• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Tuesday, June 17, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Sosok

Obituari: Djiwa Duarsa dan Kisah Formulir Fotokopi 1980

I Nyoman Darma Putra by I Nyoman Darma Putra
25 April 2009
in Sosok
0 0
2

Oleh I Nyoman Darma Putra

Bali kehilangan salah satu tokoh pendidikan yang penuh jasa melahirkan tenaga guru dalam rentang waktu lebih dari tiga dekade. Dialah Djiwa Duarsa yang dipanggil Yang Maha Kuasa, Selasa, 14 April 2009, dalam usia 83 tahun.

Lelaki asal Kerambitan, Tabanan, ini lahir 14 Oktober 1926. Dia pernah mengajar di Makassar dan kota lain di Indonesia, pernah mengelola majalah bahasa, aktif di partai, dan menjadi kepala sekolah guru yang terakhir bernama SPGN Denpasar selama 27 tahun.

Berikut adalah kesan seorang anak didiknya, I Nyoman Darma Putra, yang merasa mendapat banyak sentuhan semangat dan pekerti dari Pak Djiwa Duarsa selama dia menjadi murid di SPGN Denpasar, tahun 1977-1980. SPGN yang lokasinya di Jl Kamboja, dempet dengan asrama kepolisan Polda Bali, kini menjadi SMAN VII.

Ketika itu, saya tinggal untuk beberapa tahun di asrama SPGN, sedangkan Pak Djiwa bersama keluarga menempatkan rumah dinas di kompleks sekolah dan asrama. Saat anak asrama belajar malam, Pak Djiwa tekun mengamati dan mengawasi. Beliau juga mengawasi kami saat makan siang dan malam di asrama. Pak Djiwa memiliki wibawa yang lebut sehingga kami segan dan hormat sekali kepadanya. Wibawanya tak hanya membuat kami sering merasa terlindungi, seperti anak dengan orang tua sendiri, tetapi juga menjadi inspirasi untuk rajin belajar.

Cerdas, bijaksana, sabar, berwibawa, dan lembut tutur katanya adalah sebagian dari pesona yang bisa dilekatkan kepada Pak Djiwa. Jika perlu, dalam memberikan kami nasehat beliau menangis, sampai kami terharu dan segala nasehatnya menjadi mangkus dan manjur.

Lokasi asrama dekat sekali dengan pasar malam Lila Bhuwana, ujung Barat laut stadion Ngurah Rai, yang kini sudah jadi GOR. Hari Sabtu kami tidak ada kewajiban belajar malam. Saat itu biasanya kami boleh ke luar asrama dan hiburan paling memikat waktu itu adalah pergi ke Lila Bhuwana, menonton dagang obat dan pulangnya beli pisang goreng dengan uang patungan dari teman-teman.

Pak Djiwa mengajarkan kami untuk membuat peraturan sendiri untuk dipatuhi sendiri. Penghuni asrama yang ke luar malam, pukul 9 malam harus sudah kembali.

Kalau malam hari kami lapar, kami suka merayu Bu Dayu di dapur asrama agar bisa menikmati makan malam ekstra, ada atau tidak lauk, tak masalah. Sebagai penghuni asrama, kami bergilir membantu Bu Dayu untuk belanja ke pasar Kereneng setiap pagi.

Di antara sekian pengalaman berkesan sebagai anak didiknya, yang harganya tiada tara adalah yang berikut ini:

Pertengahan tahun 1980 nyaris terjadi ‘tragedi akademik’ bagi lulusan Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN) Denpasar. Mereka hampir kehilangan hak-haknya untuk mengikuti ujian masuk ke Universitas Udayana kalau saja almarhum Djiwa Duarsa tidak dengan sigap bertindak.

Pak Djiwa melakukan pendekatan ke Kanwil Dikbud (Drs AAG Oka) dan Rektor Unud (dr Ida Bagus Oka) agar anak didiknya bisa ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), atau mungkin sudah disebut dengan Sipenmaru (sistem penerimaan mahasiswa baru).

“Saya tidak mau anak-anak saya dikalahkan sebelum bertarung,” kata Pak Djiwa penuh semangat kepada para alumni yang sedih telah dibayangi kabut tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.

Pak Djiwa berjuang dan dia berhasil. Kami bersyukur dan mencoba membuktikan kata-katanya bahwa kalau bertarung kami akan menang!

Waktu itu, masa pendaftaran masuk sebagai mahasiswa-baru Unud sudah ditutup, sementara lulusan SPGN Denpasar belum mendapatkan ijazahnya. Tanpa memiliki ijazah, jelas kami tidak bisa mendaftar dan tidak bisa bertarung dalam UMPTN.

Ketidaksinkronan masa pendaftaran UMPTN dan kelulusan SPGN terjadi karena banyak hal, salah satu di antaranya adalah transisi perpanjangan tahun ajaran. Biasanya akhir tahun ajaran terjadi Desember 1979, namun saat itu digeser ke Juni 1980. Ada perpanjangan satu semester.

Transisi itu terjadi di seluruh Indonesia dan sebetulnya tidak masalah kalau saja pengumuman kelulusan untuk sekolah kejuruan (termasuk SPG) tidak dilaksanakan belakangan dibandingkan sekolah umum (SMA). Dalam situasi demikian, hanya tamatan SMA yang bisa mendaftar UMPTN. Bagi kami, dan juga Djiwa Duarsa, ini tidak fair.

Sebagian besar alumni SPGN sedih karena harapan mereka untuk melanjutkan ke Unud sudah terbang melayang. Yang beruntung hanya satu dua orang yang mungkin mempunyai keluarga bekerja di Unud sehingga bisa mengantisipasi keadaan sehingga bisa melamar dengan cara-cara tertentu.

Sebagian besar, termasuk saya dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki kerabat yang ‘berkuasa’, hanya bisa gigit jari. Impian untuk kuliah, menjadi mahasiswa, sudah akan saya kubur.

Tapi, ternyata Djiwa Duarsa sangat peka dan peduli. Dia tidak tinggal diam melihat kemurungan kami. Dia pun berjuang ke Kanwil Depdikbud dan Rektor Unud. Beberapa alumni sebagai perwakilan diajak serta menghadap kedua pejabat tersebut.

Kabar gembira datang. Kami dinyatakan akan bisa mendaftar UMPTN secara khusus. Kami akhirnya mendaftar UMPTN di SPGN Denpasar. Karena formulir asli habis saat pendaftaran itu, kami dibagikan formulir fotokopi.

Alumni SPGN hanya diizinkan untuk melamar program diploma pendidikan FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Singaraja. Peluang untuk melamar ke S-1 tidak ada. Menurut ingatan teman lain bahwa kami diizinkan melamar S1 sebagai tetapi sebagai pilihan kedua. Pilihan pertama harus diploma. Tamatan SPG harus ‘langsung’ jadi guru, sepertinya tak perlu jadi ’sarjana’.

Yang jelas saat itu, saya terpaksa melamar D-1 Jurusan Bahasa Indonesia FKIP Singaraja, dengan angan-angan tamat di sana bisa menjadi guru SMP.

Pelaksanaan UMPTN dilakukan serentak. Kami yang melamar dengan formulir fotokopi tidak mengikuti tes di Unud tetapi di gedung SPGN. Bukan kami yang datang ke Unud, tetapi Panitia Unud yang datang ke SPGN. Walau kami hanya bertarung untuk program diploma, bukan program sarjana (S1), kami merasa diistimewakan.

Tahun 1980-an merupakan tahun-tahun sulit untuk mendapatkan kursi di perguruan tinggi negeri karena ketimpangan antara jumlah kursi di PTN dan angka lulusan SMA yang besar.  Ini terjadi di seluruh Indonesia. Sementara itu, minat lulusan untuk masuk perguruan tinggi swasta (PTS) sangat rendah karena kuliah di PTS kurang memberikan rasa bangga.

Untuk mengatasi masalah daya tampung, untuk pertama kalinya Unud membuka kelas sore untuk tiga fakultas, yaitu Fakultas Sastra, Hukum, dan Ekonomi. Kelas sore hanya dibuka untuk jurusan tertentu yang peminatnya relatif besar. Kelas sore waktu itu mungkin sama dengan kelas ekstensi masa kini. Karena PTS kemudian komplin karena tidak kebagian mahasiswa seperti diharapkan, kelas sore di Unud tutup setelah berlnagusng 3-4 angkatan.

Unud seperti berpacu dengan waktu. Pendaftaran untuk kelas sore dibuka sebelum hasil UMPTN diumumkan. Bagi mereka yang sudah ikut UMPTN boleh mendaftar dan tidak usah ikut tes lagi. Saya mendaftar masuk kelas sore Jurusan Sastra Indonesia.

Ketika UMPTN diumumkan di Bali Post, saya lulus di dua tempat: kelas sore Sastra Indonesia dan diploma satu di FKIP Singaraja. Saya memilih kelas sore di Unud Denpasar karena ini jenjang S1. Sementara kuliah sore, pagi hari saya bekerja menjadi guru olah raga di SD Anugerah Denpasar karena tidak ada lowongan sebagai guru mata pelajaran lainnya. Tak lama setelah itu, saya kemudian menjadi wartawan di Bali Post.

Banyak teman-teman SPGN lulusan 1980 bisa selamat dari ‘tragedi akademik’ berkat perjuangan Djiwa Duarsa. Sebagian di antaranya sudah sukses menjadi guru, kepala sekolah, dosen, dan juga ada yang sudah menyandang titel professor. Beberapa di antaranya bisa melanjutkan dan meraih gelar doktor di Jerman (I Ketut Ardhana), Belanda (IB Dharma Palguna), dan Australia (I Wayan Arka).

Ada juga teman kami yang menjadi sekpri gubernur, jabatan yang tak terbayangkan ketika masuk SPGN tetapi pasti hanya terraih karena prestasi dan budi pekerti yang terbina sejak di SPGN Denpasar!

Pak Djiwa Duarsa memiliki cara sederhana untuk mengajari kami mengukur sukses. Seseorang dinilai sukses kalau bisa mendatangkan kesan “Inilah”, sebaliknya gagal kalau mendatangkan ungkapan “Inikah?”. Dia memotivasi kami agar mampu membuat kesan “Inilah tamatan SPGN….”, dan mencegah munculnya kesan “Inikah tamatan SPGN?”.

Motivasi ini disampaikan dalam pidatonya sebagai kepala sekolah setiap upacara bendera Senin pagi. Ajaran agama yang kompleks, konsep filsafat yang rumit, bisa dituangkan dengan gamblang di hadapan siswanya. Yang penting bahwa Pak Djiwa Duarsa adalah tokoh dimana ‘kata’ dan ‘perbuatan’ menyatu dan memancarkan inspirasi. Meneladaninya adalah tantangan.

Setelah mendapat kabar dari Mita Duarsa bahwa Pak Djiwa Duarsa dipanggil ke alam sana oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, saya teringat lagi perjuangannya membebaskan kami dari ‘tragedi akademik’ hampir tiga dekade lalu.

Tanpa kesigapannya memperjuangkan formulir fotokopi waktu itu, pasti banyak alumni SPGN 1980 tidak bisa menikmati pendidikan tinggi, bahkan sampai ke luar negeri!

Selamat jalan guruku.

Tidak ada kegelapan yang mampu melenyapkan jasa-jasamu! Di tengah kegelapan sekalipun inspirasimu tetap terang! [b]

I Nyoman Darma Putra, alumni SPGN 1980, menulis dari St Lucia, Brisbane.

Tags: PendidikanSosok
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
I Nyoman Darma Putra

I Nyoman Darma Putra

Lahir, besar, dan tinggal di Padangsambian, Denpasar. I need 1000 dollars now. Pernah tinggal di Brisbane, Australia (1998-2002; 2007-2009). Saat ini Dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya sekaligus Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana.

