Sejak Juni 2011 hingga sekarang, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Kerobokan, Bali mengalami dua kali kerusuhan. Pertama, pada masa akhir kepemimpinan Kepala Lapas Siswanto 25 Juni 2011 silam. Kedua, pada 22 Februari 2012 lalu. Tidak tanggung-tanggung kerugian negara mencapai miliaran rupiah akibat Lapas diamuk narapidana. Mereka tidak puas dengan kepemimpinan Lapas Kerobokan.
Bowo Nariwono yang baru tiga bulan menjabat Kalapas pun kena imbas. Dia dimutasi. Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) Kerobokan Nanang yang dianggap arogan dan diskriminatif terhadap narapidana juga dicopot dari jabatannya.
Dalam catatan sejarah, kerusuhan di Lapas Kerobokan pada 22 Februari 2012 lalu merupakan amuk narapidana terbesar yang pernah terjadi di Pulau Bali. Lapas dibakar dan diduduki narapidana selama delapan jam. Kerusuhan diwarnai baku antara hantam narapidana versus petugas Lapas dibantu kepolisian. Kerusuhan berakhir dengan diterjunkannya militer untuk mengendalikan situasi.
Narapidana ‘dijinakkan’ dengan mematikan akses listrik, mengurangi kekuatan massa dengan melayar (memindahkan) beberapa narapidana ke Lapas lain. Untuk sementara, situasi lapas saat ini tampak terkendali.
Namun, bara kebencian yang tersulut semudah itukah dipadamkan? Apakah jalan keluar itu telah menjawab akar persoalan Lapas? Mengapa narapidana berani mengambil risiko melakukan tindakan anarkis seperti itu?
Konsekuensi buruk tindakan itu telah mereka ketahui sebagai warga binaan. Kerusuhan yang mereka lakukan mungkin akan membakar hidup dan usia mereka lebih lama di dalam lapas.
Akumulasi kerusuhan Lapas Kerobokan lalu tidaklah sesederhana rumor selama ini, seperti perkelahian atau persoalan utang piutang sesama narapidana. Ini terlalu naif. Mereka tidak akan mengorbankan diri dengan membakar “rumah” dan membakar dokumen menyangkut masa depan “hidup dan usia” mereka sendiri hanya untuk kepentingan ecrek-ecrek orang-perorangan seperti itu.
Faktanya, gerakan massa akar rumput kelompok narapidana melawan rezim penguasa lapas merupakan tindakan serius. Hal mendasar di balik kerusuhan ini merupakan perjuangan penegakan harkat dan martabat mereka sebagai warga negara Indonesia dan sebagai warga binaan pemasyarakatan (WBP). Hak-hak manusiawi mereka begitu lama tercerabuti. Misal, hilangnya keadilan tanpa diskriminasi, rasa aman, pelayanan kesehatan yang memadai, dan perlakuan yang lebih manusiawi disertai penghargaan.
Stigma dan Paradigma
Dalam sosiologi, narapidana sering dikategorikan sebagai orang berperilaku menyimpang dengan melanggar norma sosial dan hukum yang berada di dalam Lapas. Mereka telah mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menjadi penghuni Lapas (setelah, istilah penjara tidak digunakan lagi). Narapidana sendiri sesungguhnya adalah istilah usang yang kini telah diganti dengan sebutan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP).
Istilah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan WBP sesungguhnya dapat dibaca sebagai upaya pemerintah untuk mengubah paradigma, bahwa Lapas sesungguhnya dapat menjadi semacam “asrama” di mana penanggungjawab Lapas dapat memberikan pembinaan kepada warga untuk mengubah perilaku diri, pada waktu masa kurungan badan mereka usai, mereka dapat kembali dan diterima oleh lingkungan di mana mereka tinggal. Dengan demikian, WBP bukanlah “mayat hidup” yang mengubur diri selamanya di balik tembok “asrama” pemasyarakatan.
