Jalak Bali, satwa endemik Bali makin menurun populasinya.
Ia dicuri dan diperjualbelikan dari habitatnya di sebagian wilayah Bali Barat. Namun, pencurian dan memperdagangkan Jalak Bali tak terjadi di Nusa Penida, pulau di Kabupaten Klungkung.
Justru, mereka terjaga dan hidup berdampingan dengan masyarakat. Kenapa bisa?
Memasuki minggu ke dua di bulan Oktober. Usai solat magrib, Sudariyanto (57) memandangi komputer jinjingnya di teras, lantai kedua sebuah bangunan terbuat dari kayu dan bambu. Sudah hampir setahun ia menetap di bangunan mirip rumah dua tingkat itu. Rumah itu berada di Desa Ped, Nusa Penida.
Hanya berjarak selemparan batu ada beberapa sangkar burung di depan rumah itu. Luasnya sekitar 15 x 8 meter. Ada empat sangkar burung semacam itu. Masing-masing sangkar burung dihuni dua ekor jalak bali.
Menurut Surariyanto kandang sengaja dibuat besar agar burung bisa leluasa terbang. Jalak bali di kandang-kandang ini akan dilepasliarkan. “Sebelum dilepasliarkan, mereka harus dikandang dulu sekitar empat bulan, agar bisa beradaptasi dengan lingkungan di sini,” terang Surariyanto.
Di kantor Friends of the Nasional Park Foundation (FNFP) itu ia membuka beberapa laporan sebagai bahan menyelesaikan desertasi. Ia mahasiswa S-3 Universitas Gajah Mada yang sedang melakukan penelitian sejak tahun 2013 lalu. Penelitiannya soal jalak bali di Nusa Penida.
Sebelumnya, di siang hari ia menunjukkan sebuah jurnal. Jurnal itu membahas soal burung berbulu putih gradasi hitam dan biru itu. Penulis jurnal setebal 16 halaman itu Sudariyanto, Tjut Sugandawaty Djohan, Satyawan Pudyatmoko, Jusup Subagja. Mereka memberinya judul perilaku Jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat dan Pulau Nusa Penida.
Dalam jurnal itu dijelaskan, jika sejak tahun 1966, burung bernama latin Leucopsar Rothschildi itu oleh International Union for Conservation of Nature Red List of Threatened Species dan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) mengelompokkannya sebagai satwa terancam punah dengan kategori kritis (Critically Endangered). Indonesia telah melindungi jalak bali sejak tahun 1970.
“Habitat Jalak Bali sebenarnya ada di wilayah Seririt, Pupuan, Selemadeg sampai ke Taman Nasional Bali Barat (TNBB),” ujar Sudariyanto. Ia juga menjelaskan jika di TNBB populasi Jalak Bali semakin menurun.
Sudariyanto mencatat, sedikitnya ada 89 kasus pencurian terjadi di TNBB yang terjadi dari tahun 1993 sampai 2011. Pencurian jalak bali paling banyak terjadi di Penangkaran Tegal Bunder TNBB. Data lain dari Asosiasi Pelestari Curik Bali menjelaskan jika pada tahun 2011 di TNBB, jalak bali hanya tersisa empat ekor.
Harganya yang wah membuat sebagian orang tergiur untuk mencuri jalak bali. “Harga jalak bali bisa mencapai Rp 50 juta per ekor,” kata Sudariyanto.
Makin maraknya pencurian jalak bali di wilayah Bali Barat terutama di TNBB membuat sebagian orang prihatin. Mereka yang prihatin dengan keadaan itu melakukan berbagai cara. FNFP contohnya, yayasan ini melakukan upaya konservasi jalak bali, konservasi habitat, sampai melakukan pemberdayaan masyarakat agar mau menjaga dan tak menangkap apalagi memperjualbelikan Jalak Bali. Yayasan ini melakukannya di Nusa Penida sejak tahun 2006.
I Gede Nyoman Bayu Wirayudha (47) Direktur FNPF menerangkan, Nusa Penida merupakan tempat paling aman untuk burung hidup, jika membandingkannya dengan wilayah lain yang ada di Bali. Buktinya di tempat ini terdapat 72 jenis burung. Beberapa nama burung yang familiar di telinga masyarakat adalah kakak tua, perkutut, kutilang dan cendet.
“Pulau sekecil Nusa Penida memiliki 72 jenis burung adalah hal yang luar biasa terutama bagi para birdwatching,” seru Bayu.
Tak mudah untuk mengembalikan populasi jalak bali di Nusa Penida. Apalagi dulu di Nusa Penida juga ada jalak bali, warga sekitar menyebutnya curik. Curik itu juga sudah punah. Kasusnya sama seperti di Bali Barat, sebagian orang menangkap dan memperjualbelikan curik bali, tapi pelakunya jarang sekali bahkan nyaris tak pernah terungkap dan tertangkap.
Jero Mangku Gede Sujana (57) warga Dusun Pendem, Banjar Pendem, Desa Adat Pet yang seumur hidupnya tinggal di Nusa Penida menuturkan, “Curik bali sudah lama sekali tidak ada, sekitar lima tahun terakhir baru ada lagi. Setahu saya, yang melestarikannya lagi adalah Bayu dan teman-temannya di FNFP.”
Bayu dan rekan-rekannya sejak tahun 2006 mulai mendekati warga Nusa Penida. Tujuannya mengajak masyarakat bersama-sama turut serta untuk kembali melestarikan habitat jalak bali di Nusa Penida. Ia menjelaskan, awalnya ia dan rekan-rekan FNPF melakukan cara gerilya dengan menyisipkan pesan jika akan ada pelestarian dan pelepasliaran jalak bali di Nusa Penida. Bayu dan rekan-rekannya menitipkan pesan itu ke acara pernikahan sampai datang dan titip pesan di rapat-rapat yang diadakan di desa adat.
