Oleh Anton Muhajir
Menjelang malam di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Sekitar pukul 6 sore itu, suasana desa mulai terlihat ramai di jalan, terutama oleh anak-anak. Mereka menunggu waktu berbuka puasa. Pegayaman adalah desa yang hampir seluruh warganya muslim meski berada di Bali, yang sangat identik dengan Hindu.
Di antara anak-anak yang bermain itu, sebagian anak sedang berjalan membawa makanan dalam tas plastik. Mereka membawanya ke rumah paman, bibi, atau keluarganya yang lain. Mereka sedang Ngejot, tradisi membagi hadiah pada orang lain.
Seperti halnya umat Hindu, muslim di Pegayaman memang punya tradisi berbagi dengan tetangga atau keluarga saat hari raya. Tradisi Ngejot ini pun dilakukan saat Ramadhan selain juga pada hari raya lainnya. Dalam tradisi Hindu Bali, Ngejot dilakukan saat mereka melaksanakan upacara atau hari raya terutama saat Galungan dan Kuningan.
Ngejot saat Ramadhan adalah salah satu bentuk akulturasi antara tradisi Bali dan Islam di Desa Pegayaman.
Menurut Ketut Asghor Ali, Perbekel (Kepala Desa) Pegayaman, Ngejot menunjukkan bahwa umat Islam di Pegayaman masih melakukan tradisi yang sama dengan umat Hindu di Bali. “Selama tradisi itu tidak melanggar batas keyakinan beragama, itu kan sah-sah saja untuk dilakukan. Apalagi kalau berbagi dengan orang lain,” kata Ketut.
Makanan yang diberikan saat Ngejot tak jauh beda dengan umat Hindu Bali. Antara lain jaja uli, buah, rengginang, dodol, dan semacamnya.
Ngejot, sebenarnya, tak melulu tradisi umat Islam di Pegayaman. Sebagian muslim di daerah lain di Bali, seperti Denpasar pun melakukan hal sama. Biasanya Ngejot di daerah yang lebih plural ini malah diberikan pada umat lain termasuk Hindu.
Namun, Desa Pegayaman tak hanya memiliki tradisi Ngejot. Masih banyak tradisi lain yang menunjukkan akulturasi antara Bali dan Islam. Di desa ini keduanya saling mengisi tanpa harus menimbulkan ketegangan.
Pemberian nama adalah contoh akulturasi lainnya. Sebagai orang Bali, warga Desa Pegayaman pun menggunakan nama depan Wayan, Nengah, Nyoman, dan Ketut. Namun nama belakang mereka biasanya Bahasa Arab. Misalnya Ketut Asghor Ali, Nengah Maghfiroh, Nengah Azmi, dan seterusnya.
Nengah Panji Islam, warga Desa Pegayaman, mengatakan kalau pemberian nama itu masih terus dilakukan sampai saat ini. Nengah yang juga sekretaris desa itu pun memberi nama tiga anaknya dengan nama Bali: Putu Ayu Maziyya, Made Eva Nadya dan Nyoman Alvin Gautama.
“Bahkan adik saya yang menikah dengan orang Solo juga masih memberi nama anak-anaknya dengan nama Bali,” kata Nengah.
Bentuk akulturasi lain di Desa Pegayaman adalah pada urutan hari besar. Umat Islam di desa ini juga punya tradisi Penyajanan (membuat jajan), Penapean (membuat tape), dan Penampahan (memotong hewan) menjelang hari raya. “Sama saja dengan umat Hindu yang berupacara,” kata Ketut Asghar Ali.
Urutan perayaan ini dilakukan tiap umat Islam merayakan hari raya seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid Nabi. Menurut Guru Ketut, panggilan akrabnya, ritual-ritual itu selain untuk menambah semangat saat hari raya juga untuk saling berinteraksi antar warga.
Ketut memberikan contoh Penampahan. Tradisi ini dilakukan dengan memotong sapi. Karena harga sapi per ekornya mahal, sampai Rp 3 juta, maka warga saling urunan untuk membeli sapi saat Penampahan. “Dengan begitu kami saling berbagi beban sekaligus belajar membagi dengan adil,” katanya.
Tradisi lain yang dilakukan di Pegayaman adalah Muludan, perayaan lahirnya Nabi Muhammad. Mereka merayakan Muludan dengan pawai keliling kampung. Ada hadrah, pencak silat, drum band, ogoh-ogoh (patung raksasa), tak ketinggalan sokok (hiasan dari telur atau bunga). Sokok basa terbuat dari bunga sedangkan sokok taluh dari telur. Sokok ini mirip pajangan dalam upacara umat Hindu Bali.
Sokok, berupa telur atau bunga yang ditusuk bambu dan dihiasi kertas warna menyala, itu diusung keliling kampung kemudian berakhir di masjid. Sampai di masjid ada pembacaan Al-Barzanji, riwayat kelahiran Muhammad. Setelah itu ada khotbah singkat. Terakhir, sokok-sokok itu dibagi pada anak-anak yang datang. Saat pembagian sokok bisa seperti saat pembagian apem Gerebegan Suro di Solo atau Yogyakarta.
Ogoh-ogoh saat Muludan sama persis dengan ogoh-ogoh yang diarak menjelang Nyepi, dalam tradisi Bali. Begitu pula dengan Sekaa (kelompok) Zikir yang melantunkan risalah kerasulan dengan cara makidung, yakni cara melantunkan doa-doa umat Hindu.
Sedangkan hadrah adalah kegiatan menyanyi dengan musik tradisional rebana. Para pemain hadrah menggunakan pakaian adat Bali, dari udeng (ikat kepala), kamen (sarung), dan baju adat. Nyanyian itu umumnya syair kisah tentang Muhammad.
Tak hanya dalam ritual atau ibadah. Pengaruh budaya Bali pun terlihat pada masih diterapkannya Subak, tidak hanya sebagai sebuah kelompok pengairan, tapi juga sebagai sebuah budaya. Sebagian besar warga Pegayaman bekerja sebagai petani padi, kopi, maupun cengkeh.
Sebagai anggota Subak, mereka juga melakukan upacara-upacara dalam urutan pertanian, terutama untuk padi. Mulai dari menanam sampai panen. Bedanya, tradisi ini dilakukan dengan cara mengaji di mushola-mushola dekat sumber mata air atau sawah. Tiap selesai panen, misalnya, petani Pegayaman melaksanakan tradisi Abda’u, syukuran dengan membuat sate gempol dari daging sapi serta membuat ketupat. Sebelum bersantap menikmati makanan ini, petani terlebih dulu membaca puji-pujian dalam Bahasa Arab.
Kuatnya akulturasi antara tradisi Bali ataupun Hindu dengan Islam di Pegayaman, kata Ketut, karena tiga identitas itu memang bisa saling melengkapi.
“Justru kami ini memberi warna buat Bali sehingga orang bisa melihat bahwa Bali pun berwarna-warni,” kata Nengah Panji Islam.
Menurut Ketut, ada nilai antar-agama yang satu sama lain bisa diterapkan tanpa harus saling meniadakan. Batasannya, menurut Ketut, adalah selama itu tidak menyentuh pada keyakinan. “Kalau hanya ritual kan tidak apa-apa,” tambahnya.
Karena itu pula, Ketut mengaku heran dengan kehendak sebagian orang yang memaksa menerapkan Syariat Islam di Indonesia. “Tidak ada aturan dalam Islam bahwa orang Islam harus hidup berdasarkan hukum Islam. Apalagi bagi umat lain. Beragama itu harus melihat konteks, tidak hanya teks,” katanya.
Islam, lanjutnya, sangat multitafsir tergantung pada aliran masing-masing. “Lha wong Syi’ah dan Sunni saja tidak bisa berdampingan dengan baik, bagaimana mungkin kita mau memaksa orang lain untuk mengikuti aturan Islam. Islam mana yang mau dipakai?” tanyanya.
Selain itu, tambahnya, Islam juga mengajarkan umatnya untuk menghormati tetangga, bukan hanya sesama umat Islam. “Karena itu kita harus hidup berdampingan dengan siapapun dan saling menghormati, tanpa harus melihat agamanya,” ujarnya. [b]
Pegayaman is the example how to get safety of religions relationsip.
islam is the best dapat diterima dimana saja oke
pada dasarnya tidak satupun agama yang mengajarkan kejelekan, yang membuat sebuah agama kelihatan kurang disukai adalah perilaku penganutnya, apakah sudah cukup toleran dan rendah hati, agama selain hindu dapat diterima di bali karena juga sikap penduduk bali yang penuh toleransi dan terbuka. mudah2an juga demikian dengan saudara2 kita di tempat lain.
assalamualaikum.iya saya sangat senang membaca tulisan ini tentang kampung islam pegayaman di bali.saya pernah tinggal di bali lebih kurang 8 th.dahulu saya tamatan smpn 9 denpasar th 1990.tamat sma 1 tp 45 denpasar th 1993.sekarang saya pulang kampung ke sumatera. hub saya di husniazwari@yahoo.co.id.wassalam
Semoga orang Desa Pegayaman bisa memberi contoh kepada Anggota DPR di Jakarta yang terhormat (katanya)..jangan suka memaksakan syariat Islam !emangnya negara ini milik Nenekmu !
feels like home…….itu yg terasa saat sy menyelami kehidupan pegayaman selama beberapa hari