Namun, jika benar paradigma ini ditujukan untuk “terapi” perilaku bagi WBP, seharusnya Lapas di seluruh Indonesia melibatkan lebih banyak lagi para profesional seperti psikiater dan psikolog untuk bekerja bagi lapas-lapas di tanah air, selain penguatan spiritual yang telah lebih dulu dilakukan tokoh-tokoh agama.
Pada masa kolonial Belanda, penjara lebih banyak digunakan untuk menahan pribumi yang melawan rezim penguasa. Perlakuan yang diterima narapidana ini cenderung sangat rasial dan tidak manusiawi. Kini zaman telah berubah. Penghuni Lapas hari ini begitu kompleks. WBP bukan saja bromocorah pelaku pelanggaran dan kejahatan. Mereka bisa saja mendekam di Lapas karena menjadi korban politik kebijakan (perusahaan, partai) hingga korban dari praktik mafia peradilan.
Selain itu, tidak sedikit WBP asing di Bali adalah “orang sial” yang salah tangkap atau karena ‘rabun’ hukum. Contohnya saja pada kasus Eva. Perempuan 52 tahun warga Hungaria selama 1.5 tahun ditahan tanpa pengadilan di Lapas Kerobokan. Untung berkat bantuan media massa akhirnya ia bisa menghirup udara bebas. Eva tidak saja kehilangan kemerdekaan, bisnisnya di Bali tetapi keluarganya juga menjadi hancur berantakan.
Faktanya, perubahan paradigma penjara menjadi Lapas ini belum sepenuhnya mengubah tradisi birokrasi kolonial yang melekat pada tindakan para petugas pemasyarakatan.
Perilaku arogansi oknum petugas Lapas, masih jauh dari harapan. Pemerasan, penindasan dan mobilisasi narapidana untuk kepentingan politik Lapas masih kental mewarnai kehidupan Lapas. Para oknum petugas ini merasa diri mereka seolah-olah penentu kehidupan para WBP, khususnya memuluskan WBP untuk bertemu keluarga dan “penentu tiket pulang” menuju kebebasan.
Jalan kebebasan semakin sulit diperoleh WBP, sehingga lembaga pemasyarakatan “bengkak”. Jumlah WBP yang masuk terus bertambah sementara yang keluar begitu terbatas.
Kapasitas Berlebih
Jumlah penghuni Lapas di Indonesia sekitar 145.000 sementara daya tampungnya hanya untuk 95.000. Kalapas Kerobokan pun sering curhat pada media tentang kelebihan penghuni. Lapas untuk 300-an WBP kini berisi lebih dari 1.000 tahanan dan narapidana. Di sisi lain, jumlah petugas sedikit dengan gaji minimal. Hal ini dikeluhkan sebagai pemicu terjadinya kerusuhan di dalam Lapas.
Secara kultural perlu disadari, Lapas di setiap daerah memiliki karakteristik sesuai kasus-kasus pelanggaran atau kejahatan dominan. Misalnya, Nusa Kambangan dikenal sebagai Lapas untuk pelaku kriminalitas berat, Cipinang didominasi kasus korupsi dan narkoba, Papua mungkin didominasi dengan para aktivis politik yang ingin merdeka dari Indonesia.
Kelompok komunitas Lapas makin variatif, terdiri dari beragam kelompok etnis, kelompok ras, jenis gender (jenis kelamin, kelompok usia dan latar belakang profesi). Kelompok inilah membentuk ragam subkultur komunitas dalam Lapas. Berdasarkan data media, dari 1000-an WBP di Lapas Kerobokan hampir 50 persen WBP terlibat kasus narkoba dan 50 persen kasus kasus pelanggaran dan kejahatan. Ada sekitar 60 warga negara asing.
Ada beberapa persoalan dan solusi terkait kelebihan kapasitas Lapas, khususnya terkait kinerja kepolisian, manejemen administrasi khusus untuk “in-out WBP”, aspek gender dan masalah residivis.
Pertama, akar persoalan over kapasitas perlu mengkaji ekspektasi pejabat kepolisian dalam menetapkan prestasi bagi bawahan yang cenderung berdasarkan besaran jumlah ‘tangkapan’. Memang betul meningkatnya jumlah orang yang ditahan bisa menjadi indikator semakin meningkatnya kesadaran hukum warga negara. Namun, belakangan ini kasus-kasus kecil, seperti pencurian sandal jepit, pencurian 6 piring, lansia yang mengisi hari tua dengan berjudi kartu dan pencurian beberapa tandan pisang pun heboh mewarnai pengadilan bagi masyarakat kecil. Sementara, di sisi lain, kasus-kasus yang menggurita dibiarkan menentukan pemenangnya dari pemain sendiri.
Berahi menangkap untuk “memenjarakan” orang demi pangkat serta maraknya mafia peradilan yang tidak memberikan rasa keadilan perlu mendapat kajian serius bagi mereka yang bertugas menegakkan, merevisi sistem hukum dan perundang-undangan di tanah air dengan mempertimbangkan ekses penerapannya di lapangan. Dalam pengamatan saya, belakangan ini kerja produktif DPR adalah mencetak hukum dan perundang-undangan secara begitu produktif namun mengabaikan penyelesaian persoalan, mendasar yakni kemiskinan dan tidak sejahteranya rakyat Indonesia di segala bidang kehidupan.
Upaya-upaya mediasi yang dimungkinkan dalam proses hukum dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat seperti terabaikan dalam penyelesaian sengketa. Padahal, dalam paradigma perpolisian terkini, paradigma Perpolisian Masyarakat (Polmas) seyogyanya menempatkan kemitraan polisi dengan masyarakat sebagai relasi penting, khususnya dalam penyelesaian konflik sosial. Dengan demikian tidak muncul pemikiran seolah-olah polisi secara “kalap” menjadi pemasok manusia terbanyak ke dalam Lapas.
Ekspektasi pihak kepolisian seperti itu tentunya perlu mempertimbangan beban negara untuk membiayai hidup tahanan dan WBP serta biaya logistik dan fasilitas yang ditanggung negara. Katakanlah, pengeluaran untuk logistik pangan WBP di Lapas Kerobokan 10.000 perhari x 30 hari x 12 bulan x 1.000 WBP, maka perlu Rp 36 milyar per tahun anggaran untuk membiayai WBP yang (terpaksa) tidak produktif. Ini belum meliputi fasilitas air, listrik dan gaji pegawai.
Tidak itu saja, diperkirakan kerugian warga mencapai Rp 8,4 miliar per tahun akibat menjadi tahanan dan WBP. Mereka kehilangan penghasilan akibat menjalani kurungan badan, dengan asumsi upah kerja Rp 700.000 per bulan bulan per orang x 1000 WBP x 12 bulan. Dengan hitungan sederhana ini tentunya penyelesaian persoalan hukum perlu mempertimbangkan ekses lanjutan dari penetapan prestasi menambah jumlah tangkapan manusia.
Keadaan ini belum diperparah dengan nilai Rp 480 juta per tahun kocek yang harus dikuras masyarakat untuk bisa sekadar berkunjung dan melihat anggota keluarga mereka di dalam Lapas.
Perhitungan ini didasarkan pengamatan saya mendampingi klien perempuan sejak 2007, saat menjabat sebagai Kordinator Forum Komunikasi Mitra Kasih Bali, hingga 2011 saat menjadi Ketua NAPI BALI yakni, Aliansi Nasional Penegakan Hak Asasi Tahanan, Narapidana dan mantan Narapidana (sebelum skandal kerusuhan yang pertama) di Lapas Kerobokan Bali. Angka spektakuler tersebut merupakan perhitungan sederhana.