Akhirnya semua bendesa adat dan warga sepakat untuk tidak mengganggu habitat jalak bali di Nusa Penida. Komitmen itu tertuang dalam awig-awig atau peraturan di masing-masing desa adat yang ada di Nusa Penida.
Majelis Alit (Ketua dari seluruh bendesa adat atau kepala desa adat yang ada di Nusa Penida -red) Desa Pakraman Kecamatan Nusa Penida, I Wayan Supartawan (59) menerangkan, jika di Nusa Penida ada 16 Desa Dinas dan 46 Desa Adat.
Supartawan melanjutkan penjelasannya, “Sebenarnya peraturan untuk tidak menangkap burung yang tercantum di dalam awig-awig desa adat, sudah ada di beberapa desa adat di Nusa Penida sejak tahun 2004. Namun, saat itu belum seluruh desa adat memiliki peraturan ini dalam awig-awig. Sekarang semua desa adat sudah memiliki peraturan itu.”
“Dasar peraturannya ada dalam Tri Sandya bait ke enam, yang artinya setiap mahluk hidup perlu mendapat perlindungan untuk mencapai kedamaian dalam hidupnya. Oleh karena itu kita putuskan saat itu untuk membentuk peraturan yang melarang penangkapan segala jenis burung yang hidup di Nusa Penida. Namun, saat ini memang belum ada aturan dalam awig-awig yang secara khusus mengatur pelarangan menangkap Jalak Bali,” tutur Supartawan.
Lebih lanjut, Supartawan menjelaskan, hukuman jika melanggar peraturan ini adalah pertama diberi peringatan, kedua disidangkan dihadapan bendesa adat atau dirapatkan. Lalu terakhir, jika masih melanggar dikenakan denda Rp 2.500.000.
Namun, kita sedang menyusun peraturan yang harus dipatuhi oleh seluruh desa adat. Jadi, jika saat ini masing-masing desa adat punya peraturan sendiri-sendiri soal pelarangan menangkap burung, nantinya akan ada peraturan yang sama soal pelarangan menangkap burung dan harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat.
Kita akan susun peraturan beserta sanksinya, harapannya sanksi yang diterapkan nanti adalah sanksi moral, yaitu berupa pengumuman ke seluruh masyarakat jika ada yang menangkap burung. Kenapa sanksi moral? karena masyarakat di Nusa Penida dan Bali umumnya sangat takut dengan sanksi semacam ini, karena dapat membuat malu, bukan hanya bagi pelaku tapi juga keluarganya. Selain itu, bisa saja pelaku yang menangkap burung dikucilkan dalam masyarakat.
Sebenarnya tidak mudah mengajak masyarakat untuk mau dan taat terhadap pelarangan menangkap jalak bali. Supartawan menuturkan, awalnya sebagian warga menolak ketika masing-masing desa adat akan menerapkan awig-awig. Peraturan desa adat itu melarang menangkap burung di wilayah Nusa Penida.
Masyarakat yang menolak beralasan, jika burung-burung yang ada di Nusa Penida merupakan hama, termasuk jalak bali. Burung-burung itu sering makan tumbuhan dan tanaman warga. Namun setelah diberi penjelasan, akhirnya warga yang menolak itu mau untuk mengikuti aturan yang diterapkan.
Setelah mendapat lampu hijau dari masing-masing bendesa adat dan masyarakat Nusa Penida. Akhirnya FNFP melakukan pelepasliaran untuk pertama kalinya pada tahun 2006.
Pada tahun itu sampai tahun 2007 FNPF bekerja sama dengan yayasan lain melepasliarkan 65 burung jalak bali. Burung-burung itu sebagian bantuan dari yayasan lain yaitu Begawan Giri Sedangkan tahun 2011, 2012, 2013 FNFP melepasliarkan 20 jalak bali. Burung-burung itu beli dari penangkaran burung jalak bali di daerah Jawa dan Bandung.
Lebih dari delapan tahun, FNFP bekerja sama dengan pihak lain, dari yayasan, akademisi, kepala desa dan masyarakat berjuang mengembalikan habitat Jalak Bali di Nusa Penida. Kini hasilnya mulai tampak.
Hasil perhitungan setahun terakir yang dilakukan Sudariyanto, menunjukkan adanya peningkatan populasi jalak bali di Nusa Penida. Dari total 31 ekor pada bulan November 2013 meningkat menjadi 61 ekor pada Juni 2014. Berbading terbalik dengan populasi Jalak Bali yang ada di TNBB.
“Sebagian besar populasi jalak bali ada di Desa Ped dan Desa Sakti,” ujar Sudariyanto.
Supartawan menjelaskan betapa efektifnya penerapan awig-awig untuk menjaga habitat Jalak Bali di Nusa Penida. “Selama diterapkannya awig-awig soal pelarangan menangkap burung, baru dua kali terjadi kasus pencurian. Pertama ada warga yang mencuri perkutut. Ia didenda, harus bayar empat karung beras. Kasus lain adalah percobaan menyeberangkan Jalak Bali di sekitar pelabuhan Desa Sakti, namun berhasil digagalkan. Pelaku masih dalam proses pengejaran”
Kini jalak bali bisa hidup berdampingan dengan masyarakat Nusa Penida. Selain dua kasus itu, tak pernah lagi terdengar ada yang berani menangkap burung termasuk jalak bali. Alasannya, karena warga takut pada peraturan adat atau awig-awig.
Selain itu, ketika jalak bali datang, warga senang. “Akhirnya saya mendengar lagi kicauan Jalak Bali jam 5 pagi,” Sujana bilang. [b]