Baterai kendaraan motor listrik berbasis baterai dengan jenis swap. Foto oleh: Dewa Kresnanta
Baterai merupakan sumber energi yang memiliki masa pemakaian, sehingga dapat menjadi sampah ketika sudah tidak dipakai lagi. Baterai adalah salah satu jenis sampah yang memiliki kandungan B3 (bahan berbahaya dan beracun) di dalamnya, sehingga membutuhkan pengelolaan yang benar agar tidak menimbulkan dampak yang dapat membahayakan lingkungan dan kesehatan.
Data Dinas Lingkungan Hidup mengenai sampah yang masuk ke TPA belum menunjukkan jumlah sampah B3 maupun baterai secara spesifik. Namun, dapat terjadi potensi peningkatan sampah baterai dari tahun ke tahun, mengingat penggunaan baterai secara masif yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai juga berpotensi menimbulkan tumpukan sampah baterai baru jika baterai kendaraan listrik tidak kembali ke perusahaan atau lembaga yang mengelola.
Dilansir dari The Conversation, peningkatan produksi kendaraan listrik berisiko menambah volume sampah baterai litium kendaraan listrik. Contohnya baterai kendaraan listrik yang hanya menjamin garansi baterai kurang dari lima tahun, seperti sepeda motor listrik merk Gesits hanya menjamin garansi baterai selama 3 tahun, NIU selama 2 tahun, dan Viar selama setahun. Baterai litium memiliki kandungan logam seperti kobalt (Co), tembaga (Cu), nickel (Ni), dan timbal (Pb) yang berisiko mencemari lingkungan sekitar tempat pembuangan. Baterai tersebut juga terkenal rawan terbakar dan meledak.
Selain menimbulkan masalah lingkungan di sekitar area pembuangan, sampah baterai juga menimbulkan dampak bagi kesehatan. Secara spesifik, gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan dari sampah baterai antara lain menimbulkan kerusakan pada otak, sistem saraf ginjal, sistem reproduksi, paru, peredaran darah, kelainan kulit, kanker, dan iritasi.
Regulasi mengenai pengelolaan sampah spesifik diatur dalam Pasal 15 Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Pergub tersebut menyatakan bahwa:
- Setiap warga masyarakat berkewajiban melakukan pemilahan Sampah Spesifik yang mengandung B3 dan limbah B3 yang berasal dari kegiatan rumah tangga.
- Sampah Spesifik yang berasal dari kegiatan rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, terdiri atas: baterai bekas, lampu TL bekas, accu bekas, cartridge bekas, obat kadaluarsa, Kemasan terkontaminasi limbah B3, elektronik, dan sejenisnya.
- Sampah Spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikumpulkan pada TPS 3R dan selanjutnya diangkut ke TPS LB3 di tingkat Kabupaten/Kota.
- Pengangkutan dari TPS 3R ke TPS LB3 dilakukan oleh pengelola Sampah di tingkat Desa.
- Pemerintah Daerah wajib menyediakan TPS LB3 dan menyerahkan kepada pihak pengolah limbah B3 yang berizin.
- Pengelolaan Sampah Spesifik di TPS LB3, dan pengangkutan ke pengolah limbah B3 yang berizin, dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam pelaksanaannya, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan retribusi atas pelayanan Pengelolaan Sampah Spesifik. Sayangnya, realita yang ada tidak seindah yang tertulis di atas kertas. Direktur PPLH Bali, Catur Yudha menjelaskan bahwa sebenarnya Kementerian Lingkungan telah mendorong Dinas Lingkungan Hidup di seluruh kabupaten/kota untuk menyediakan drop box yang digunakan untuk menampung sampah baterai. Namun, drop box ini tidak kunjung disediakan oleh pemerintah. “Pemerintah masih aduh nggak punya dana kemarin, itu alasan klasik. Contoh kalau misalnya untuk pengadaan drop box selama ini mereka belum pernah melakukan penganggaran,” ungkap Catur ketika diwawancarai melalui Zoom pada Kamis, 5 September 2024.
PPLH Bali bersama dengan WRI Indonesia pada bulan April hingga Juni 2022 melakukan riset sampah baterai kendaraan listrik dan B3 rumah tangga lainnya dengan studi kasus di Desa Adat Kerobokan dan Desa Peliatan, sampah baterai di dua daerah tersebut belum terkelola secara maksimal. Kasus ini bukan hanya terjadi pada baterai kendaraan listrik, tetapi juga baterai-baterai primer, seperti baterai remote maupun jam.
Kondisi di masyarakat Desa Adat Kerobokan (49%) maupun Desa Peliatan (16%) masih membuang sampah baterai mereka ke TPA, dibawa oleh petugas angkut (20% masyarakat Desa Adat Kerobokan dan 37% masyarakat Desa Peliatan), maupun disimpan saja tanpa dikelola (5% masyarakat Desa Adat Kerobokan dan 14% masyarakat Desa Peliatan).
Kasus di atas menunjukkan bahwa pengelolaan limbah baterai di Bali masih belum dilaksanakan secara maksimal. Padahal semakin banyak tumpukan sampah B3, semakin besar risiko terjadinya gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan, terutama ketika sampah B3 dibakar sembarangan dan dibuang secara langsung ke lingkungan.
Untuk mencegah terjadinya kerusakan pada lingkungan dan gangguan kesehatan yang dapat disebabkan oleh sampah baterai, masyarakat dapat memulai dari hal yang sederhana, yaitu melakukan pemilahan. “Masyarakat pilah saja apa pun itu yang terjadi pilah, kemudian serahkan bisa di bank sampahnya. Bank sampahnya nanti mungkin bisa diserahkan ke TPS 3R-nya,” ujar Catur.
Pengelolaan sampah baterai sebenarnya memerlukan tanggung jawab pemerintah dalam menjembatani masyarakat dengan pengelola atau jasa pengangkutan limbah B3. Bukan hanya melalui regulasi, tetapi pemerintah perlu melakukan realisasi, sehingga tidak menimbulkan tumpukan sampah B3 yang dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan.