansa, kuku bima haus mangsa”
Kemunculan Pajeromon menjadi sosok yang tak bisa dihindarkan terutama ketika orang-orang licik, homofobia, tetapi memiliki kekuatan dan kuasa seperti misalnya Ajik si komandan diberi ruang.
Maskulin menjadi sifat yang begitu dekat di kesaharian, seperti halnya kasih yang begitu mudah berubah menjadi kasihan, sifat begitu cepat mewujud. Hadir dalam bentuk nyata prilaku-prilaku yang berorientasi pada pamer kekuatan dan kekuasaan.
Penggunaan kata “kuku bima” sebagai sebuah frasa yang mewakili sifat maskulin menjadi kejutan tersendiri. Sebuah klimaks dari perilaku si ajik yang berevolusi menjadi “Pajeromon”. Bagaimana tidak, kuku bima begitu familiar di telinga karena menjadi varian sebuah minuman instan yang memamerkan kekekaran, kekuatan, vitalitas, keberanian, hal-hal yang begitu diidentikkan dengan kata maskulin.
Dua Jenama
Pajeromon ternyata sebuah lagu yang menghadirkan 2 merek. Merk pertama “Pajero” merupakan varian mobil model SUV yang siap melibas segala medan sebagai simbol kekar dan bertenaga. Dia dipilih mewakili penggambaran sosok ajik si komandan aka Pajeromon. Merek kedua “Kuku Bima” yang dipilih untuk menggambarkan kekuatan dan perilaku Si Pajeromon.
Jangan lupa Bima adalah simbol kekuatan dalam mitologi Panca Pendawa. Bahkan pis Bima (keping uang logam yang menggambarkan sosok Bima) seringkali dicari karena dipercaya tuahnya akan memberi kekuatan pada penggunanya.
Dua merek yang memang menyematkan kesan maskulin dan menggunakannya sebagai media jualan. Yang tanpa disadari tentu saja menjadi media untuk semakin menguatkan paham maskulin di tengah-tengah kita. Sebuah cara halus yang begitu romon, yang tanpa disadari memupuk mentalitas yang tidak kalah romon-nya (romon=kotor, Bahasa Bali).
Melalui Pajeromon, ROLLFAST menghadirkan dan menggunakan dua merek yang begitu jelas menggunakan maskulin sebagai strategi branding penjualan mereka untuk kemudian mengkritisi bagaimana perilaku sosial yang lahir dari sifat maskulin tersebut. Sifat yang oleh khalayak ramai biasa dilihat dan kita anggap biasa.
Bagaimana pemujaan berlebih atas kuasa kekuatan yang tengah berlangsung di tengah-tengah kita dan diumbar sedemikian rupa. Bagaimana orang-orang dengan “kuku bima” bisa seenaknya mengekspresikan hasratnya, bagaimana hukum rimba lantai dansa ternyata bekerja keluar dari lantai dansa dan terjadi di sekitar kita.
Buat yang berpikir ROLLFAST akan menghadirkan komposisi musik sama dengan di album pertama mereka, kalian harus kecewa. Di single Pajeromon, ROLLFAST menghadirkan bentuk baru, baik secara lirik, cara sang vokalis menghadirkan lirik ke dalam lagu, bahkan aneka bebunyian yang muncul dalam lagu.
Pajeromon adalah sebuah penggambaran imajiner. Menyusuri lekukan tubuh monster digital melalui lirik kasar tanpa pengulangan (jangan berharap menemukan reff). Lirik kasar dan cenderung vulgar, tak butuh usaha berat untuk mencernanya. Namun, kekasaran lirik yang jauh dari kata puitis membuat laku sosok “ajik” bisa tergambarkan dengan jelas.
Iringan komposisi instrumen yang tak kalah kasar, dengan serangkaian bebunyian yang entah dari mana, berhasil menyusuri derap adrenalin yang ikut melata di lantai dansa sebuah tempat di Simpang Enam. Sedikit akses mistis (gagak dan suara seperti seruling ular) menghadirkan kemuakan pada sosok kekekaran Si Pajeromon dan tradisi maskulin yang diumbarnya.
