Oleh Anton Muhajir
Selesai berbuka puasa dan sholat Maghrib, Nyoman Alvin Gautama, 7 tahun, segera bergegas ke jalan kecil di dekat rumahnya. Bersama kakaknya, Made Eva Nadya, 12 tahun, Alvin membawa barang dagangannya.
Sampai di perempatan jalan, batas antara Banjar Dauh Margi dan Banjar Dangin Margi, murid kelas II SD itu membuka dagangannya yang berupa permainan lotre. Pembeli akan mendapat gulungan kertas kecil seharga Rp 100 bertuliskan angka tertentu.
Kalau pembeli beruntung, dia bisa mendapat uang Rp 1000 atau kue wafer. Kalau sial, pembeli itu hanya dapat tulisan, Kasian Deh Lu.. Peminat belanja berhadiah ini banyak. Tak sampai 30 menit, barang dagangan itu ludes. Habis.
“Tiap hari rata-rata dapat uang Rp 10.000,” kata Alvin. Dia sendiri tidak menghitung berapa modal untuk jualan malam itu. “Saya hanya memberi Rp 50.000 untuk dipakai selama satu bulan,” tambah Nengah Panji Islam, bapak Alvin.
“Niatnya bukan untuk cari untung. Yang penting bisa nyenggol saja sudah senang,” kata Alvin. Nyenggol adalah tradisi tiap malam selama bulan Ramadhan di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng.
Desa Pegayaman yang berjarak sekitar 80 km utara Denpasar itu memang termasuk salah satu desa unik di Bali. Meski Bali sangat identik dengan Hindu, dari sekitar 5000 warga, hampir seluruh warga di Desa Pegayaman adalah muslim.
Seperti umumnya orang Bali, warga di desa ini masih menggunakan nama seperti Wayan, Nengah, Nyoman, dan Ketut. Nama Bali itu dikombinasikan dengan nama Islam, yang sebagian besar bahasa Arab. Jadilah ada Made Saiful Kohir, Ketut Asghar Ali, dan lain-lain.
Seperti umat Islam lainnya Ramadhan adalah bulan istimewa bagi warga Pegayaman. Bedanya, selain mengisi bulan puasa ini dengan ibadah yang bersifat vertikal, mereka juga melakukan tradisi yang memperlihatkan akulturasi Hindu dan Islam. Salah satunya adalah Ngejot yang dilakukan menjelang waktu berbuka puasa.
“Ramadhan sekaligus membalik hari-hari kami. Ada pembagian waktu untuk semua usia warga,” tambah Nengah Panji Islam. Menurut Nengah, selama bulan Ramadhan ini umat Islam di Pegayaman lebih banyak beraktivitas di malam hari.
Ketika malam baru mulai, anak-anak mengisinya dengan tradisi Nyenggol di mana semua penjual dan pembelinya adalah mereka sendiri. Saat sholat Tarawih, ibu-ibu yang punya bagian. Ibu-ibu ini sholat Tarawih hingga sekitar pukul 10 malam. Setelah itu, dari pukul 10 mulai bapak-bapak yang sholat di masjid.
Usai sholat Tarawih dilanjut dengan membaca Alquran (tadarusan) sampai sekitar pukul 2 pagi. “Tiap malam kami menyelesaikan tiga juz (semacam bab), sehingga tiap sepuluh hari kami melaksanakan khatam (perayaan selesainya membaca Alquran yang terdiri dari 30 juz),” kata Nengah.
Menjelang sahur, dari pukul 2 sampai pukul 5 pagi, giliran remaja yang berperan dengan cara membangunkan orang-orang untuk sahur. “Biasanya sambil memukul bedug keliling desa agar orang-orang bangun,” tambahnya.
Maka, usai berdagang, Alvin ganti jadi pembeli. Dia berjalan-jalan ke penjual lain, yang hampir semua seumuran. Malam itu, perempatan batas dua banjar itu riuh oleh puluhan anak-anak yang sibuk Nyenggol, seperti halnya Alvin dan kakaknya.
Nyenggol ibarat pasar malam. Tapi ini dilakukan oleh anak-anak saja. Rata-rata masih SD dan SMP. Anak-anak itu menggelar dagangan di pinggir jalan begitu usai berbuka puasa, sekitar pukul 18.30 malam. Jualannya macam-macam. Nengah Maghfiroh, salah satu penjual, menjual aneka rupa makanan dan buah. Ada buah jeruk, salak, dan mangga. Ada pula sate dan tahu.
Karena untuk anak-anak, harga dagangan itu termasuk murah. Mangga, misalnya, hanya dijual Rp 300 per buah sedangkan sate hanya Rp 200 per tusuk. “Kalau di sini uang seratus masih laku. Kalau di kota, lima ratus saja tidak ada yang mau,” kata Maghfiroh.
Pasar Nyenggol akan bubar ketika terdengar suara adzan Isya’. Satu per satu penjual dan pembeli akan bubar lalu menuju masjid untuk tarawih.
Nengah Panji Islam, 42 tahun, sekretaris desa Pegayaman mengatakan bahwa Nyenggol adalah tradisi di Pegayaman yang dilakukan setiap Ramadhan. Tidak jelas kapan tradisi ini dimulai. “Dari saya kecil sudah ada tradisi itu,” katanya. Menurut bapak dua anak ini, Nyenggol selalu menjadi waktu yang paling dinanti anak-anak. “Waktu saya kecil, paling senang ya kalau sudah Ramadhan karena ada Nyenggol,” kata Nengah. Saat itu, katanya, barang yang dijual sebagian besar berupa hasil bumi seperti buah-buahan. Namun, saat ini barang dagangan saat Nyenggol makin disesuaikan dengan selera anak-anak. Salah satunya sampai ada yang jualan lotre.
Selain Nyenggol, warga muslim di Pegayaman juga unya tradisi unik lainnya tiap bulan Ramadhan. Sesama keluarga, tetangga, atau teman akan saling berkirim hadiah berupa makanan. Tradisi ini disebut Ngejot, sama halnya dengan umat Hindu ketika melakukan upacara di mana mereka saling berbagi sisa upacara pada orang lain.
Menurut Ketut Asghar Ali, Perbekel Desa Pegayaman, Ngejot menunjukkan bahwa umat Islam di Pegayaman pun melakukan tradisi yang sama dengan umat Hindu lain di Bali. “Selama tradisi itu tidak melanggar batas keyakinan beragama, itu kan sah-sah saja untuk dilakukan. Apalagi kalau berbagi dengan orang lain,” kata Ketut. [b]
saya adalah anak yg lahir di desa pegayaman saya bangga dengan desa saya ini dan saya cinta ma tanah kelahiran saya;hasan basri
saya juga adalah seorang pemuda pegayaman,lahir di desa pegayaman, dan saya bangga menjadi WARGA pegayaman,inilah sebuah desa yg merupakan cerminan akulturasi budaya yg luarbiasa,kita harus bangga dengan semua itu,tapi tentu tidak cukup jika hanya dengan berbangga hati saja,mari kita jaga dan lestarikan semua warisan tradisi,budaya,adat istiadat yg telah di turunkan oleh para pengelingsir desa pegayaman dari rongrongan pihak pihak yg tidak bertanggung jawab..amin
NENGAH IMAM MAHDI
ya ampunnnnnnnnn….kangen marumah jadinya….hehehe….pegayamaan…….luph you ……
q jg bnggga ma desa q,mga budayanya ttp di lestarikan……………..
hahaha 😀
ceritanya lucu .. jadi inget masa” dulu 😀
MADE EVA NADYA
hihihi aku malah ketawa baca2 komen di atas. apa kabar semuaaaa?
apalagi dari made eva yg ternyata jadi salah satu tokoh berita di atas. itu artikel 4 tahun lalu berarti dia sudah 16an tahun sekarang.
dan 4 tahun juga terakhir kali ke pegayaman dan menikmati menu buka puasa enak sambel terong dari pak panji islam. semoga masih asik seperti duluu.
hahaha . hai mbok apa kabar ?
iya mbok sekarang eva udah gede udah 16 tahun bentar lagi mau sweet seventeen 🙂
ayo mbok puasa di pegayaman lagi 🙂
trus nyenggol bareng 😀
iseng jak peagayaman,,, llllooooovvvvvveeeeee uuuuu PEGAYAMAN,,,,
harus tetap bertahan donk kebudayaan ini sampai anak cucu kita,,,,,,,,,,,
de bange budaya ae baru merajai masa depan adik”e ditu,,,,,,,majuuuu.
saiful anwar, banjar belong