Teks dan Foto Anton Muhajir
Karena tumpang tindih peraturan, penghuni Lapas Anak kehilangan haknya mendapat pendidikan.
Delapan anak berusia belasan tahun mengelilingi meja biliar berkarpet merah di depan sel-sel Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Gianyar di Karangasem, Kamis pekan lalu. Saat itu pukul 11.30 Wita, waktu di mana seharusnya anak-anak seusia mereka sedang belajar di sekolah. Namun, delapan penghuni Lapas Anak tersebut justru bermain biliar siang itu.
Kadek Merta (nama samara), 16 tahun, adalah satu di antara anak-anak tersebut. Siang itu dia hanya melihat temannya bermain biliar. “Kami tidak pernah belajar seperti di sekolah selama di sini,” kata Kadek, remaja dari Desa Selat Duda, Kecamatan Selat, Karangasem tersebut.
Menurut Kadek, sejak dia masuk Lapas Anak pada November 2009 lalu, tidak pernah ada pendidikan formal untuk penghuni Lapas yang umurnya semua di bawah 21 tahun tersebut. Kegiatan sehari-hari mereka hanya apel, bersih-bersih, dan bermain. Itu pun dengan sarana yang terbatas dan rusak. Meja biliar yang mereka gunakan untuk bermain siang itu, misalnya, kondisinya sudah rusak.
Tidak adanya pendidikan formal itu dibenarkan pula para penghuni. “Padahal kami juga ingin belajar yang lain,” kata Arya, nama samaran juga, penghuni lainnya. Remaja asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini menambahkan, sejak dia masuk Lapas Anak empat tahun lalu, dia juga tak pernah mendapat pendidikan formal. Kalau toh ada hanya kegiatan pelatihan singkat tentang keterampilan tertentu seperti cara perawatan di salon.
Tidak adanya pendidikan formal bagi penghuni Lapas Anak di Karangasem ini menjadi bahan diskusi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bali dan Tim Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (TP2TP2) yang berkunjung ke Lapas Anak Karangasem Kamis pekan lalu.
Menurut Ketua KPAI Bali Sri Mahyuni, penghuni Lapas Anak tersebut berhak mendapatkan pendidikan meskipun mereka sedang menjalani hukuman penjara. Sebab, lanjut Mahyuni, pendidikan merupakan hak dasar bagi seorang anak.
Di umurnya yang masih masuk kategori anak-anak, Kadek dan Arya, seharusnya belajar di sekolah. Setidaknya demikian kalau mengacu pada Undang-undang (UU) no 32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 9 UU ini menyatakan setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai dengan minat dan bakatnya. Pasal 48 UU ini menyatakan pendidikan tersebut harusnya diselenggarakan oleh pemerintah.
Namun, UU Perlindungan Anak itu seperti tak berlaku bagi Kadek dan 15 temannya di Lapas Anak Karangasem. Mereka tidak memperoleh hak pendidikan tersebut. Lapas, sebagai wakil negara, yang seharusnya menjamin hak pendidikan anak pun tak menyediakannya.
Kepala Lapas Anak di Karangasem Sjamsul Rizal membenarkan bahwa Lapas tersebut memang tidak memberikan pendidikan formal seperti halnya di sekolah. “Kami sebenarnya ingin, tapi peraturannya tidak memungkinkan,” kata Sjamsul.
Menurut Sjamsul, sebagai Kalapas Anak dia ingin menyelenggarakan pendidikan formal seperti Paket Kejar A. Tapi keinginan tersebut terbentur aturan Dinas Pendidikan setempat yang hanya mau menyelenggarakan kelas belajar untuk minimal 20 anak. Sementara penghuni Lapas Anak tak pernah sampai 20 orang.
Karena itu Mahyuni minta agar Lapas Anak segera melaksanakan program pendidikan Kejar Paket B atau C untuk anak-anak setingkat SMP dan SMA di Lapas tersebut. “Mereka harus mendapatkan pendidikan formal, agar bisa punya ijazah untuk melanjutkan sekolah nantinya,” ujar Sri.
Selain menyoroti tidak adanya pendidikan formal untuk penghuni Lapas Anak di Karangasem, KPAI juga menyoroti masih adanya tahanan anak di Lapas Kerobokan. Sedikitnya 11 anak-anak juga ditahan di Lapas Kelas IA Denpasar khusus untuk orang dewasa di Kabupaten Badung. “Seharusnya Lapas Kerobokan tak boleh menerima tahanan titipan anak, apalagi jika tempat penahanan dicampur,” ujar Luh Putu Anggreni, Wakil Ketua KPAI Bali.
Menurut Anggreni pihaknya sudah minta Kepala Lapas Kerobokan memindahkan tahanan anak ke lokasi Lapas Anak. Namun, permintaan ini dinilai cukup sulit karena mereka harus mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Denpasar. Jarak Denpasar-Amlapura, Karangasem sekitar 70 kilometer dinilai jauh jika harus antar jemput tahanan anak.
Sebagian besar remaja yang ditahan di Lapas Anak saat ini merasa masa depannya sudah habis. Jika dibuat resume, hampir semua narapidana anak ini melakukan tindakan pidana ringan yang semestinya tak mendapat hukuman bertahun-tahun. Bahkan, empat di antaranya berstatus anak negara, karena dianggap sudah tidak punya wali atau diserahkan orang tuanya pada negara. Mereka harus menghabiskan hukuman sampai berusia 18, usia maksimum kategori anak di Lapas Anak ini.
“Masa depan saya sudah habis. Putus sekolah dan tidak punya ijazah. Kalaupun dapat sekolah di Lapas, stempelnya adalah siswa narapidana. Kami tak punya harapan,” ujar Roni, sebut saja demikian, napi anak lainnya. [b]
Jika kepala Lapas Anak Karangasem serius memberi pendidikan formal untuk “anak-anak”nya, tolong hubungi saya.
Secara prinsip, kami mau mencerdaskan anak bangsa dengan biaya terjangkau. Sekalipun peserta berjumlah kurang dari 20 orang, mari kita duduk bersama untuk mencari solusi (dan mungkin donatur).
Saat ini saya sedang mempersiapkan program homeschooling untuk anak miskin di Bali. Rencana 1100 anak miskin seantero Bali secara bertahap akan memilih program homeschooling untuk melengkapi pendidkan formalnya.
Mercy Sihombing
0817 004 6767