Related Posts

Ini Kisahmu: Ni Pollok Gadis Bali

Ini Kisahmu: Ni Pollok Gadis Bali

14 July 2023

Produktif Berkarya selama Magang di BaleBengong

15 May 2021
SMK Penerbangan Cakra Nusantara Ikuti Program Kepala Sekolah CEO

SMK Penerbangan Cakra Nusantara Ikuti Program Kepala Sekolah CEO

31 December 2020
Ketut Ismaya

Mantan Preman dan Suka Dukanya

2 December 2020
Menggunakan Kesenian untuk Mengatasi Krisis Lingkungan

Menggunakan Kesenian untuk Mengatasi Krisis Lingkungan

1 December 2020
Ujian Skripsi Takkan Pernah Sama Lagi

Ujian Skripsi Takkan Pernah Sama Lagi

12 July 2020
Next Post
Menikmati Lombok di Jantung Bali

Menikmati Lombok di Jantung Bali

Comments 2

  1. gm. sukawidana says:
    14 years ago

    SAMPAI SAAT INI SAYA BELUM BERTEMU DENGAN MOTIVATOR SEKALIBER WD. DUARSA. KARENA ITU SAYA MENYEBUT BELIAU SEBAGAI MAHA GURU. KARENA PERJUANGAN BELIAULAH SAYA MENJADI GURU DI SMP N 1 DENPASAR. KOMUNIKASI SAYA DENGAN KELUARGA WD. DUARSA HINGGA SAAT INI TETAP BERLANGSUNG, KHUSUSNYA DENGAN MBOK MITHA DAN STHIRA PRANA. DENGAN MBOK MITHA KARENA SALAH SATU ANAKNYA , DITHA, PERNAH MENJADI MURID SAYA. TAK HERAN, APA PUN KEGIATAN DI RUMAH MBOK MITHA, SAYA PASTI MENDAPAT BAGIAN! STHRA PRANA, ADALAH MANTAN PENYAIR YANG KINI MENJADI DOKTER ADALAH TUKANG TRAKTIR KAMI SEMASA MENGGELANDANG DI SANGGAR MINUM KOPI. LALU APA YANG MENJADI KESAN YANG TAK TERLUPAKAN DARI MAHA GURU? “TUNJUKKAN DIRIMU, INILAH TAMATAN SPG NEGERI DENPASAR! JANGAN BIARKAN ORANG MENCEMOOH, INIKAH LULUSAN SPG NERI DENPASAR?” ITU SUDAH HAMPIR 30 TAHUN YANG LALU, TAPI KAMI PASTI SELALU INGAT ITU! KEKERABATANN KAMI TERBENTUK KARENA ITU, TERMASUK JUGA SIKAP KAMI SETELAH TAMAT DARI SEKOLAH ITU.

    Reply
  2. I MADE "tompel" DIARSANA says:
    10 years ago

    Jujur, saya juga punya kesan antara th 1980-83. betapa bimbingan bp. wd duarsa sangat berarti bagi saya pribadi. banyak kesan di sekolah maupun asrama (kebetulan dari kelas 1-3 saya tinggal di asrama), dari bangun tidur hingga mau tidur lagi. yang jelas dan paling saya rasakan adalah gemblengan bp wd duarsa membuat saya seperti sekarang ini. teringat akan petuah dan arahan beliau dengan nada suara yg lembut tetapi berat. salh satu kata-kata beliau yg masih melekat dalam dibenak saya adalah ” jangan menjadi orang indolen”. dizaman “bengal” seperti itu, saya belum tahu apa arti ucapan itu, tahunya cepat-cepat malam minggu dn bisa jalan-jalan ke gajah mada. HEHEHHEEEEE ………… (maaf sekedar ikut nimbrung dan yang merasa punya kenangan, salam u/ Mbok Made tukang rujak di pojok)

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Perjalanan Penyanyi Bali Legendaris Dealot

Perjalanan Penyanyi Bali Legendaris Dealot

17 June 2025
Pariwisata Bergeliat, Konflik Tanah pun Menguat

Pariwisata Bergeliat, Konflik Tanah pun Menguat

16 June 2025
Tiga Film di Balinale Soroti Isu Sosial

Tiga Film di Balinale Soroti Isu Sosial

15 June 2025
[Matan Ai] Bali dan Pembusukan Pembangunan

Penciptaan Ancaman di Pulau Para Jagoan

14 June 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia