
Sebagai daerah yang perekonomiannya sangat bergantung pada sektor pariwisata, Provinsi Bali tidak luput dari dampak berantai Pandemi COVID-19. Dampak pandemi pada saat itu mengakibatkan lumpuhnya aktivitas pariwisata. Setelah pandemi berakhir, Bali beranjak bangkit.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, jumlah wisatawan mancanegara yang pada tahun 2020 mengalami pertumbuhan minus (-83%) hingga hanya 51 wisatawan pada tahun 2021, kembali ke kondisi normal di tahun berikutnya, bahkan pada 2024, jumlah wisatawan mancanegara menjadi terbanyak sepanjang sejarah kepariwisataan Bali sejak 1969, yaitu sekitar 6,3 juta jiwa. Hal ini tidak lepas dari fenomena revenge tourism, yaitu keinginan untuk “balas dendam” berwisata setelah lama tidak melakukannya akibat pembatasan selama pandemi (Sudjana dkk, 2021).
Kondisi demikian membuat Bali cukup cepat kembali dari keterpurukannya, namun ternyata memunculkan permasalahan baru, yakni overtourism. Overtourism adalah kondisi daya tampung sebuah destinasi atau tempat wisata yang sudah tidak dapat mengakomodasi jumlah wisatawan yang berkunjung ke tempat tersebut. Dampaknya, terjadi kemacetan, masifnya pembangunan akomodasi, meningkatnya tindak kriminal, tidak sehatnya persaingan kerja di sektor pariwisata, terganggunya kehidupan masyarakat lokal, dan kerusakan lingkungan.
Meningkatnya kunjungan wisata juga dapat meningkatkan kerentanan suatu wilayah terhadap bencana, bahkan, kerap terlihat pembangunan fasilitas pariwisata yang berada di kawasan rawan bencana. Hal tersebut tentunya tidak sejalan dengan tujuan sapta pesona pariwisata di Indonesia, yakni menciptakan keamanan dan kenyamanan saat berwisata.
Pariwisata Regeneratif di Bali
Ada beberapa intervensi yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengurangi terjadinya overtourism ini di Bali. Salah satunya adalah dengan menciptakan daya tarik wisata baru di Bali bagian utara agar wisatawan tidak membludak di Bali bagian selatan. Beberapa model pariwisata alternatif juga diterapkan, seperti ekowisata, geowisata hingga pariwisata regeneratif (regenerative tourism), di antaranya wisata sejarah di Kota Denpasar; Samsara Living Museum, Karangasem; The Fire Flies Garden, Desa Wisata Taro, Gianyar; Tour de Les, Desa Wisata Les; dan Geopark Batur, Kintamani, Bangli.
Model pariwisata alternatif tersebut sebagian konsepnya berpijak dari nilai kearifan lokal Bali, Tri Hita Karana. Tri Hita Karana sendiri merupakan filosofi hidup masyarakat Bali dalam mencapai tujuan hidup yang bahagia dan harmonis, yang terdiri dari tiga hal, yakni hubungan manusia dengan alam (Palemahan), hubungan manusia dengan manusia (Pawongan), dan hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan). Inilah mengapa Tri Hita Karana menjadi nilai yang ingin diadopsi dalam pelaksanaan pariwisata Bali yang selaras dengan nilai luhurnya.
Akhir-akhir ini, konsep pariwisata regeneratif mulai dibicarakan dan dikembangkan, beranjak dari konsep pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism), wisata berbasis komunitas (community based tourism), atau pariwisata yang bertanggung jawab (responsible tourism). Model ini memandang pariwisata bukan sebagai mesin penumbuh perekonomian yang mementingkan jumlah pengunjung yang datang, melainkan sebagai alat yang mengupayakan adanya penciptaan nilai-nilai dan arah pengembangan ekosistem yang memberi manfaat kepada seluruh sistem tanpa merugikan pihak tertentu. Prinsipnya adalah kembali ke kearifan lokal, serta lebih memprioritaskan pengembangan komunitas lokal dan tempatnya dibandingkan kepuasan pengunjung. D i Indonesia sendiri model pariwisata ini masih sangat jarang, namun semakin relevan pada era pasca pandemi COVID-19, ketika dunia pariwisata mulai menggeser fokusnya dari pertumbuhan jumlah (mass tourism) menjadi wisata berkualitas dan berkelanjutan sebagaimana yang dianjurkan oleh UNWTO (World Tourism Organization).
Dalam konteks perkembangan pariwisata di Bali saat ini, model pariwisata regeneratif dapat berperan penting untuk menangkal pariwisata massal. Pengembangan regenerative tourism telah diinisiasi di kawasan UNESCO Global Geopark Batur dalam skala kecil, salah satunya melalui kegiatan geowisata. Hal ini sejalan dengan pemaknaan dan konsep pengembangan geopark di dunia, yakni menghubungkan kembali ikatan antara manusia dan alamnya melalui wisata berbasis konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat (Oktariadi dan Andiani, 2021).
Sejarah Letusan Gunungapi Batur
Geopark Batur atau Kawasan Gunung Batur berada di Bali bagian utara, tepatnya di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Di dalam kawasan Geopark Batur terdapat Gunung Batur yang tumbuh di tengah kaldera. Gunung ini berketinggian 1.717 meter di atas permukaan laut dan memiliki tiga kawah utama. Gunung Batur termasuk dalam 129 gunungapi aktif di Indonesia, yang tercatat dalam sejarah manusia sudah meletus kurang lebih 21 kali, dengan letusan terakhir terjadi pada tahun 2000 (Gambar 1).

Gambar 1. Jejak letusan Gunungapi Batur berupa hamparan bebatuan lava berwarna hitam dan kerucut Gunungapi Batur.
Secara geologi, Gunung Batur berada di tengah-tengah kaldera purba dan memiliki sejarah yang cukup menarik. Gunung Batur terbentuk pertama kali 100.000 tahun yang lalu dari gunungapi kepulauan yang batuannya berkomposisi mineral basalt, yaitu mineral yang menandakan terbentuk dari pendinginan lava di permukaan bumi.
Gunungapi kepulauan tersebut lambat laun membangun tubuhnya hingga mencapai titik maksimum yang ditandai dengan dua kali letusan dahsyat, membentuk dua rangkaian gunungapi kaldera. Kaldera-1 Batur terbentuk 29.300 tahun yang lalu, kaldera-2 terbentuk 21.300 tahun yang lalu, dan Gunung Batur muda yang terlihat saat ini terbentuk 5000 tahun yang lalu. Rangkaian aktivitas gunungapi tersebut telah membentuk tatanan bentang alam vulkanik dan Danau Batur yang indah yang dapat dinikmati saat ini. Aktivitas Gunungapi Batur muda setidaknya telah menghasilkan belantara bebatuan lava.
Jejak aliran lava yang saat ini masih dapat terlihat adalah Lava Songan, Lava 1849, Lava 1888, Lava 1904, Lava 1905, Lava 1926, Lava 1963, Lava 1968, Lava 1974, dan beberapa rangkaian aliran lava yang belum teridentifikasi umurnya (Sutawidjaja dkk, 1992 & Sutawidjaja, 2009). Sebagian masyarakat dan wisatawan menamai rangkaian aliran lava ini, terutama di bagian barat daya dan selatan dari Gunung Batur, sebagai Black Lava (yang berarti lava hitam) (Agastya dkk, 2023).
Dari sekian kejadian letusan Gunung Batur, letusan yang sangat berkesan dan mewariskan jejak pengetahuan akan pentingnya mitigasi bencana terjadi pada 1926. Rangkaian letusan Gunung Batur pada tahun tersebut menyebabkan aliran lava menerjang ke arah Desa Batur Kuno yang berada tepat di sebelah barat daya kaki Gunung Batur. Jero Penyarikan Duuran Batur, I Ketut Eriadi Ariana, bercerita bahwa pada tahun tersebut seluruh penduduk Desa Batur Kuno yang berjumlah sekitar 200 orang menyelamatkan diri beserta beberapa pratima atau artefak suci dan seperangkat gong atau gambelan dari Pura Ulun Danu Batur.
Masyarakat mengungsi ke beberapa desa berdekatan yang dianggap aman, salah satunya ke Desa Bayung Gede. Masyarakat mengetahui bahwa aliran lava tersebut bergerak lambat dan keputusan yang diambil oleh tetua adat pada saat itu tepat dengan mengajak masyarakatnya untuk mengungsi ke atas kawasan kaldera yang diperkirakan tidak terkena terjangan aliran lava.
Setelah kejadian letusan 1926, masyarakat Desa Batur melalui rekomendasi Belanda dan kerajaan Bangli memutuskan untuk menempati kawasan baru yang disebut sebagai daerah Kalanganyar atau Desa Batur saat ini yang berada di sebelah barat daya Kaldera Batur. Desa ini merupakan bagian dari kawasan Desa Kintamani dan Desa Bayung Gede, dan karena hubungan kekerabatan antar desa yang erat, relokasi tersebut dimungkinkan.
Keberadaan Desa Batur Kuno di bawah kaki Gunung Batur kini hanya menyisakan hamparan bebatuan lava berwarna hitam, yang mungkin tertimbun puluhan meter di bawah aliran lava 1926, 1963 dan 1968. Desa Batur mengadakan upacara untuk menyusuri jalur evakuasi 1926 sebagai rangkaian ritual keagamaan setiap setahun sekali. Namun, perlahan cerita tersebut sunyi dan terdengar hanya di antara beberapa kisah yang diceritakan oleh masyarakat maupun pemandu wisata, padahal sebaiknya kita tidak melupakan ancaman bencana yang ada, seperti letusan gunungapi, gerakan tanah, banjir hingga kebakaran hutan dan lahan akibat perubahan iklim maupun meningkatnya kerentanan akibat pariwisata yang tidak bertanggung jawab.
Pengembangan Inovasi Model Pariwisata Regeneratif: Geowisata Kebencanaan di Gunung Batur
Pariwisata regeneratif merupakan pendekatan pariwisata yang memberikan nilai tambah dan berdampak positif pada lingkungan, budaya dan manusia yang tinggal di tempat wisata tersebut. Pendekatan ini dikatakan juga sebagai pendekatan lebih lanjut dari pariwisata berkelanjutan (Dredge, 2022; Duxbury dkk., 2021). Untuk mengingatkan kembali akan bencana masa lalu dan upaya mitigasi bencana berbasis kearifan lokal yang terdapat di Kintamani atau kawasan Geopark Batur, maka mengawinkan pengurangan risiko bencana dengan kegiatan wisata menjadi pendekatan yang menarik.
Model pariwisata regeneratif dapat menawarkan nilai-nilai terkait pengurangan risiko bencana dan pengetahuan mengenai kiat-kiat pengurangan risiko bencana di Kintamani berdasarkan ilmu geologi maupun kearifan lokal yang masih ada hingga saat ini. Pariwisata regeneratif akan lebih kaya dengan unsur regenerative memory yang merawat nilai dan arah pengembangan ekosistem setelah melalui suatu disrupsi kolektif.
Salah satu kegiatan yang menggunakan pendekatan pariwisata regeneratif telah diinisiasi oleh salah satu tour operator, yakni Geotour Batur, yang bekerja sama dengan Museum Geopark Batur dan Kyoto University, Jepang. Kegiatan ini telah berlangsung dua kali, melibatkan kurang lebih 30 wisatawan domestik dari berbagai latar belakang, seperti akademisi, mahasiswa, jurnalis, pencinta alam, dan pekerja pariwisata. Kedua kegiatan selalu diawali dengan safety briefing dan pengenalan kegiatan geowisata, yang dilanjutkan dengan materi seputar pengenalan sejarah letusan dan karakteristik bahaya Gunungapi Batur, cerita di balik keberhasilan upaya respon bencana pada masyarakat Desa Batur di tahun 1926, hingga pembekalan mengenai pengurangan risiko bencana.
Seri pertama diadakan pada 28 Agustus 2024 di kawasan Geosite Lava 1926 “Black Lava”, bertemakan “Jejak Letusan Gunungapi Batur dan Peradaban Desa Batur”. Dalam seri ini, peserta mengunjungi kawasan belantara lava dan melacak jejak Desa Batur Kuno sembari belajar tentang batuan dan fenomena geologi yang ada. Di akhir kegiatan, peserta melakukan kegiatan refleksi terkait pengurangan risiko bencana dan pembelajaran dari kegiatan wisata yang diperoleh.
Seri kedua bertempat di Museum Gunungapi Batur, Penelokan, Kintamani, pada 14 September 2024, dengan tema “Menjelajah Lorong Waktu Gunung Api Batur dan Dilema-Dilema dalam Situasi Bencana”. Kali ini, peserta diajak berkeliling Museum Gunungapi Batur untuk mengenal fenomena geologi dan proses terbentuknya bumi hingga sejarah letusan Gunungapi Batur. Setelah itu, peserta mengunjungi pos pengamatan milik Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Gunungapi Batur. Di sana, peserta dapat melihat alat dan proses pemantauan gunungapi aktif oleh pengamat gunungapi. Setelah selesai berkeliling museum, peserta mengikuti workshop permainan yang bernama Crossroad Game untuk kesiapsiagaan bencana.
Permainan ini mengajak peserta membayangkan dilema-dilema yang mungkin dihadapi ketika berada di situasi darurat, sebagai wisatawan yang sedang berkunjung di Kawasan Geopark Batur. Dilema yang muncul ketika terjadi situasi bencana salah satunya adalah tindakan yang akan dilakukan wisatawan untuk merespon informasi sebuah kejadian bencana ketika berada di lingkungan yang asing. Dari permainan tersebut ditemukan perspektif yang sangat menarik dan beragam yang dapat bermanfaat bagi pengembangan pariwisata yang aman bencana. Pengetahuan tentang karakteristik bencana hingga kearifan lokal terkait mitigasi bencana yang ada di suatu tempat dapat menjadi bahan dan nilai yang dapat diceritakan dalam aspek informasi kepemanduan di suatu objek wisata yang memiliki risiko bencana di dalamnya.

Gambar 2. Seri kedua bertempat di Museum Gunungapi Batur, Penelokan, Kintamani, pada 14 September 2024, dengan tema “Menjelajah Lorong Waktu Gunung Api Batur dan Dilema-Dilema dalam Situasi Bencana”.
Pada akhirnya, dari dua kegiatan tersebut wisatawan menemukan pandangan dan perspektif baru tentang wisata di kawasan Kintamani yang memiliki keindahan luar biasa, namun sekaligus menyimpan banyak cerita sejarah, baik itu budaya maupun fenomena bencana di masa lalu untuk kesiapsiagaan di masa depan yang perlu ditelusuri lebih jauh.
—
Model pariwisata ini sangat menjanjikan untuk dikembangkan di Kawasan Kintamani sebagai wisata alternatif bagi wisatawan yang ingin menemukan makna baru di setiap perjalanannya, tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi masyarakat yang ada di Kintamani. Kendala yang dihadapi pengembangan wisata regeneratif ini adalah adanya gap pengetahuan lokal yang membuat tidak semua masyarakat, terutama generasi muda, mengenal kearifan lokal yang dimilikinya. Selain itu, segmen pariwisata ini masih terbatas, karena masih bersaing dengan pariwisata konvensional yang praktis untuk dilakukan dan mendatangkan banyak wisatawan. Meskipun menguntungkan secara materiil, dalam jangka panjang pariwisata konvensional berisiko merusak lingkungan, memudarkan nilai-nilai kearifan lokal, dan pada akhirnya merugikan masyarakat setempat. Pengembangan model pariwisata regeneratif sangat berpotensi untuk dikembangkan di berbagai tempat di Bali yang memiliki nilai dan keunikan ceritanya masing-masing. Upaya ini perlu dilakukan secara kolektif. Semakin banyak yang mencoba menemukan kembali nilai kearifan setempat sebagai basis pengembangan model pariwisata yang lebih mendidik namun tetap menarik, semakin memungkinkan untuk model tersebut sebagai tren baru di masyarakat. Maka, mari bersama-sama menciptakan kegiatan wisata yang mengedepankan nilai sebagai wajah baru wisata untuk Bali yang lebih berkelanjutan.
Penulis :
Oka Agastya (Batur UNESCO Global Geopark)
Risye Dwiyani (Phd Student Disaster Risk Communication Kyoto University)
Hanif Sulaeman (Secretary General U-INSPIRE Allience)
Sumber:
Dredge, D. (2022). Regenerative tourism: transforming mindsets, systems and practices. Jour-nal of Tourism Futures, 8(3), 269-281.
Duxbury, N., Bakas, F. E., Vinagre de Castro, T., & Silva, S. (2021). Creative Tourism Devel-opment Models towards Sustainable and Regenerative Tourism. Sustainability, 13(1), 2.https://doi.org/10.3390/su13010002
I.B.O. Agastya, E.T. Paripurno, B. Prastistho, et al., Model media learning for disaster risk reduction in the Batur UNESCO global Geopark, International Journal of Geoheritage and Parks (2023), https://doi.org/10.1016/j.ijgeop.2024.04.005
Oktariadi, O., & Andiani. (2021). Geotourism Sustainable Tourism Model.
Sudjana, A.A., Aini, S.N., Nizar H.K. 2021. Revenge Tourism: Analisis Minat Wisatawan Pasca Pandemi Covid-19. Pringgitan, Volume 02 No. 01 Maret 2021:1-10. DOI: http://dx.doi.org/10.47256/prg.v2i1.119
Sutawidjaja, I. S. (2009). Ignimbrite Analyses of Batur Caldera, Bali, based on 14 C Dating. In manuscript accepted by the Indonesian Geological Journal (Vol. 4, Nomor 3).
Sutawidjaja, I. S., Chaniago, R., & Kamal, S. (1992). Geological Map of Caldera Batur. Geological Agency of Indonesia.https://www.thetourismspace.com/blog/opportunities-challenges-regenerative-tourism