Oleh I Nyoman Winata
Sekitar dua bulan lalu, Bali dihebohkan banyaknya korban tewas akibat minum minuman beralkohol. Korban tewas mencapai belasan orang berjatuhan, puluhan lainnya masih dalam perawatan. Mereka adalah orang-orang yang menenggak minuman keras (miras) oplosan.
Entah kebetulan atau memang sudah menjadi takdir dari Yang Maha Kuasa, yang jelas kasus serupa terjadi beruntun di sejumlah kota lain di Indonesia. Misalnya saja di Kota Semarang dan Kota Tegal Jawa Tengah. Banyak korban tewas setelah menenggak miras oplosan.
Sebenarnya Miras dalam masyarakat Bali merupakan bagian dari tradisi yang sudah menyatu cukup lama. Bahkan miras seperti Arak dan Berem termasuk Tuak wajib ada dalam setiap ritual agama Hindu meski jumlahnya tidak banyak. Arak misalnya juga menjadi salah satu aba-abaan, semacam oleh-oleh dari warga yang dibawa kerumah warga lain yang sedang melaksanakan ritual upacara agama selain beras dan dupa.
Tetapi jelas, bahwa miras arak disini sama sekali tidak dimaksudkan untuk diminum melainkan dipergunakan untuk tetabuhan (persembahan kepada Bhuta Kala).
Hanya saja sejak dahulu tradisi minum miras ditengah kehidupan masyrakat Bali memang sudah ada. Misalnya saja istilah metuakan yang merujuk pada aktivitas minum tuak di sudut-sudut atau warung-warung tuak di desa.
Di masa lalu, tradisi metuakan jelas hanya boleh dilakukan oleh mereka-mereka yang sudah dewasa. Jangan harap anak kecil atau remaja boleh meminum tuak di areal publik dengan ikut metuakan. Pastilah orang-orang tua akan dengan tegas menolak mereka dan melarang keras jika berani-beraninya ikut metuakan.
Selain itu minuman keras dimasa lalu juga jenisnya terbatas dan bahannya mungkin hanya sekedar memabukkan tidak sampai membunuh seketika.
Lalu, entah mulai kapan, akhirnya aktivitas minum minuman keras di Bali menjadi demikian masif nya. Banyak anak-anak dan remaja yang sudah mengenal dan menjadi peminum (istilah bagi mereka yang suka menenggak miras) aktif. Yang paling membuat kita tidak habis pikir adalah aktivitas minum minuman keras para remaja generasi muda ini bisa dilakukan diareal publik tanpa ada siapapun yang bisa melarang apalagi menghentikannya.
Lalu kebiasaan remaja-remaja Bali menenggak Miras menjadi sebuah kewajaran yang diterima begitu saja oleh masyarakat Bali. Tidak ada lagi orang tua yang bisa melarang tegas anaknya yang ramairami minum arak di pinggir jalan. Kalaupun melarang dan marah-marah, si anak tidak begitu menggubris, lalu mereka tetap saja larut didalam aktivitas minum miras, bahkan bisa hampir setiap malam.
Mungkin pelaksanaan bazzar di Banjar-banjar yang digelar untuk penggalian dana bisa diajukan sebagai salah satu pemicu masifnya aktivitas minum miras di Bali. Bazzar-bazzar inilah yang juga meruntuhkan tembok ketat yang menabukan minum miras bagi generasi muda. Bazzar disini adalah yang dilaksanakan di era 90 an, karena sebelum itu bazzar masih berjalan baik dan mengincar untung hanya dari makanan dan minuman biasa, tanpa melibatkan penjualan Miras terutama jenis Bir.
Di era 90 an, Bazzar sebagai event yang disetujui dan digelar Banjar memang memposisikan semua tetua sebagai “penjaga” moral di Banjar tersebut menjadi sangat lemah. Keterdesakan untuk mendatangkan dana/untung sebesar-besarnya menenggelamkan nilai-nilai ideal yang selama ini dipegang teguh masyarakat. Termasuk bagaimana generasi muda (truna-truna) di Banjar tersebut terlindungi dari aktivitas minum miras.
Dalam setiap bazzar, keuntungan terbesar hanya diperoleh dari menjual berkrat-krat bir. Semakin banyak krat-krat bir yang bisa dijual, semakin banyaklah untung yang diraup pihak Banjar. Atas nama meraup keuntungan inipula, teruna-teruna Banjar disajikan setiap malam tamu-tamu yang mabuk-mabukan karena menenggak banyak sekali bir. Bahkan tidak jarang ada teruna-teruna di Banjar itu yang ikut Mabuk karena diajak oleh para tamu.
Tidak ada yang berani melarang atau protes termasuk para tetua Banjar sanga penjaga nilai-nilai moral. Lalu tertanamlah dibenak teruna-teruna di Banjar itu bahwa Mabuk karena miras bukanlah sesuatu yang dilarang lagi. Runtuhlah kemudian nilai moral yang menyebut bahwa minum miras sampai mabuk adalah sesuatu yang tidak baik digantikan nilai baru yakni “mabuk-mabukan itu boleh-boleh saja”.
Dalam perjalannya kemudian, kontaminasi budaya menenggak miras berjalan dengan sangat cepat ke generasi yang jauh lebih muda. Orang tuapun seakan-akan tak berdaya karena institusi Adat setingkat Banjar bahkan desa Adat tidak mampu berbuat banyak. Kedua institusi yang sebelumnya begitu ketat mengatur dan menjaga nilai-nilai moral menjadi demikian permisif, lemah dan tak berdaya.
Namun sebagai sebuah institusi kondisi ini sebenarnya kuncinya terletak pada persoalan pergeseran budaya dan pemikiran di masyarakat Bali sendiri. Disinilah peranan uang dan materi demikian kuatnya menjadi kendali. Sederhananya begini; Orang Bali kini lebih merasa nyaman ketika mengenakan baju yang mewah, tinggal dirumah megah, memiliki Balai banjar yang megah dan Pura tempat bersembahyang yang megah pula meski semua itu dibangun diatas akar moralitas yang rapuh.
Semakin lama budaya yang dikendalikan uang ini semakin kuat dan disadari atau tidak semakin meruntuhkan nilai-nilai moral yang ideal.
Kembali ke soal menenggak minuman keras, Kondisi generasi muda di Bali sebenarnya jauh lebih memprihatinkan di bandingkan di kota besar yang saya ketahui. Disemarang misalnya, mencari warung penjual minuman Bir misalnya tidaklah mudah. Mungkin hanya toko/warung tertentu saja. Demikian juga aktivitas generasi muda yang menenggak miras tidak terlalu masif seperti di Denpasar Bali. Atau mungkin saja ada, tetapi karena saya belum begitu mengenal daerah-daerah di kota Semarang ini jadinya saya tidak bisa melihat dengan jelas.
Persoalannya yang penting kini adalah, siapakah yang bisa menghentikan pergeseran nilai budaya ini??? Pemerintah?? Sangat tidak mungkin karena mereka terlalu asyik dengan mainan kekuasaan nya.
Kalaupun mau, masyarakat lah yang harus lebih cepat merubah dirinya, melakukan revolusi mental budaya. Berani dengan tegas berdiri diatas nilai moral dan mengesampingkan keutamaan materi dan kenikmatan duniawi yang mencerabut akar jati diri mereka. Apakah mungkin? Tidak ada yang bisa menjawab pasti.
Seandai nya orang Bali semua berpikiran seperti pak nyoman winata, mungkin yang selama ini di dengung2kan oleh koprasi krama bali dengan “Ajeg Bali” nya bisa cepat terlaksana. Karena secara teori memang bisa bisa terlaksana namun kalau dengan masayrakatnya (terutama generasi muda) masih sibuk dengan aksi masif seperti itu, sepertinya Ajeg Bali hanya tinggal menjadi kenangan. 😆
Saya sendiri yang bukan orang asli Bali tapi kalau melihat fenomena seperti itu, menjadi miris sendiri bagaimana nantui Bali di masa datang. Karena Bali merupakan Kampung kedua saya setelah kampung tempat kelahiran. Mungkin hidup saya akan lebih banyak tinggal di Bali dari pada di Jawa.
Sepertinya pola pikir generasi muda telah berubah mengenai MIRAS, sungguh ironis memang. Tuak arak apalagi BIR merupakan minuman yang wajar, sudah sepatutnya ini di pikirkan oleh para wakil rakyat kita yang telah kita pilih bulan kemarin. terima kasih
Saya telah melihat fenomena ini sejak dulu sekali. Memang seperti tambah lama tambah tak karuan. Terkadang sudut-dusut desa yang dulu ramah, kini mulai menyesakkan mata untuk dipandang.
Suasana malam yang dulu tenang, kini selalu digetarkan oleh kencangnya bass entah dari pub yang mana. Bahkan suara malam di tengah persawahan yang dulu damai, kini seolah menjadi metropolitan yang tersamar.
Beberapa permasalahan di Bali kadang begitu kompleks, mungkin itulah yang agak mengganjal, saya sendiri terkadang menjadi begitu enggan untuk pulang ke Bali. Ah…, tapi di negeri ini hampir merata hal yang serupa. Mungkinkah ada sedikit sudut di bumi ini yang masih memiliki kesederhanaan sebagai ruang hidup 🙂
Sungguh fenomena yang sangat memprihatinkan. Akan seperti apa wajah umum generasi bali mendatang jika hari ini disetiap sudut bahkan pelosok desa generasi mudanya dengan nyaman duduk dikedai-kedai,warung-warung bahkan teras rumahnya menenggak miras. Bahkan ada yang minum bersama keluarga tak peduli sedang melakukan upacara atau ritual.
Telisiklah hal ini dari akar masalahnya.
Memang ditempat lain juga ada generasi-generasi yang akrab dengan miras. Tapi melihat isi artikel ini sudah bisa dipastikan, secara rata-rata diwilayah geografis negeri ini tidak separah di bali.
Secara umum orang berpandangan, bahwa kehadiran agama sebagai sumber nilai tertinggi. kalau hukum adat, banjar,dsb. itu hanya aturan-aturan buatan manusia yang selalu akan mengandung nilai subyektif dan relatif.
Jika demikian maka orang hindu bali mesti menengok keakar nilai lebih tinggi, maka itu berawal di pura dengan segala infrastruktur pendukungnya, baik itu pendeta atau pedanda sebagai orang yang paling ahli dalam agama hindu bali.
Petikan artikel diatas :
Sebenarnya Miras dalam masyarakat Bali merupakan bagian dari tradisi yang sudah menyatu cukup lama. Bahkan miras seperti Arak dan Berem termasuk Tuak wajib ada dalam setiap ritual agama Hindu meski jumlahnya tidak banyak. Arak misalnya juga menjadi salah satu aba-abaan, semacam oleh-oleh dari warga yang dibawa kerumah warga lain yang sedang melaksanakan ritual upacara agama selain beras dan dupa.
Tetapi jelas, bahwa miras arak disini sama sekali tidak dimaksudkan untuk diminum melainkan dipergunakan untuk tetabuhan (persembahan kepada Bhuta Kala).
Saodaraku, lihatlah ternyata disana ada mainstream akar masalah.
Di stupa teratas dari hierarki pelaksanaan agama hindu bali, ada miras sebagai salah satu komponen ritual hindu bali. Terlepas dari kuntitas miras yang dijadikan sesaji maupun untuk siapa sesaji miras itu dipersembahkan, ternyata miras adalah suatu yang vulgar dan ada.
Saodaraku, bukankah kalian mengatakan buta kala itu simbolisasi roh atau kekuatan jahat, tapi mengapa kalian memanjakannya dengan mempersembahkan padanya apa yang bisa merusak manusia? Bahkan menyuguhkannya pada sang buta kala ditempat paling suci menurut kalian.
Sementara sang buta kala, apalagi kalau bukan dia akan mengajak pengikut sebanyak-banyaknya sehingga generasi-demi generasi akan menjadi pecandu miras.
Mohon maaf..ini hanya analisa dari sudut pandang yang lain, semata-mata sekedar untuk memaanfaatkan anugerah hati dan akal.
Jika bisa diterima syukurlah jika tidak renungkanlah.
untuk kulkul
sulit menggambarkan apa yang berkembang saat ini di Bali menyangkut Miras. Persoalannya begitu kompleks. Menjadikan fenomena miras yang dipersembahkan kepada Bhuta kala yang merupakan roh jahat ditempat suci sebagai akar persoalan menurut saya tidak tepat. Tulisan saya yang menyinggung Miras sebagai persembahan hanya bermaksud menggambarkan bahwa masyarakat Bali sejak dulu memang sudah akrab dengan Miras dan sudah sangat bijak dalam memanfaatkannya.
Kebijaksaan Leluhur Bali dalam ranah spiritualitas menurut saya nyaris berada pada titik kesempurnaan. Anda bisa melihatnya dari fakta bagaimana wujud Rangda juga muncul sebagai sesuatu yang disucikan di pura-pura yang ada di Bali. Anda tidak bisa dengan serta merta berpikir bahwa orang Bali itu memuja kejahatan yang disimbolkan dalam wujud Rangda. Tetapi Leluhur Orang Bali menurut saya sangat memahami bahwa keseimbangan adalah segala-galanya. Kejahatan tidak harus kemudian dibenci, ditolak mentah-mentah. Melainkan kejahatan juga harus dipahami, dimengerti dan diakui bahwa ia akan selalu ada untuk membuat kita tetap waspada. Persembahan Miras kepada Bhuta Kala juga bukan memanjakan, tetapi wujud dari pengakuan bahwa ia akan selalu ada, walau sekuat apapun kita menolak dan menyingkirkannya. Mengajaknya berdamai dan bersama-sama menuju ke kesempurnaan yang paripurna, itulah maksudnya.
Ketika sebuah pemahaman bahwa yang jahat harus dibenci, dijauhi dan tak layak ada, maka sesungguhnya menurut saya itu adalah pemahaman yang jauh dari sempurna. Bukankah Siang dan Malam selalu dan pasti hadir untuk mewujudkan kesempurnaan?. Kebaikan dan kejahatan kedua-duanya selalu menjadi bagian penting dari jalan bagaimana kesempurnaan bisa diraih. Hanya melalui gelap kita bisa sampai pada terang.
Jadi… semua berpulang pada diri manusia untuk memahami. Pada tataran inilah orang Bali kini kehilangan kekuatannya. Pragmatisme dan budaya instant mengaburkan nilai-nilai kebijaksanaan leluhur orang Bali. Jati diri orang Bali yang menipis dan semakin kabur adalah akar persoalan utama. Jadi.. Ritualitas dengan sarananya justru bukan akar dalam masalah merebaknya Miras di Bali. Krisis jati diri inilah yang terjadi dan tidak hanya pada orang Bali tetapi disemua orang di wilayah Indonesia kini. kita tidak mengetahui persis siapa dan darimana kita sesungguhnya berasal. Lalu kitapun kemudian terjebak pada keyakinan dan kepercayaan yang sangat dangkal yakni dengan melihat segala sesuatu semata-mata hitam dan putih sebagai sebuah kebenaran yang sempurna.
bgus skli tulisanya,,cmn skrng saya btuh bntuanya,,,,kapan sih,,tradisi minum minumankeras ini dan perjudian masuk indonesia khususnya di sumatera barat,,karena saya sedang malukan penelitian ini,,,berkaitan dngn skripsi,,,,,
trimakasih,,,,,,,,,
Minum miras sekarang dianggap normal dan budaya jati diri di Bali. Lupa dengan ajaran Sapta Timira…. To be normal in insane world, better i become not normal….
Terimakasih buat Saudara Winata yang berkenan merespon pendapat saya pribadi dalam masalah miras ini.
Harus diakui jika krisis nilai di era globalisasi yang demikian massive dengan segala dampaknya baik positif maupun negatif bagaimanapun mempengaruhi pola hidup dan pola pikir manusia, termasuk genareasi mudanya. Jika terjadi krisis nilai atau krisis jati diri yang mengarah pada sisi negatif dari perilaku manusia tentunya merupakan suatu hal yang memprihatinkan.
Memang krisis nilai seperti itu tidak hanya terjadi di bali namun juga dibelahan lain negeri ini bahkan meliputi bagian lain di dunia ini. Hanya persentase nya saja yang berbeda.
Untuk dapat merespon dengan arif persoalan yang muncul(salah satunya adalah adanya konsumsi miras yang makin merebak di bali ini), maka seharusnya sebagai makhluk yang memiliki akal budi, dipahami bahwa miras berdampak negatif pada kesadaran dan ketinggian akal budi manusia.
Dalam sejarah peradaban manusia, diyakini bahwa benteng paling tangguh untuk mengontrol dan mengarahkan perilaku manusia agar senantiasa berada dalam level kesadaran moral yang baik adalah melalui institusi yang bernama agama. Tak ada nilai sebaik agama dalam mengatur pola hidup, pola pikir dan perilaku
manusia. Dari agama pula manusia dapat memahami arti dan tujuan hidup.
Manusia dapat mengakui bahwa kebenaran absolut ada pada Tuhan sebagai pencipta manusia dan segenap alam seisinya. Sistem nilai yang diberikan TUHAN tentunya adalah sistem nilai yang mengandung kebenaran untuk manusia.
Dan dalam tolok ukur agama, lawan kebenaran tentunya adalah hal-hal yang salah, keliru dan membawa pada kesesatan maupun kesengsaraan.
Disinilah fungsi agama, sebagai pemandu manusia untuk dapat mengetahui dirinya antara posisi salah atau benar. Manusia dapat mengidentifikasi posisinya melalui fasilitas akal budi yang diberikan padanya oleh TUHAN.
Agama tidak dapat berada pada posissi Grey Area, dia harus berperan pada posisi pemisah antara yang salah dan benar.
Jika manusia dapat mengidentifikasi kesalahan,kejahatan,kesesatan,kekeliruan, kejelekan itu berasal bukan dari TUHAN, berarti itu berasal dari sesuatu yang lain. Jika sesuatu kejahatan,keburukan itu ada maka itu berasal dari karakteristik manusia yang bersifat lemah terhadap godaan-godaan jahat itu sendiri, yang dimanfaatkan oleh kekuatan diluar dirinya yang kemudian membawanya pada posisi yang salah, katakanlah ini direpresentasikan oleh adanya sosok yang disebut bhuta kala(roh-roh jahat).
Ada baiknya saya tag sedikit pernyataan anda pada comment diatas :
Tetapi Leluhur Orang Bali menurut saya sangat memahami bahwa keseimbangan adalah segala-galanya. Kejahatan tidak harus kemudian dibenci, ditolak mentah-mentah. Melainkan kejahatan juga harus dipahami, dimengerti dan diakui bahwa ia akan selalu ada untuk membuat kita tetap waspada. Persembahan Miras kepada Bhuta Kala juga bukan memanjakan, tetapi wujud dari pengakuan bahwa ia akan selalu ada, walau sekuat apapun kita menolak dan menyingkirkannya. Mengajaknya berdamai dan bersama-sama menuju ke kesempurnaan yang paripurna, itulah maksudnya.
Dari paparan komentar yang anda sampaikan dapat disimpulkan Salah dan benar dapat di sinergikan dalam sebuah harmoni untuk menuju kesempurnaan.
Jika unsur kejahatan dalam bhuta kala diajak berdamai untuk sama-sama mencapai kesempurnaan, bukankah selama peradaban manusia dia tetap ada bahkan eksis.
Logikanya, jika selama ini orang telah berusaha mengidentifikasi sang bhuta kala dan segala pengaruh jahat yang ditimbulkannya kemudian mengajaknya berdamai, kenapa masih saja ada kejahatan?
Semestinya jika dia sudah dinetralisir dengan memberikan apa yang diinginkan sang bhuta kala berupa sesaji, kejahatan dapat dihilangkan atau setidaknya dapat diminimalisir dalam porsi yang sangat kecil.
faktanya malah, semakin diberi sesaji sang bhuta kala malah makin giat menjerumuskan manusia kejalan yang salah(sebagai satu contoh keprihatinan anda pada artikel diatas maraknya konsumsi miras).
Jadi yang benar adalah benar yang salah adalah salah, yang baik adalah baik yang jahat adalah jahat. Sekali lagi agama tidak menempatkan manusia pada grey area, agama harus sebagai pemisah antara yang benar dan yang salah. Kenapa harus ada kejahatan dan kejelekan? tujuannya hanya supaya manusia dapat melihat yang benar dan baik dan menempatkan posisinya pada jalan TUHAN.
Tinggal kita sebagai manusia memilih mana posisi dengan akal budi yang dianugerahkan, mau ikut dari TUHAN yang ABsoulut Benar atau ikut cara yang diinginkan bhuta kala-bhuta kala itu.
Sebab jika menuruti logika yang anda paparkan, keseimbangan adalah segalanya dalam masyarakat bali(termasuk keseimbangan antara benat dan salah), maka reinkarnasi akan terus menerus berulang tanpa akhir, peleburan (pralaya) tak akan bisa terjadi dan moksha adalah hal yang mustahil. Mengapa demikian? karena sesaji untuk sang bhuta kala berupa miras itu tak berarti apa-apa untuknya karena makin banyak yang konsumsi miras, yang semstinya akan sangat berkurang bahkan hilang jika diajak berdamai. Namun hal sebaliknya malah terjadi, ini baru dari satu sisi saja(miras)belum lagi macam-macam kejahatan atau keburukan lain yang masih beraneka jenisnya yang ditimbulkan oleh sang bhuta kala.
Semestinya pemahaman tentang bhuta kala serta perlakuan terhadapnya mungkin perlu dianalisa kembali, setidaknya dengan melacaknya kedaratan India sebagai negeri asal apakah ada juga cara-cara seperti itu.
Agama memang menjadi pemisah antara kebaikan dan keburukan. Agamalah yang memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk. Menuntun manusia untuk menjadi lebih baik. Saya sepakat, karena itu adalah pernyataan normatif dan sangat logis. Disemua kitab agama isinya selalu membimbing manusia berbuat yang baik. Tetapi ingat juga bahwa tidak jarang agama kemudian membawa manusia pada peperangan bahkan sepanjang sejarah dunia justru banyak darah ditumpahkan karena persoalan agama.
Kaum sufistik, mereka yang telah mencapai pemahaman yang tertinggi tentang hakekat hidup, memiliki pandangan yang berbeda atas benar dan salah, kotor dan bersih. Kesempurnaan tidak serta merta harus diwujudkan dengan membenci dan menjauhi ketidaksempurnaan. Ibarat bunga Padma (lotus) yang indah merekah dan bersih tetapi ia tetap harus hidup di lumpur. Tetapi pernahkah Anda melihat bunga padma itu terkotori oleh lumpur?
Baik dan buruk adalah 2 hal yang pasti akan selalu ada sepanjang sejarah manusia. Baik dan buruklah yang memutar peradaban manusia sama dengan ia memutar dunia ini dengan segala isinya. karena itulah ada konsep Rwa Bhineda. Hitam Putih, siang malam, miskin kaya, laki-laki perempuan, semuanya berpasang-pasangan. Berharap hanya akan ada kebaikan saja didunia ini hanyalah utopia.
Saya sepakat bahwa agama tidak boleh berada diwilayah grey area. semuanya harus tegas. Tetapi bagaimana kita bisa menegaskan warna putih yang benar-benar putih ketika kita tidak benar-benar paham bagaimana warna hitam yang sebenarnya? “Jika kamu ingin menang, pahamilah musuhmu” itu kata orang bijak. Memahami tidak akan pernah menjadi pemahaman yang sempurna ketika pikiran kita diselimuti dengan kebencian atas apa yang ingin kita pahami. Harmonisasi, itulah kuncinya. Lebih jauh lagi adalah bagaimana kita memahami CINTA KASIH sebagai syarat paling penting untuk mencapai kesempurnaan.
Roh-roh dialam semesta ini selalu akan ada. Semuanya adalah Ciptaan Nya yang harus dihormati dan dihargai agar ia memberi guna dan manfaat kepada manusia. Penghargaan dan penghormatan kepada kekuatan alam ini dilakukan dengan berbagai cara. Hindu Bali lah yang salah satunya masih melakukan penghormatan kepada kekuatan-kekuatan alam ini dengan Pecaruan dari berbagai tingkatan. Lalu kalau Anda bertanya kenapa setelah diberi sesaji justru manusianya semakin dijerumuskan bhuta kala? Wah… ini berarti kita mengkambinghitamkan bhuta kala atas kejahatan manusia. Persoalannya di manusianya, bukan di Bhuta kalanya. Ada sebuah cerita menarik. Seorang pertapa yang telah memiliki pengetahuan tinggi datang kesebuah desa. Diperbatasan desa dia dicegat oleh beberapa anak muda nakal. Pertapa ini dikata-katai dan diejek. Sang pertapa hanya diam duduk dan tenang-tenang saja. Karena capek mengejek, anak-anak muda ini kemudian terdiam dan bertanya “Mengapa Anda diam saja?”. Sang pertapa menjawab “Kalau aku mendengar dan terpengaruh ejekan kalian aku akan marah. Kalau aku marah dan orang-orang didesa yang akan aku datangi tahu aku marah itu gara-gara kalian, maka kalian tak akan diampuni, karena mereka sangat menghormati aku. Selain itu, kalau aku tidak mengambil apa yang kalian beri, lalu kemana apa yang kau beri itu akan kembali? Bukankah dia akan kembali padamu? berarti sebenarnya kalian sedang mengejek diri kalian sendiri” jawab sang pertapa sambil berlalu.
Soal moksah, itu kembali kepada manusianya untuk memahami hakekat hidup dan kehidupan. Ia bersifat sangat personal dan bukan hal yang mustahil untuk dicapai. Punarbawa adalah keniscayaan selama manusia masih belum bisa mencapai sempurna yang paripurna. Saya berpendapat bahwa kesempurnaan akan menjadi paripurna jika harmonisasi bisa diciptakan. Menghormati bhuta kala bukan berarti menjadi pengikutnya. Kalau terjerembab jadi pengikutnya, ya… itu salah manusianya bukan bhuta kalanya.
Hindu dari India tidak sama dengan Hindu Bali meski saya melihat sejumlah pihak dengan sangat keras melakukan upaya untuk menyamakan Hindu di India dengan di Bali. Saya lebih meyakini bahwa jauh sebelum pengaruh Hindu India masuk Indonesia/Bali, orang-orang Indonesia telah memiliki keyakinan sendiri. Sudah muncul pendapat dari beberapa ilmuwan bahwa semua peradaban di dunia ini sesungguhnya lahir di Nusantara. (Baca tulisan saya tentang “Nusantara, Pusat Peradaban Dunia” di balebengong.net). Bahkan diyakini bahwa India hanyalah salah satu kabupaten dari kerajaan besar yang berpusat di Nusantara. Anda akan dengan cepat mengatakan ini mengada-ada karena fakta sejarah ilmiah tidak menyebutkan demikian. Sah-sah saja menurut saya Anda percaya atau tidak. Yang jelas tidak sedikit penekun spiritual kelas dunia yang mengakui bahwa getaran spirit alam di Bali masih sangat kuat hingga saat ini. Ini karena orang Bali menjaga harmonisasi, mampu mensinergikan kekuatan-kekuatan alam. Keyakinan dan ritual yang berasal dari masa jauh sebelum Hindu India masuk ke Nusantara, masih tersisa hingga kini dan masih dilakukan orang-orang Bali.
Kembali ke soal miras, bagi saya itu adalah persoalan ketidakmampuan manusia untuk mengelola kesejatian diri. Berhentilah menyalahkan bhuta kala atau siapapun di luar diri manusia. Ada ungkapan di masyrakat Bali yang menyebutkan bahwa manusia itu “Bhuta ya, dewa ya” keduanya ada dalam diri manusia. Perlakukan kita yang menghargai bhuta kala dengan persembahan adalah doa agar ia tidak mengusik kita dan justru membantu kita mencapai kesempurnaan yang paripurna.
Ada sebaris kalimat saya pada komentar sebelumnya yang mungkin tak dibaca mendalam oleh saudara Winata. Bahwa ada sisi lemah dalam diri manusia yang kemudian dimanfaatkan oleh unsur eksternal.
kalau saya harus perjelas, bahwa sisi lemah manusia itu ada pada nafsu. Jika nafsu ini tak dikendalikan dengan baik atau diarahkan pada hal-hal yang baik, maka dia akan mudah terprovokasi hal-hal yang negatif. Bila sisi negatif nafsu pada manusia ini mulai mendominasi akal sehat, maka dia akan bersinergi dengan kekuatan eksternal diluar dirinya, katakanlah hampir semua agama mengakui keberadaannya, ada yang menyebutnya bhuta kala, ada yang menyebutnya syetan dengan segala varian jenis gangguannya pada diri manusia.
Bhuta kala ini memang sudah diciptakan ada. Dalam segala peradaban menyangkut keagamaan manusia, hampir disepakati bahwa dia adalah faktor X yang akan selalu berusaha menggiring manusia pada sesuatu yang negatif,suatu yang salah, suatu yang destruktif. Keberadaannya adalah sebagai alat uji sekaligus buat manusia, mampukah dia berjalan pada kebenaran seperti yang dikehendaki TUHAN nya atau sebaliknya. Bisa dikatakan manusia memiliki dua lawan yang sangat berat, yaitu nafsu yang ada pada dirinya juga sosok bhuta kala ini.
Sayangnya kita kadang bahkan sering lengah terhadap dua hal ini. Saya sepakat dengan anda, jika kita harus bisa mewaspadai sang bhuta kala. Bagi saya, dengan mewaspadainya kita jadi tau apa saja yang bisa dilakukannya untuk memalingkan atau menjerumuskan manusia(juga sepakat sekali dengan petuah bijak yang mengatakan, kenalilah musuhmu!)
Persoalannya menurut saya,bagaimana sikap kita terhadap diri kita sendiri dan terhadap bisikan, godaan dan gangguan sang bhuta kala setelah kita mengenal dan mengetahui apa yang bisa dilakukan oleh bhuta kala terhadap manusia dan apa pengaruh bhuta kala terhadap hidup manusia.
Bagaimana kita akan bisa mengalahkannya jika kita takluk dengan bhuta kala-bhuta kala itu melalui pemberian terus-menerus atas apa yang disukainya seperti arak dsb?(bahkan ada dalam salah satu artikel pada blog ini menceritakan tentang adanya Ida bhatara arak api, yang diberi saji-saji oleh masyarakat pembuat arak disebuah desa).
Mohon maaf ini hanya pemikiran pribadi saya yang merasa ada kejanggalan dalam hal ini, khususnya perlakuan terhadap yang namanya bhuta kala. Saya belum bisa membayangkan harmoni untuk tercapainya sebuah kesempurnaan seperti yang anda maksudkan.
Mohon maaf pula kalau saya analogikan ini seperti perlakuan kompeni belanda terhadap bangsa indonesia dulu. Bagaimana belanda dulu dengan segala cara bisa tetap menjajah indonesia. menguras sumber daya kita, menerima upeti-upeti dari kerajaan-kerajaan kecil dengan memecah belahnya. Sudah begitu tetap saja kita disebutnya inlander alias jongos bagi bangsa mereka.
Rasanya bhuta kala ini meski sudah diberi ini itu, tetap dan selalu militan, selalu serakah tak puas mengganggu dan memanfaatkan sisi lemah manusia(nafsu) untuk dibelokkan dan dijerumuskan pada hal negatif menurut keinginannya. Kita tidak bisa pungkiri bahwa kejahatan dan keburukan masih banyak disekitar kita.
Kemudian tentang sejarah peradaban manusia yang bermula dari nusantara, bagi saya ini hal yang menarik bagaimana bisa sampai pada pengetahuan seperti itu?(maaf saya belum membaca artikel anda tentang hal itu, namun saya akan membacanya.
India sebagai koloni atau sebuah kabupaten dari nusantara, ini juga suatu pernyataan yang menarik. Anda juga terkesan lebih memihak eksistensi hindu yang ada di bali daripada hindu yang berada di india, bukankah sejarah mengatakan hindu bermula dari india yang kemudian dibawa oleh orang india ke nusantara ini beberapa abad yang lalu kemudian mengalami akulturasi dengan budaya lokal?
Jika menengok sejarah hindu di nusantara, maka mau tidak mau kita akan menengok kerajaan majapahit sebagai suatu kerajaan hindu yang besar di nusantara abad 13 -14 silam. Karena masuknya peradaban baru di tanah jawa sebagai pusat majapahit, maka raja Brawijaya sebagai raja majapahit terakhir(dan puteranya Pangeran Wijaya)serta sebagian besar masyarakatnya mengikuti baginda rajanya pada peradaban baru tersebut, sedangkan sebagian orang-orang kerajaan dan keluarganya bermaksud mempertahankan keyakinan mereka pada yang lama(hindu)lewat pimpinan yang bernama sabda palon,yang oleh raja akhirnya diberi konsesi untuk tinggal di bali. Benarkah begitu sejarah asal mula berkembangnya hindu di tanah bali? jika tidak benar maka pernyataan anda bisa dipertimbangkan untuk diteliti lebih lanjut oleh para ahli.
Sesuatu yang bersifat mistik atau magis sangat sulit untuk dijadikan pedoman, jika ada penjelasan rasionalnya pasti akan lebih baik buat manusia. Begitu juga oleh apa yang dikatakan oleh beberapa ahli kebathinan dunia itu tentang bali khususnya.
Bahwa kita harus meyakini adanya yang ghaib saya setuju, karena akal manusia yang terbatas tak menjangkaunya. TUHAN adalah ghaib(ada namun tak terlihat mata makhluk yang juga sangat terbatas kemampuannya karena hanya bisa melihat suatu yang berdimensi, diluar itu mata tak mampu melihatnya). Ghaib adalah suatu pengertian yang berbeda dengan mistik dalam makna.
Namun juga ada suatu yang berwujud ghaib seperti makhluk Jin, bhuta kala, setan dan varian-varian nya. Untuk makhluk-makhluk jenis ini, mereka akhirnya disebut juga makhluk ghaib karena mereka tak nampak oleh mata manusia umumnya. Ini hanya disebabkan materi penciptaan nya yang berbeda dari manusia sehingga mereka jadi tak nampak. Tapi keberadaan mereka semua tentu terlihat oleh Yang Maha Menciptakan semua itu.
untuk kul-kul
beberapa kali saya sampaikan bahwa memberi sesuatu pada bhuta kala bagi masyrakat hindu Bali bukan sebagai bentuk TAKLUK atau MENYERAH. Tapi disana ada penghormatan dan menghargai. Menjadi baik dan buruk bagi manusia adalah pilihan bukan karena digoda oleh bhuta kalla. Bhuta kalla hanya mempengaruhi manusia jika manusia yang menginginkannya. Khalil Gibran mengatakan “Tak ada orang Jahat di dunia ini, yang ada hanyalah orang yang MALAS untuk berbuat kebaikan.
Jadi berhentilah menyalahkan sesuatu yang ada diluar kita atas keburukan yang menimpa kita.
Karena itu analogi kompeni jajah Indonesia mungkin bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi dengan Thailand yang sama-sama bangsa Asia Tenggara teta[i tak dijajah Kompeni. Perlu dipahami apa yang dilakukan Thailand sehingga tak dijajah Kompeni.
TUHAN ada dimana? apakah sesuatu yang ada di luar sana atau ada di dalam diri kita Sendiri. JIka ada diluar sana mengapa setiap kitab selalu menggunakan kata AKU sebagai pengganti kata TUHAN? Lalu bagaimana kata Tuhan itu ada? Baca buku Karen Amstrong tentang Sejarah TUHAN, maka Anda akan dapat gambaran bagaimana kata TUHAN muncul dan bagaimana agama-agama monoteisme mewujud ke dunia. Tahukah Anda bahwa menurut buku itu Tuhan muncul dari dewa yang sangat egois? yang selalu bersabda “Sembahlah Aku dan hanya Aku. Karena jika kau sembah yang lain, maka akan Aku Turunkan Azab padamu!” Bagaimana Tuhan yang maha penyayang bisa begitu sadis akan menurunkan azab hanya karena manusia tak MenyembahNya?? ini Beda dengan Tuhan dan konsep Hindu yang menyembah banyak dewa tetapi tetap mengakui ada satu kekuatan besar yang mengatur alam semesta ini.
Soal Nusantar perabadaban dunia. Saya sudah sampaikan sah-sah saja mau percaya atau tidak. Tidak ada yang memaksa. Kalau mau bersandar pada fakta empirik atau sejarah dan logika coba baca buku Fritjof Copra “titik balik peradaban” dan Tao of Physic” Bahwa manusia salah besar telah bersandar sepenuhnya pada logika dan kemajuan ilmu pengetahuan. Tahukah Anda bahwa nuklir
bentuk penemuan manusia yang disebut sebagai kemajuan logika danpengetahuan juga adalah sekaligus pembunuh manusia yang tak bisa dicarikan penyelesaiannya karena limbahnya tak bisa diurai.
Percaya hanya pada fakta empirik telah mulai ditinggalkan. Fakta empirik dan pengalaman spiritual mestinya punya porsi yang berimbang untuk dipercaya dan dipakai sandaran keyakinan, jika ingin dunia ini lebih baik. Saya tidak mengatakan bahwa yang berdasarkan logika itu benar dan percaya mistik itu salah begitu sebaliknya. Semuanya harus disinergikan,diharmoniskan.
Kepada yang terhormat saudara winata..
Saya salut karena anda senang membaca berbagai literatur dan pendapat para ilmuwan, semoga menjadi kesenangan yang terus berlanjut dan semakin banyak karya-karya tulis yang anda baca tentu semakin baik.
Jika anda pernah membaca tentang konsep Tuhan menurut karent amstrong, tentunya juga anda harus membaca tentang Tuhan dari pemikiran yang berbeda dengan Karen Amstrong. Bagaimanapun tinjauan seseorang belumlah cukup dan tentunya juga dipengaruhi oleh latar belakang ilmu dan konsep pemikiran yang spesifik sehingga sampai pada kesimpulan tertentu. Sepanjang konsep yang digagas manusia, tentunya akan berujung pada nilai yang sifatnya relatif dan bisa keliru. Konsep pemikiran seorang Karen Amstrong tentu masih bisa diperdebatkan bila disandingkan dengan konsep pemikiran yang lain yang lebih up to date.
Mungkin kita batasi saja pembicaraan menyangkut Tuhan, daripada membicarakan hal yang lebih luas dan kemana-mana, karena tampaknya anda dan saya memiliki pemahaman yang berbeda tentang eksistensi Tuhan, karakteristik Tuhan dan penyembahan kepada Nya.
Kalau kita mebicarakan sifat Pengasih Tuhan, tentu tak akan habis-habisnya karena akan meliputi segala aspek.
Kalau kita membahas bahwa Tuhan itu Satu, semua juga akan sepakat karena Dia semua ada.
Kalau kita mengira bahwa Tuhan itu kejam terhadap makhluknya, ternyata itu hanya persepsi yang timbul dari manusia sebagai ciptaan yang memiliki akal pikiran atau sebagai makhluk berkehendak. Ini juga termasuk bangsa Jin, bhuta kala dsb juga sebagai makhluk yang punya kehendak.
Kata Tuhan kejam tentu tak akan pernah terlontar dari makhluk lainnya. Tak akan pernah terdengar itu dari hewan, tumbuhan,gunung, lautan, bumi, bulan,bintang, matahari dsb.
Sebagai Pencipta, Tuhan berada posisi diatas supra sistem, tentunya sangat wajar jika Dia menerapkan hukum dan aturan bagi apa yang diciptakan Nya. Alam semesta ini tentu tak akan berada pada kestabilan jika tak ada hukum atau sistem yang dibuat oleh Nya. Bumi ini pun tak akan mampu menunjang kebutuhan hidup segala penghuni yang melata dipermukaannya, jika tak ada sistem yang ditetapkan oleh yang menciptakannya.
Tuhan tak berdimensi, Dia melampaui persepsi kita dan tak sanggup akal manusia yang terbatas ini mempersepsikan eksistensi Tuhan. Dia meliputi segala sesuatu, Dia ada bahkan lebih dekat dari urat leher manusia itu sendiri.
Jika kita sepakat mengakui keberadaanNya, jika kita sepakat hanya Dia yang menciptakan segalanya,jika kita sepakat hanya Dia yang memberikan fasilitas-fasilitas hidup dan kemudahan untuk hidup semua makhlukNya, apakah suatu cara yang legal jika ada manusia memberi pengakuan, penyembahan,pengabdian kepada suatu yang lain?
Bukan suatu sifat kekejaman dari Tuhan, jika Dia harus mengingatkan makhluknya untuk berjalan pada sistem yang dibuatNya apabila makhluknya melangkah kearah yang salah.
Bukankah kita mengetahui, jika ada manusia-manusia yang berbuat kejahatan yang berlawanan dengan hakikat dirinya, bukankah pantas sebagai Yang Menciptakannya menegur dan memberi peringatan??
Lantas akan kita sebut sebagai apa tindakan Tuhan seperti itu, Apakah itu bentuk kekejaman atau bentuk tanggung jawabNya sebagai Pencipta?
Kalau Tuhan punya sifat ego tentu wajar, karena Dia lah pusat segala-galanya. Sangat wajar jika segala makhluk berterimakasih lalu hanya menyembah kepadaNya. Tentu suatu yang sangat ironis jika ada makhluk harus berterimakasih dan menyembah kepada selain Nya.
Sebagai perumpamaan, jika si A berbuat kebaikan terhadap si B, memberikan bantuan dan pertolongan pada semua yang jadi keperluan sepanjang hidupnya, apakah suatu yang salah jika B semestinya berterimakasih pada A? Apakah suatu cara yang benar jika si B berterimakasih pada C,D,E dst(padahal tak berbuat suatupun untuk si B)?
Lantas jika muncul pertanyaan, kalau demikian Tuhan mengharap pamrih dari makhluknya untuk menyembah hanya kepadaNya?
Itu lebih karena agar makhluknya tidak berlaku naif dengan berterimakasih kepada suatu yang tidak wajar.
Pada intinya, ada yang Mencipta dan ada yang dicipta.
Jika disepakati yang Mencipta itu hanya Satu, maka yang lainnya berstatus sebagai suatu yang dicipta, artinya semua yang dicipta berstatus makhluk.
Kenapa suatu makhluk(katakanlah itu manusia), kemudian berterimakasih kepada suatu yang berstatus sama dengan dirinya yang tidak mncipta, tidak memberi, tidak memfasilitasi,tidak membuat apapun untuk hidupnya?
Lantas kenapa kita harus bernegosiasi(sebagai ralat kalau tidak suka disebut takluk) dengan bhuta kala yang berstatus makhluk agar dia berlaku baik terhadap manusia yang juga berstatus makhluk?
Kenapa tidak meminta saja kepada Pencipta si bhuta kala, agar dilindungi dari pengaruh negatif si bhuta kala?
yang Mencipta tentu berkuasa atas apa yang dicipta.
Dimana posisi seorang dewa dalam hal ini(jika toh apa yang disebut dewa itu memang ada)? Apapun persepsi tentang dewa maka dia akan berada pada posisi sebagai makhluk, sebagai suaatu yang dicipta.
Apakah dewa bisa membuat laut(jika ada yang dinamalan dewa laut)?, apakah dewa bisa membuat hujan(jika ada yang dinamakan dewa hujan)?, Apakah dewa yang membuat angin(jika ada yang disebut dewa angin),apakah dewi yang membuat padi-padian(jika ada yang disebut dewi padi)?, apakah dewa yang membuat matahri itu bersinar(jika ada yang dinamakan dewa matahari)? dsb.
Kalau keberadaan kedewaan ini juga dijadikan pemahaman, berarti dewa-dewa juga kejam karena pernah terjadi tsunami, pernah terjadi gempa besar,pernah terjadi banjir besar yang merenggut banyak nyawa.
Tentunya dewa tidak hanya punya teritori di Indonesia, bukankah bencana bisa terjadi dimana saja? Bencana bisa terjadi di jepang, amerika, phlipina, india, sri lanka, china, pulau solomon dsb.
Lantas kenapa di bali belum ada terjadi? bukankah gunung agung pernah meletus dengan banyak korban, bukankah di bali juga pernah terjadi gempa,banjir dan juga tanah longsor?
Apakah bencana terjadi karena kita kurang berbaik-baik terhadap makhluk yang tidak bisa membuat segala itu(entah itu namanya bhuta kala)?
Seanadainya hidup kita damai sentausa aman sejahtera, bukankah rasa terimakasih hanya buat yang memberikan keadaan seperti itu? Bukankah semua orang menyepakati yang memberi segala keadaan itu hanya satu Tuhan?
Saudara Kulkul yang dikasihi Tuhan…
Berbicara Tuhan adalah berbicara tentang keyakinan. Karena itu saya ingin mengajak Anda untuk melakukan perjalanan ke dalam yakni kedalam diri kita sendiri. Tuhan itu tidaklah sesuatu yang berada diluar diri kita. Dia adalah sesuatu yang bersemayam didalam diri kita. Cobalah untuk berbicara padaNya lebih sering, yang berarti kita berbicara pada hati nurani kita. karena seperti kata Mahatma Gandhi, suara hati adalah suara Tuhan.
Sebenarnya saya tidak begitu suka membaca buku karena itulah hanya beberapa buku yang sempat saya baca. Pemikiran Karen Amstrong saya angkat karena tulisannya menyajikan data-data sejarah tentang bagaimana Konsep Tuhan yang satu (Esa) itu hadir di dunia. Karena itu bukunya berjudul “The History of God”. Saya menghargai pandangannya yang obyektif sehingga tidak terjebak pada fanatisme sempit yang fakta sejarahnya hanya melahirkan kekejaman manusia kepada manusia lain atas nama Tuhan.
Tulisan Anda tentang Tuhan lebih pada sesuatu yang ada di luar sana. Tetapi saya ingin mengajak Anda melakukan perjalanan ke dalam untuk memahami Tuhan, seperti yang ditulis dalam “Buku Conversation with God”. Secara elegan, Neale Donald Walsch, dalam kata pengantar buku Conversation with God; ini menyatakan bahwa jika kita terus percaya pada apa yang oleh sebagian besar ras manusia tentang Tuhan dan kehidupan, spesies manusia akan mengubah jalan sejarahnya dengan cara yang mengerikan, mungkin akhirnya akan menghancurkan diri sendiri. Hal ini karena keyakinan-keyakinan kita sekarang tentang Tuhan dan kehidupan bukanlah kebenaran hidup. Sebab, tulis Walsch, kebenaran hidup otomatis akan menghasilkan kedamaian, kebahagiaan, dan harmoni. Tapi keyakinan manusia, tampaknya tidak demikian. Keyakinan atas Tuhan yang salah ternyata menghasilkan kekacauan, kekerasan, dan peperangan. Dan sejarah telah membuktikan dan mencatatnya.
Saya ingin mengajak Anda untuk memahami Tuhan dengan jalan yang lebih damai, jauh lebih dekat yakni kedalam diri kita sendiri. Buku Bhagawadgita banyak mengulas tentang Tuhan yang mungkin akan membuat banyak dari kita terkejut-kejut lalu merenung. Saya juga baru membaca buku “Dialog Spiritual” yang ditulis dr. I Wayan Mustika. Sebuah buku yang sangat menarik dan jika Anda berminat, cobalah membacanya. Dialognya dengan sang “Aku” benar-benar bisa memberi pencerahan. Dan maaf, akan sangat jauh dari pemahaman Anda tentang Tuhan seperti di tulisan Anda.
Yang jelas…semua kitab suci agama selalu menggunakan kata “AKU” untuk mengganti kata Tuhan. Tidak mungkin itu tidak memiliki makna dan menurut saya dan juga menurut banyak pemikir besar bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada didalam diri kita sendiri. Dan Anda juga mengatakan bahwa Tuhan ada didekat nadi kita. Ya… Tuhan memang mengisi semua alam semesta disetiap kekosongan yang ada, disanalah Tuhan berada. Tuhan adalah tujuan akhir kita semua. Moksah adalah bentuk penyatuan kita dengan asal kita yakni Paramaatman.
Tentang penciptaan Tuhan atas semua isi alam semesta, itu diatur oleh sebuah hukum. Hukum yang sifatnya universal. Tubuh kita adalah mikrokosmos, sementara alam semesta adalah makrokosmos. Semua unsur alam semesta ada juga didalam tubuh manusia. Sesungguhnya Tuhan tidak pernah meminta di sembah. Tuhan hanya mensyaratkan kita mengingatNya. Kalau Tuhan saja tidak usah disembah, maka demikian juga dewa-dewa dan bhuta kala. Persembahan kepada semua kekuatan itu dilakukan dalam konsep menghargai dan bentuk bhakti untuk membuat manusia tetap ingat padaNya. Sebesar apapun persembahan, itu tidak akan mampu menghilangkan karma yang harus dijalani setiap manusia.
Manusia lahir karena hukum alam semesta memang mengharuskan demikian. Demikian juga dengan mahluk dan segala sesuatu yang ada didunia ini hadir mewujud karena memang hukum semesta yang mengharuskannya. Jadi kepada siapa terimakasih kita harus kita sampaikan atas kelahiran kita, bukankah kahadiran kita didunia toh karena karma kita sendiri?
Tuhan juga sesungguhnya tidak pernah menghukum. Apa yang terjadi pada manusia adalah karena hasil dari perbuatan manusia. Dihadapan Tuhan itu tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Semua memiliki kebenarannya masing-masing. Kebenaran sejati adalah kebenaran yang bisa berdiri diantara benar dan salah.
Tak ada Bhuta kala yang bisa menyakiti manusia kecuali manusia yang menginginkan itu terjadi. Kuncinya di manusia, di “aku” nya. Sadarkah manusia dengan kesejatian dirinya. Siapakah aku sesungguhnya, darimana dan kemana aku akan menuju?
Tetapi sekali lagi pembicaraan Tuhan adalah urusan yang personal sekali. Ia ada di dalam di hati kita. Orang menyebutnya hati nurani. Dan siapapun berhak memahami Tuhan dengan caranya masing-masing.
Saya mohon ijin untuk nimbrung di balebengong ini, kulonuwun kalau istilah jawanya, Om Swastiastu jika dilihat dari aspek Hindu….
Saya mengamati diskui menarik antara kul-kul dan winata dan rasanya pengetahuan saya tidak akan cukup untuk mengikuti semua cabang diskusi yang ada.Tapi ijinkanlah saya menyumbang sedikit pemikiran berdasarkan pengalamana saya sendiri atas bhuta dan miras ini (sehingga mungkin akan sulit untuk mencari referensi dari pendapat saya pribadi).
Sebagai sebuah kearifan lokal, agama Hindu di Bali mengakomodir semua keyakinan, kepercayaan yang ada sebelum Hindu secara tertulis masuk ke Bali. Ajaran ini pula yang menjadi jiwa dari budaya Bali yang ada saat ini. Dalam proses akulturasi ini, ajaran agama Hindu diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk aktivitas manusia, termasuk salah satunya adalah sesajian (sesajen) untuk para bhuta kala.
Setahu saya dalam konsep Hindu ada prinsip saling menghormati antara ciptaan Tuhan, termasuk pula menghormati Tuhan sebagai pencipta. Inilah yang melahirkan konsep Tri Hita Karana, harmonisasi yang muncul dari sikap saling menghormati antar manusia, antara manusia terhadap alam sekitar (termasuk ciptan Tuhan selain manusia), dan antara manusia dengan penciptanya. Konsep dasar inilah yang dijadikan patokan dalam setiap aktivitas. Berusaha untuk mengharmonisasi segala sesuatu yang tidak harmonis atau yang sifatnya mengganggu sesuatu yang sudah harmonis.
Dalam tataran konsep ini, bhuta kala bisa dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu dan perlu diharmonisasikan sehingga keseimbangan tercapai. Dalam suatu upacara baik di dalam pura sekalipun tetap ada baik dan buruk sehingga prosesi mensunyikan (bukan mensucikan) butha kala melalui mecaru atau tabuh rah atau dengan memberikan arak berem selalu dilakukan sebelum upacara persembahyangan dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar yang bersifat buruk baik dari eksternal maupun internal manusia bisa selaras dan tidak menggangu prosesi persembahyangan yang ada (secara fisik ataupun metafisik).
Dalam pandangan saya saat bhuta kala diberikan sesajian seperti ini memberikan kesempatan kepada manusia untuk terhindar dari gangguan eksternal dan internal karena sang bhuta sedang asyik-asyiknya menikmati sesajian yang ada. perlu diketahui bahwa arak dan berem adalah minuman kesukaan para bhuta dan dengan memberikannya para bhuta menjadi sibuk untuk ber’pesta’ dan tidak mengganggu ataupun menggoda aktifitas manusia yang sedang berusaha memuja penciptanya.
Apabila analogi ini tidak cukup mungkin saya bisa menganologikan dengan kehidupan nyata kita. Ibaratnya ras manusia hidup disatu rumah (baca:alam) tersendiri, sang bhuta dan para dewa memiliki masing-masing satu rumah. Sebagai tetangga yang baik dan untuk mewujudkan kerukunan antar tetangga masing-masing rumah tangga harus saling menghargai, menghormati. Sekarang seandainya (ini hanya analogi) rumah tangga manusia memiliki hajatan, upacara dengan rumah tangga dewa sehingga menimbulkan kegaduhan dan ketidaknyamanan dalam kehidupan sosial. Agar rumah tangga bhuta tidak merasa terganggu dan memberikan gangguan terhadap pelaksaan hajatan tersebut maka diberikanlah sebuah permakluman dalam hal ini berupa minuman tersebut. Hal ini bukan berarti tunduk ataupun takluk, tetapi lebih kepada prinsip hidup bertetangga yang baik. Begitu pula apabila manusia memiliki hajatan dengan para bhuta, misalnya dalam bhuta yadnya, para dewa pun akan diperlakukan hal yang sama. Diberikan permakluman melalui sesajian yang membuat para dewa maklum. Disini saya tidak menggunakan Tuhan karena daya nalar saya masih jauh dari mampu untuk menafsirkan Tuhan. Apakah memiliki sifat pencemburu, atau welas asih. Biarlah Beliau seperti yang ada di dalam kitab-kitab, biarlah Beliau seperti apa yang digambarkan oleh orang-orang dalam pikirannya entah itu kosong, jauh, dekat, ataupun berisi karena saya yakin beliau memahami keterbatasan saya dan tidak pernah menolak untuk digambarkan atau disebut sebagai apapun. (itu hal yang saya yakini saat ini)
Mengenai minuman keras. Saya rasa ada konsep rwa bhineda dalam miras yang harus kita pahami. Dalam bidang kesehatan, arak atau alkohol bisa digunakan sebagai obat, untuk membunuh penyakit, bahkan hal yang lumrah dikonsumsi untuk memberikan panas pada tubuh sewaktu cuaca diluar sedang dingin sekali. Ini saya sebut sebagai aspek positifnya. Sementara itu arak juga bisa menimbulkan sesuatu yang tidak baik apabila digunakan secara berlebihan. misalnya sifat alkohol yang menekan pusat syaraf dan memberikan efek halusinasi (koreksi saya bila hal ini tidak tepat).
Dalam hal ini saya setuju dengan Winata, bahwa penekanannya bukan pada persembahan kepada bhutanya, tetapi kepada manusia sebagai subyek dari kehidupan. Kita bisa menggunakan tangan kita untuk yang baik ataupun yang buruk itu terserah kepada diri kita dan pikiran kita untuk menentukannya.
Sekalipun dalam pandangan saya tiada yang buruk karena segalanya hanya berkaitan dengan nilai-nilai norma dan ajaran agama yang dianut oleh setiap orang. Dia menjadi buruk karena ada nilai-nilai norma ataupun ajaran agama yang dijadikan patokan bahwa ini buruk. Dalam pandangan saya yang adalah kebenaran dengan kualitas yang berbeda. Kebenaran dengan kualitas rendah akan bergerak dan tumbuh menjadi kebenaran dengan kualitas tinggi apabila dia bisa memahami lebih banyak tentang kebenaran itu sendiri (maaf jadi ngelantur).
Jadi kitalah sebagai subyek aktif yang menjadi motor penggerak kebudayaan. Kalau memang kita memandang hal ini perlu untuk diperbaiki untuk kepentingan generasi mendatang, marilah kita mulai perbaiki dan mencari akar masalahnya tanpa harus berlama-lama berdiskusi.
Saya rasa bukan hanya hukum adat dan sistem norma kita yang semakin lemah tetapi ada faktor lain yang mendukung dari tumbuhnya budaya seperti ini. Kita tahu bahwa adanya pengganguran dan tingkat pendidikan yang rendah akan menjadi pupuk yang baik bagi budaya seperti ini. Disini lain kontrol yang ketat (entah orang tua ataupun pemuda) terhadap budaya luar tanpa proses seleksi memberikan andil yang cukup besar pula terhadap maraknya kasus miras. Dari titik ini saya melihat adanya pergeseran esensi dari budaya minum yang dibawa dari barat ke Indonesia. Di barat, budaya ini tumbuh untuk mengatasi rasa dingin yang mencekam, dan untuk mengatasi stress setelah sepekan kerja. Tetapi di Indonesia budaya minum ini menjadi sebuah gengsi dan trend baru dimana kalau tidak ikut minum dianggap sebagai pengecut atau tidak gaul.
Saya rasa kita bisa mencari sebab musabab kenapa semua ini terjadi dan saya lebih menyukai ini dibandingkan kita berdiskusi panjang mengenai Beliau yang amat susah untuk dinalarkan. Ah…maafkanlah pikiran ini…terlalu banyak menyita halaman komentar ini….