Jika bagi ROLLFAST Pajeromon merupakan sosok Digimon imajiner, maka dengan subjektivitas pendengar, saya tetap berada pada pendirian bahwasannya Pajeromon adalah sebuah hormon. Alasannya sederhana, sebagai Digimon, “Pajeromon” akan menjadi sosok di luar diri yang bisa dengan mudah ditinggalkan.
Namun, sebagai hormon “Pajeromon” adalah sesuatu yang ada dalam diri, yang oleh kekusaan dan kekuatan dalam genggaman tangan bisa mengubah siapapun menjadi sosok binatang yang menyembunyikan kekerdilan cara berpikirnya dengan berperilaku penuh penggunaan kekuatan dan kekuasaan. Itu artinya siapapun bisa berubah menjadi “Pajeromon” ketika menggenggam kuasa.
“Ape gaene jleme-jleme ne?” (apa sih yang orang-orang ini buat?)
Mungkin saja muncul ketika pikiran terpaku pada komposisi music psychedelic rock ala ROLLFAST di album “Lanes Oil, Dream Is Pry”. Pemikirian yang mungkin harus dikoreksi karena apa yang dihadirkan lewat Pajeromon tentu bukan sesuatu yang sama dengan ROLLFAST di album pertama. Bukan pula komposisi musik yang biasa menyusup ke telinga. Di sanalah letak keunikan Pajeromon, sesuatu yang segar yang tak biasa didengar telinga.
Sebagai pendengar ada imajinasi nakal yang tiba-tiba muncul. Bagaimana jika single ini diputar di mobil Ferosa Jumawa, sebuah mobil yang dimodifikasi sehingga bagian depan terlihat menengadah. Kendaraan yang biasanya mengangkut orang-orang kekar, dengan potongan rambut komando dan dada membusung, seragam. Lalu bagaimana sosok-sosok seperti itu larut dalam beat Pajeromon, bergoyang minimalis, dengan tetap membusungkan dada, seragam.
Atau jika ROLLFAST menggunakan Ferosa ini sebagai simbol sifat maskulin (menggantikan Pajero), mungkin judulnya jadi “Feromon” hormon ferosa. :P.
Tulisan ini hanya sebuah tanggapan subjektif bagi Pajeromon, satu lagu dengan judul cocoklogi memuat dua merk yang mengumbar kekuatan-kekekaran otot-dan sifat pamer kekuatan dan kuasa. Seperti halnya ajik yang bisa jadi siapa saja dan muncul di mana saja, demikian juga Pajeromon tidak melulu kekar, berotot dan hadir di Simpang Enam.
Dalam bentuk kolektif “Pajeromon” bisa menjelma penguasa yang mengunakan pendekatan kekerasan dalam setiap persoalan, bisa menjelma masyarakat yang tidak toleran terhadap minoritas. Dalam individu bisa menjadi kaum fanatik dan homofobia yang anti pada perbedaan di luar keyakinannya.
Bahkan dalam bentuk nyata bisa menjelma sosok raja rupawan yang gila disembah, memamerkan kuasa di hadapan ibu-ibu yang sebelumnya gigih berjuang mempertahankan ruang hidupnya. Sialnya kehadirannya alih-alih membela perjuangan gigih warga malah memperkeruh situasi dan semakin menjauhkan warga dari hak dan akses tanah yang secara turun temurun telah menjadi ruang hidup mereka.
Single “Pajeromon” bisa menjadi sebuah single reflektif untuk melihat diri dengan potensi kerentanan yang sama bagi setiap orang untuk berevolusi menjadi ajik sebelum kemudian menjadi Pajeromon.
Sebuah single yang bisa digunakan untuk menghidupkan alarm tanda bahaya ketika mendengar “Ajik datang… Ajik datang… Ajik datang… Ajik datang…”, agar kita tidak mejadi korban “Pajeromon” yang sedang mencari mangsa. [b]