Fenomena alam baru-baru ini membuat mata saya melotot takjub.
Walau saya melihatnya lewat Facebook tetap saja saya tercengang melihatnya karena itu pengalaman pertama dan kejadian itu termasuk langka di Bali. Hal yang membuat saya menarik napas dalam-dalam itu adalah saat menyaksikan angin kencang berputar-putar bak gangsing dan berhasil mengempaskan beberapa atap rumah di daerah padat peduduk di Denpasar.
Material-material peneduh seperti seng, kayu, genting dan lain sebagainya itu diisap naik oleh sang bayu dengan kekuatan luar biasa. Kalimat spontan yang keluar dari mulut saya pada saat itu mirip dengan respon nenek saya saat dia menyaksikan peristiwa-peristiwa aneh yang berkaitan dengan kejadian alam, ”Ini pertanda apa ya?”
Saya dibesarkan dengan tradisi bahwa kejadian alam yang serasa ganjil adalah sebuah sinyal akan datangnya sebuah musibah. Mitos kiamat dunia yang diawali oleh kejadian aneh-aneh masuk ke dalam benak saya. Dongeng-dongeng dari mulut nenek saya itu mendakwa bahwa kejadian alam yang aneh adalah sinyal sebelum kehancuran dunia. Sinyal ini berkaitan dengan ulah manusia yang tidak lagi bersahabat dengan alamnya, karena itu alam memberitahu lewat kejadian aneh-aneh.
Jika kehancuran dunia dikaitkan dengan ulah manusia maka kisah brutal manusia yang tak menghormati alamnya mengontrol imajinasi. Bayangan ratusan hektar lahan tandus karena pohonnya ditebang, langit-langit hitam pekat karena polusi asap pabrik, dan ikan-ikan menyembul mati karena lautannya tercemar limbah merasuk ke pikiran. Memang visual-visual horor tersebut dapat mengentak nurani. Tidak sedikit gara-gara kengeriannya merasuk pikiran akhirnya khalayak menafsirkan rusaknya lingkungan ketika secara visual terlihat gawat, dan bahayanya pemikiran seperti ini bisa menyepelekan sesuatu hal yang terkesan remeh.
Terkesan Sederhana
Masalah lingkungan pada dasarnya bukan melulu tentang visualnya yang horor dan mengerikan. Persoalan sehari-hari yang terkesan sederhana seperti pakaian kotor serta perabotan rumah tangga tergolek karena tidak terbasuh air, atau ibu-ibu berteriak panik anaknya belum mandi karena bak kosong, dan tidak bisa menanak nasi karena pancinya belum dicuci adalah bagian dari persoalan lingkungan di sekitar tempat saya. Tidak jarang suara menggerutu bahkan makian kepada penguasa acapkali muncul, “Padahal sudah bayar pajak, masih saja airnya ngadat”.
Barangkali karena kita telah terbiasa melihat persoalan rumahan dianggap persoalan privat maka persoalan lingkungan dianggap layak menjadi persoalan besar ketika terjadi di luar rumah kita. Di “luar” adalah persoalan “publik” dan rumah adalah “private” begitu pandangannya. Karena itu ketika jalanan umum banjir dua meter dan pohon-pohon besar ambrol menutupi jalan utama seringkali lebih cepat menjadi topik pembicaraan umum.
Tentu saja krisis air di lingkungan rumah saya, mungkin juga di rumah Anda begitu juga di rumah orang lain yang senasib dengan saya di Bali tidak mau diperparah lagi. Jika Anda sebagai wisatawan mau melihat ke dalam bak mandi di rumah warga, dan tidak terlelap akan jernihnya pemandangan kolam renang di hotel maka istilah “air untuk rakyat” hanyalah isapan jempol di pulau “seribu hotel ini”. Tepatnya “air untuk turis” karena kolam renang di hotel bintang lima dan vila mewah tidak pernah terlihat kering. Hamparan kebun di hotel dan vila selalu terlihat asri karena setiap pagi alat penyiram berputar-putar menyemprotkan air ke segala penjuru.
Jika kita mengaitkan persoalan keran ngadat ini dengan keinginan investor PT. Tirta Wisata Bahari Internasional (TWBI) mengurug Teluk Benoa dengan berkubik-kubik pasir dan batu agar terbentuk daratan seluas 838 hektar, maka bisa jadi ini sebuah pertanda musibah di masa depan. Rencananya di atas daratan buatan manusia itu akan dibangun tempat pelesiran super wah. Bayangkan ruwetnya persoalan domestik warga dalam hal cuci-mencuci, masak-memasak, rebus-merebus dan siram-menyiram jika air tanah di Bali diarahkan ke pipa-pipa tempat pelesiran super megah tersebut.
