Tersimpan kisah haru seorang wanita paruh baya bernama Luh Setiari (75) yang tinggal sebatang kara di Desa Padangkeling. Kehidupan Setiari yang sudah ditinggal lama oleh sang suami dan tak memiliki anak ini semakin terasa berat saat pihak panitia kegiatan “Ngejot” HMPS Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja mengunjungi rumahnya, pada Jumat (6/9).
Saat berkunjung, Setiari tampak duduk termenung di teras rumahnya sambil mengusap kaki yang sakit akibat terjatuh di halaman rumahnya. Setiari tidak memiliki pekerjaan, hari-harinya ia jalani hidup dalam keterbatasan ekonomi. Kartu jaminan sosial yang seharusnya menjadi secercah harapan pun tak dapat diperpanjang karena ia tak memiliki siapapun yang dapat membantunya mengurus administrasi.
“Saya sudah lama tinggal sendiri, untuk makan sehari-hari kadang-kadang dibantu oleh keponakan dan tetangga,” ucapnya.
Namun, senyuman tipis terukir di wajahnya saat panitia ngejot menghampirinya dengan membawa bingkisan sembako. Ia pun menyampaikan terima kasih atas bantuan yang diberikan.
“Terima kasih banyak dik, saya sangat bersyukur dengan adanya bantuan sembako ini,” ujar Setiari dengan suara lirih.
Kisah Nenek Setiari ini hanyalah satu dari sekian banyak kisah haru yang terungkap dalam kegiatan “Ngejot” yang telah dilaksanakan sebanyak dua kali. Kegiatan yang digagas oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini bertujuan untuk berbagi rezeki dengan masyarakat kurang mampu, khususnya para lansia.
Dukungan penuh dari Buleleng Social Community (BSC) dan Yayasan Bersama semakin memperkuat semangat para mahasiswa dalam menjalankan kegiatan sosial ini. Bantuan berupa sembako dan kebutuhan sehari-hari lainnya disalurkan dalam bentuk 10 paket sembako untuk 4 desa, yaitu Desa Petandakan, Desa Penglatan, Desa Padangkeling, dan Kelurahan Banyuning.
Ketua Panitia HUT HMPS Ilmu Komunikasi, Widya Yeni, mengungkapkan kegiatan ini tidak hanya sebagai bentuk perayaan hari jadi, tetapi juga sebagai wujud kepedulian mahasiswa terhadap sesama.
“Kami ingin berbagi dengan sesama, terutama mereka yang membutuhkan. Semoga bantuan ini dapat bermanfaat dan menginspirasi orang lain untuk ikut berpartisipasi,” ujarnya.
Dalam kunjungan lainnya di Desa Banyuning, tim HMPS juga menemui Nenek Made Sasih (80), seorang lansia yang sedang dalam kondisi sakit karena baru saja terjatuh. Kecelakaan tersebut menyebabkan lebam pada tangannya, sehingga ia tak lagi mampu menjalani aktivitas sehari-hari seperti biasa.
“Kami tinggal bersama keluarga, anak-anak saya yang bergantian mengurus saya,” ungkapnya dengan nada lemah saat ditemui oleh tim.
Sebelum terjatuh, Made Sasih bekerja sebagai penjahit tamas untuk keperluan banten. Dari hasil pekerjaannya, ia biasa mendapatkan penghasilan sekitar Rp150.000 seminggu. Namun, penghasilan tersebut harus dibagi untuk membayar tukang antar, membeli bahan, dan kebutuhan lainnya, sehingga sering kali hanya sedikit uang yang tersisa.
“Saya biasanya menjahit tamas untuk banten, tapi sekarang tidak bisa lagi karena jatuh ini,” tambahnya sambil menunjukkan tangan yang lebam.
Kini, setelah terjatuh, Made Sasih tidak bisa bekerja, dan penghasilan dari menjahit pun terhenti. Anak-anak Made Sasih bergantian merawatnya, tetapi kondisi ekonomi yang terbatas membuat hidupnya semakin sulit. Tim HMPS yang membawa bantuan sembako berharap dapat sedikit meringankan beban yang dirasakan Made Sasih dan keluarganya.
Dua kisah ini menggambarkan betapa kegiatan “Ngejot” tidak hanya menyentuh hati para penerima, tetapi juga memberikan pelajaran penting tentang kepedulian dan solidaritas terhadap sesama, terutama bagi mereka yang lanjut usia dan dalam kondisi yang memprihatinkan.