Di balik pesonanya, Tanah Lot punya ancaman masalah sampah.
Tiap hari, sekitar 1.000 butir batok kelapa menjadi sampah di kawasan wisata populer ini. Pada saat sepi turis, jumlah batok kelapa itu minimal 800 butir. Kalau ramai bisa sampai 2.000 butir.
Batok-batok kelapa itu berasal dari ratusan pedagang dan puluhan restoran di kawasan Tanah Lot, Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan.
Kelapa muda memang salah satu minuman paling laris di tempat wisata ini. Tiap hari sekitar 5.000 hingga 6.000 turis domestik dan mancanegara mengunjungi Tanah Lot. Dengan cuaca Tanah Lot yang relatif panas, karena berada di pantai, maka es kelapa jadi salah satu minuman favorit turis di sini.
Maka, batok kelapa pun mejadi salah satu jenis sampah paling banyak di Tanah Lot. Apalagi petugas Dinas Kebersihan dan Pertamanan tidak mengangkutnya bersama sampah-sampah lain.
Pedagang di Tanag Lot pun membuang begitu saja batok kelapa tersebut. Di tepi jalan. Di lapangan. Tidak ada yang berinisiatif untuk mengolahnya.
Selain batok kelapa, sampah jenis lain di Tanah Lot pun tak kalah banyaknya. Tiap hari, jumlah sampah di kawasan ini mencapai sekitar 9-10 kwintal. Namun, sampah jenis lain ini diangkut petugas Dinas Kebersihan dan Pertamanan, sedangkan sampah batok kelapa dibiarkan di sana.
Namun, sampah tak cuma masalah Tanah Lot. Beberapa tempat wisata lain di Bali pun mengalami hal sama, serbuan sampah yang terkendali. Salah satunya adalah Kuta, ikon pariwisata Bali. Ketika musim hujan, sampah-sampah akan menyerbu pantai tempat berjemur, bersantai, berwisata, dan berselancar ini.
Dua tahun lalu, majalah TIME menulis masalah sampah di Bali tersebut di websitenya. Dengan judul agak sarkas, menyebut Bali sebagai neraka gara-gara sampahnya, maka artikel ini seperti menyodok banyak pihak terkait pengelolaan sampah.
Banyak pihak di Bali terkesan gerah dan gelagapan karena tulisan di TIME yang sebenarnya sudah sering ditulis media lokal tersebut. Salah satu alasannya klise, kalau Bali dicitrakan penuh sampah, maka kunjungan turis bisa berkurang, maka pariwisata bisa terganggu, maka ekonomi bisa kena dampak buruk.
Bisnis pariwisata adalah bisnis citra. Karena itu, citra bahwa Bali adalah pulau bebas sampah harus dijaga. Ini pula yang turut memengaruhi warga di Tanah Lot untuk mengolah sampah di tempat mereka.
“Kita harus berbuat sesuatu untuk menangani sampah di Bali. Biar tidak hanya saling menyalahkan,” kata Ketua Yayasan Korpri Universitas Warmadewa Anak Agung Gede Oka Wisnumurti.
“Tanah Lot biar tidak seperti di Kuta,” lanjutnya.
Sejak dua tahun silam, warga kemudian mencoba mengolah batok-batok kelapa itu menjadi bahan bakar briket. Warga membuat Gerakan Masyarakat Mandiri Mengelola Sampah (Gemaripah). Upaya ini didukung Yayasan Korpri Universitas Warmadewa, perusahaan air minum PT Aqua Investama Lestari, dan Pemerintah Kabupaten Tabanan.
Pengolahan batok kelapa menjadi briket sendiri hanya salah satu bagian dari semua tahap untuk menata pengelolaan sampah di Tanah Lot. Upaya lain adalah sosialisasi melalui dialog dan diskusi, kampanye pengelolaan sampah, serta pembentukan kelompok kebersihan.
Karena itu, menurut Ketua Gemaripah Made Sulindra, saat ini para pedagang dan warga di Tanah Lot pun mulai rajin melakukan gotong royong membersihkan sampah.
Warga melalui Gemaripah juga mulai mengolah sampah-sampah batok kelapa itu menjadi briket. Tempat pengolahan briket ini berada di bagian utara kawasan Tanah Lot, menempati satu bangunan berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi.
Sabtu lalu, dua warga menunjukkan cara pengolahan briket dari batok kelapa tersebut kepada beberapa blogger yang diundang melihat proses pengelolaan sampah di Tanah Lot.
Pengolahan batok kelapa itu termasuk cepat. Tak kurang dari 10 menit. Tiap batok kelapa, masih basah sekalipun, bisa langsung dipakai. Batok kelapa itu dimasukkan ke mesin pencacah sehingga menjadi seperti sabut-sabut kasar. Perlu dua atau tiga kali pencacahan agar sabut-sabut itu lebih halus. “Makin halus sabutnya, makin bagus kualitas briketnya,” kata Sulindra.
Sabut yang halus itu kemudian dicampur dengan serbuk kayu dengan perekat dari tepung kanji. Ada takaran tertentu dari masing-masing bahan yaitu sabut kelapa dengan serbuk kayu agar briket tersebut lebih bagus.
Adonan sabut kelapa dan serbuk kayu kemudian dipres dengan alat cetak agar bentuknya bulat serupa mangkuk terbalik. Bentuk briket mulai terlihat meski masih basah.
Briket basah ini kemudian dijemur antara 3-4 hari agar kering dan bisa dibakar.
Dalam sehari, warga bisa memproduksi 500 biji briket ini.
Namun, saat ini briket-briket tersebut masih menumpuk di tempat pembuatan. Menurut Sulindra, briket-briket yang sudah diuji coba pemanfaatannya itu bagus sebagai pengganti arang bahan bakar. Beberapa hotel di sekitar sana pun sudah pernah mencobanya.
Karena itu, menurut Sulindra, briket dari sampah batok kelapa itu potensial untuk dikembangkan dan dijual. “Kami masih menghitung kira-kira berapa harga jualnya,” kata Sulindra. [b]