Jujur saja prediksi saya tentang kejadian buruk akan nyata terjadi jika proyek ini dilangsungkan adalah bayangan yang muncul saat saya berdialog dengan diri sendiri, prihal sinyal apa yang diberikan kepada manusia Bali ketika sang Puting Beliung unjuk aksi. Bukan berarti sok-sok mistis, saya sadar itu itu tidak ilmiah, namun apa daya pikiran kadang tak bisa terkontrol. Tiba-tiba saja hal itu berkoneksi ke polemik tak berkesudahan rencana urug laut teluk Benoa.
Yang jelas saya punya alasan mengapa saya meprediksikannya gawat di masa depan terlepas dari kehadiran “tornado” mini tersebut. Teluk Benoa berada di bagian Bali Selatan, yang dikenal sebagai daerah padat penduduk, dan pembangunan gedung-gedungnya terkenal pesat. Pembangunan di Bali selama ini terpusat di daerah Bali Selatan. Denpasar, Kuta, Jimbaran, dan Nusa Dua berada di Bali selatan. Rumah saya berada di daerah selatan, oleh sebab itu umpatan komplain di pagi hari karena air ngadat adalah keseharian saya dan para tetangga.
Merayu Wisatawan
Bisa dibayangkan jika benar proyek itu diberikan jalan mulus oleh negara, maka diskriminasi air akan terasa semakin keras sebab logika yang bayar banyak akan dapat air lebih banyak semakin tak terbantahkan. Bagi warga berkocek tipis akan terhimpit dan kalau ingin selamat dari krisis air mereka harus menjadi “wisatawan” di pulaunya sendiri agar dapat berlimpah air.
Seandainya proyek “urug laut” itu terwujud maka tidak ada yang berubah di era reformasi ini yaitu masyarakat Bali termasuk sawah, hutan, air serta kebudayaannya ditakdirkan mengabdi dan dipersembahkan kepada kepentingan para boss atas nama pembangunan pariwisata. Seharusnya pariwisata yang mengabdi kepada masyrakat, alam dan kebudayaan di pulau surga ini, namun apa daya beberapa elit pemangku kebijakan tetap getol ingin menggolkan hasrat investor.
Komplain-komplain warga bernuansa persoalan rumahan ini kalau kita tempatkan ke dalam persoalan lebih luas mengenai ketidakadilan pariwisata, maka komplain itu bukanlah umpatan enteng yang tidak memiliki bobot. Justru komplain itu tajam menohok mempertanyakan serta mengkritisi posisi dan sikap pilih kasih negara selama ini.
Gemuruh ibu-ibu protes karena anaknya belum mandi, dan nasinya belum bisa dimasak adalah sebuah refleksi, apakah warga negara itu memang benar ada atau sebaliknya yang ada sebenarnya “budak negara”? Warga merasa dirugikan karena pada dasarnya warga ikut berkontribusi menghidupi negara lewat pajak, dan warga dirayu-rayu untuk ikut serta di dalam Pemilu. Tidak hanya energi warga diperas lewat pajak tanah, listrik, telpon, air dan lain sebagainya namun kebudayaannya juga tak lepas. Masyarakat Bali dinina-bobokan oleh pidato para pejabat bahwa pelestarian tradisi itu penting agar tradisi leluhur tidak punah. Tanpa perlu diberitahu pejabat, masyarakat Bali sejatinya telah mengeluarkan banyak energy entah uang, tenaga, waktu dan emosi untuk menjalankan ritus-ritus warisan leluhur.
Keterlaluan, respon para petingi terhadap semangat masyarakat dalam melestarikan ritus-ritus adalah dengan cara yang merusak yaitu “pelestarian eksploitasi”. Ketulusan manusia Bali menjalankan ritus-ritus itu dieksploitasi untuk dijadikan “alat” yang bisa merayu wisatawan agar datang ke Bali lewat foto-foto, film, guide book, iklan, brosur, ataupun website hotel dan vila. Bukan berarti melarang orang asing untuk menikmati keindahan budaya Bali, tetapi ketidakadilan yang diciptakan pemerintah dalam mengelola “kapital kebudayaan” menciptakan ironi miris. Hasil yang didapatkan adalah fenomena rancu bagaikan orang salah kostum, yaitu ritus-ritus produk leluhur kaum tani tetap lestari, sedangkan penguasa-pengusaha sibuk melestarikan penggusuran lahan tani.
Persawahan sebagai landasan berpijak tradisi Bali musnah karena petani minim subsidi dari pemerintah. Pupuk mahal, ngurus sawah mahal, beras impor menyerbu, dan bombardir rayuan manis investor kepada petani yang putus asa tidak mengenal jeda. Bahkan tidak sedikit situasi ini merubah petani yang putus asa itu menjadi calo tanah. Ironis, sebab mereka para calo ini merayu kawan-kawannya yang dulunya sama-sama diajak menggarap sawah untuk melepaskan sawahnya. Ini bukan salah petani, namun sebuah situasi yang dikondisikan oleh pemerintah berjiwa calo.
Pendapat miris kerap muncul bahwa Bali adalah pulau dengan sawah menguning sebatas postcard. Tidak heran pura subak tanpa sawah menjadi pemandangan norak di pulau seribu Pura ini.
Tulisan ini bukan bermaksud anti pariwisata ataupun menolak kemajuan namun ingin memaparkan kejadian aneh tapi nyata di pulau Dewata. Sikap penguasa yang pro terhadap keinginan pengusaha dalam mencari keuntungan sebesar-besarnya menjadikan pariwisata mirip “binatang buas” tak terkontrol dan menggigit pulau, manusia, tanah, sawah, dan kebudayaannya. Sekarang lautan pun diincar untuk dilahap lewat upaya reklamasi Teluk Benoa.
Reklamasi Teluk Benoa memang belum terwujud, dan kecemasan para penolak rencana proyek ini acapkali dianggap bentuk paranoid oleh pihak-pihak yang sinis. Para penolak dianggapnya terlalu panik terhadap sesuatu yang belum ada. Maklum saja sudah menjadi kebiasaan umum bahwa suasana riuh menggelora dan kepedulian muncul ketika bencana memang benar terjadi, terlihat parah, menyeramkan dan menciptakan korban. Apalagi kerusakan lingkungan di belahan dunia lainya jauh terlihat lebih parah berdarah-darah dan menjadi sorotan dunia international, sehingga persoalan kecemasan yang belum terbukti dan disorot segelintir media ini dianggap tidak layak sebagai sebuah persoalan besar untuk diangkat.
Tebarkan Duri
Namun harus disadari bahwa yang diuntungkan dari sikap menunggu “bukti” sampai benar-benar terjadi bencana adalah penguasa-pengusaha. Langkah mereka semakin mulus tak ada hambatan. Logika menunggu bencana pada dasarnya sama saja dengan pasrah, sehingga tidak ada yang menebarkan duri di jalan yang dilalui para rakus.
Masyarakat Bali sangat percaya dengan hukum Karmaphala bahwa apa yang kita dapatkan sekarang hasil dari perbuatan kita sebelumnya, begitu juga sebaliknya jika berbuat tidak baik di hari ini akan berdampak tak baik di masa depan. Sang Waktu tidak akan pernah buta, perbuatan merusak akan menghasilkan pahala yang merusak. Sering terngiang di telinga respon masyarakat yang gerah terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa oleh investor, “orang serakah akan terkena hukum Karma”.
Saya meyakini hal itu, tetapi bukan berarti kita harus berdiam diri dan membiarkan persoalan tersebut diurus hukum karma. Patut dingat membiarkan proses perusakan yang pada dasarnya kita lihat sama saja akan menciptakan petaka buat kita. Membiarkan terkadang sangat tipis perbedaannya dengan merelakan perusakan. Membiarkannya akan membuat kita memetik pahala perusakan.
Menolak reklamasi Teluk Benoa adalah sebuah sikap menolak “pengulangan” sejarah yaitu sejarah eksploitasi segala lini entah alam, manusia, serta kebudayaannya oleh para rakus bersenjatakan tahta dan harta. Karena itu menolak proyek reklamasi Teluk Benoa adalah sebuah upaya merebut masa depan agar anak cucu nanti tahu bahwa di Bali tidak hanya memiliki leluhur maruk jual tanah air. Bahwa orang-orang tercinta anda di kemudian hari mempunyai contoh seseorang ibu, bapak, paman, bibi, kakek, dan nenek yang berani mengatakan kebenaran. Bukan yang salah dibenarkan ataupun yang benar disalahkan.
Hidup mengajarkan kita tidak ada garis tegas antara hitam dan putih. Pengalaman hidup mengajarkan tidak ada sosok absulut yang benar-benar baik bak malaikat. Bila kita mau mengingat masa bocah dulu ketika ibu kita medongeng anaknya sebelum tidur dan merefleksikannya, maka kita sadar dongeng tentang kepahlawanan adalah sebuah upaya merebut masa depan agar buah hatinya tidak tumbuh menjadi manusia tak bernurani. Walau ibu tahu dunia nyata tidak hitam-putih, namun dia tidak pernah berhenti mendongengkan bahwa kebajikan itu absolut.
Menolak upaya reklamasi Teluk Benoa adalah sebuah upaya merebut imajinasi generasi ke depan yang tidak muskil akan dikelilingi oleh pemimpin-pemimpin tak berhati nurani. Bisa saja sosok-sosok bengis itu mempengaruhi pemikiran buah hati anda untuk menjadi mahluk tamak yang ingin menelan pulau beserta lautan di mana dia dibesarkan.
Jika Anda sepakat, mari bersulang dan tebarkan duri sebelum terlambat… Astungkara. [b]