Omzet yang bisa diraup Lapas hanya melalui “‘tiket masuk” pengunjung dengan asumsi perhitungan, seperti ini:
Jam kunjungan 5 hari kerja x 2 shift (pagi dan siang) x 100 nomor antrian x Rp 10.000 (pos II dan pos IV) x 4 minggu per sebulan x 12 bulan = Rp 480.000.000 alias 480 juta!
Jumlah ini belum termasuk perhitungan jumlah kunjungan yang membludak pada hari-hari raya, harga nomor antrean paling kecil, hingga perpanjangan waktu besuk dan tiket parkir kendaraan. Pungutan semacam ini tidak jelas karena pengunjung tak pernah diberikan karcis resmi.
Semakin banyaknya warga yang ditangkap atau “diumpan” demi tangkapan lebih besar, menunjukkan kegagalan kepolisian mencegah terjadinya motif dan tindakan kejahatan. Tidak itu saja, dalam skala lebih luas persoalan kemiskinan, angkatan kerja dengan upah tidak layak dan meningkatnya angka pengangguran juga ditengarai memicu pelanggaran dan kejahatan makin marak di Pulau Bali.
Terkikis
Tidak seorang pun di dunia ini bercita-cita memiliki masa depan di dalam tembok “penjara”. Keadaan di atas dapat memicu dan menyebabkan kebutuhan masyarakat untuk hidup aman semakin terkikis, selama penegakan hukum masih menjadikan “pemenjaraan” sebagai tujuan utama.
Pemiskinan akibat sistem hukum berbasis pemenjaraan juga memprihatinkan. Bagaimana tidak? Ada ratusan kepala keluarga yang kehilangan mata pencaharian, ada ratusan keluarga mengalami krisis keuangan dan kebangkrutan. Nyaris, 75 persen nasib WBP mengalami perceraian. Anggota keluarga pun tercerai berai akibat tekanan sosial dan ekonomi. WBP perempuan lebih berat lagi. Mereka makin terpuruk tidak saja kehilangan harta, rumah tinggal, juga bisa kehilangan keluarga. Jelas, visi program untuk memasukkan lebih banyak warga ke Lapas perlu dikaji ulang sehingga akar persoalan pelanggaran dan kejahatan dapat diselesaikan dengan baik.
Kedua, over kapasitas juga dapat terjadi karena manejemen administrasi yang perlu dibenahi khususnya dalam menetapkan remisi, asimilasi dan pembebasan bersyarat. Penilaian “kelakuan baik” WBP tentunya sangat subjektif dan tergantung “mood dan perasaan” petugas Lapas. Penilaian subjektif ini rawan diskriminasi sosial.
Fakta lain menunjukkan, tidak sedikit WBP yang tidak memiliki surat penetapan keputusan pengadilan sehingga mereka tidak tahu kapan waktu bebasnya. Pada banyak kasus, surat pembebasan WBP datang sangat terlambat. Hal yang lebih sering terjadi, oknum petugas menginformasikan bahwa surat pembebasan itu masih ‘nyangkut’ di kantor Kanwil Hukum dan HAM. Untuk mempercepat prosesnya, maka WBP mesti merogoh dompet keluarga mereka lebih dalam. Benar atau tidak informasi ini, hanya petugas itu dan Tuhan saja yang tahu.
Sebab, selain uang, “hubungan baik” di antara petugas juga menentukan siapa yang boleh keluar dari “penilaian” petugas. Pada konteks ini, petugas Lapas sangat memahami kekuasaan mereka yang nyaris mendekati “Tuhan” dalam memperpanjang dan memperpendek napas WBP. Kekuasaan inilah yang kadang menjadikan oknum petugas tergiur memaksimalkan kekuasaan dan kewenangannya untuk kepentingan pribadi. Mereka memanfaatkan kelemahan WBP yang tergiur menjadi orang bebas.
Tidak ada yang gratis bagi WBP untuk sekadar bertanya kepastian kapan mereka bisa pulang. