Hari Film Nasional dirayakan tiap 30 Maret.
Tahun ini, sejumlah pemutaran film dilakukan secara nasional di berbagai daerah, termasuk di Denpasar, Bali. Selama tiga hari, karya-karya sineas Indonesia turut diputar untuk merespon tema “Merayakan Keberagaman”.
Di Taman Baca Kesiman, sejak Rabu (22/3) hingga Jumat (25/3) kemarin, total 6 film, yang terdiri dari 4 film pendek dan 2 film panjang diputar. Antara lain: On The Origin of Fear (Bayu Prihantoro Filemon, 2016), Kitorang Basudara (Ninndi Raras, 2015), Pangreh (Harvah Agustriansyah, 2016), Balik Jakarta (Jason Iskandar, 2016) yang tergabung dalam Kompilasi Film Pendek “Mencari Indonesia” di hari pertama pemutaran.
Sementara karya Arifin C. Noer, “Suci Sang Primadona” produksi tahun 1977 menjadi suguhan di hari kedua. Pada hari ketiga sekaligus hari terakhir pemutaran di Taman Baca Kesiman, “The Mirror Never Lies” karya Kamila Andini yang diproduksi pada tahun 2011 lalu.
Hari ini, film pun bukan sekadar suguhan hiburan semata. Film yang baik sejatinya mampu menjadi media edukasi secara visual dan atau audio-visual. Yakni dengan menjadi wadah isu-isu yang terjadi di masyarakat, baik dari sisi sosial, budaya, lingkungan, ekonomi, hingga politik, yang kemudian dituturkan oleh sang sutradara baik dalam kemasan dokumenter maupun fiksi.
Lebih jauh, pemutaran juga dilakukan sebagai bentuk apresiasi kepada para sineas yang menelurkan karya-karyanya.
“Film-film pendek seperti ini bagus untuk sering diputar di sini, misalnya setiap minggu. Sebagai tuan rumah, ya harus sering ditonton, karena ini bentuk apresiasi terhadap film Indonesia,” ujar Alit Ambara, salah seorang penonton.
Merayakan film tak hanya menyaksikannya secara visual. Namun sesi sharing dan diskusi pun dibuka, khususnya di hari terakhir, diskusi bertajuk “Perempuan Indonesia dalam Sinema” menjadi penutup rangkaian perayaan HFN 2017 di Denpasar.
Menghadirkan 2 narasumber sebagai pembicara, yakni penulis asal Bali, Oka Rusmini dan Rhoda Graurer, peneliti sekaligus film-maker perempuan asal Amerika yang sudah menetap kurang lebih 17 tahun di Bali.
Perempuan dan Kekerasan Kultural
Merujuk pada dua karya terakhir, Suci Sang Primadona dan The Mirror Never Lies secara gamblang mengangkat perempuan tak hanya dari tokoh berperan termasuk cerita dan konflik yang terjadi di dalamnya.
Merespon kedua karya tersebut, Oka Rusmini menyampaikan adanya kekerasan kultural yang kerap dialami perempuan, khususnya di Indonesia.
Sebut saja dalam film The Mirror Never Lies, di mana wajah tokoh Tayung yang diperankan oleh Atiqah Hasiholan, dalam kesehariannya harus ditutupi masker. Hal itu karena status perempuan Suku Bajo tersebut yang tidak jelas apakah memiliki suami atau tidak. Lebih ke belakang diceritakan bahwa sang suami hilang saat melaut dan tidak diketahui kondisinya apakah masih hiduo atau sudah meninggal.
“Di situ tampak jelas bahwa masyarakat perempuan Indonesia masih mengalami kekerasan kultural,” ujar Oka Rusmini.
Di sisi lain ada pesan tersirat, bagaimana dalam satu kondisi perempuan mampu dan mau tidak mau harus mengambil peran laki-laki untuk menyambung hidup.
Membandingkan dengan karya sebelumnya, yakni Suci Sang Primadona, Oka menilik penggambaran perempuan dari sosok laki-laki. Sisi erotis tubuh perempuan yang kerap menjadi pandangan pria terhadap perempuan.
Sementara di The Mirror Never Lies ada hal-hal detail tentang perempuan yang digambarkan Kamila.
Dalam salah satu adegannya bagaimana tubuh Tayung gemetar karena gairahnya terhadap Tudo. Secara alamiah melahirkan respon kerinduan Tayung terhadap sosok laki-laki yang sempat kosong karena kepergian sang suami. Di mana detail seperti ini tidak ditunjukkan jika merujuk pada sudut pandang pria.
“Ada bahasa yang berbeda dari laki-laki dan perempuan. Jika dilihat pada Suci Sang Primadona, sutradaranya pria, menggambarkan perempuan dari sudut pandang pria. Sementara di karya ini, ada hal-hal detail tentang perempuan yang digambarkan sang sutradara, Kamila, yang juga seorang perempuan,” papar Oka.
Sementara Rhoda Grauer menilai kekerasan kultural perempuan pun dialami dalam industri film. Dari sisi pemeran misalnya, seorang tokoh perempuan dalam film Amerika adalah sosok yang cantik, kurus, berambut pirang hingga berpenampilan glamour.
Dan di balik layar, sosok sutradara perempuan masih dipandang sebelah mata, diragukan dalam sisi kemampuan jika dibandingkan dengan para sutradara pria.
“Bagaimana film Amerika memperlakukan perempuan: 80 persen dalam film Amerika, perempuan harus cantik, kurus, glamour. Di sisi lain, sutradara perempuan dinilai tidak terlalu kuat dan diragukan kemampuannya. It’s really sickening,” tutur Rhoda.
Lalu yang menjadi pertanyaan lebih lanjut, adalah makna dari peringatan hari perempuan dalam skala internasional atau hari Kartini dalam skala nasional, Indonesia. Jika yang diperingati adalah sosok Kartini dengan cara berpikirnya, pada realitanya yang kerap ditonjolkan adalah sebatas simbolik perempuan berkebaya.
“Yang dirayakan dalam hari Kartini adalah perempuan berkebaya. Bukan perempuan yang berpikir, padahal Kartini itu kan bukan ibu-ibu PKK,” ujar Oka. [b]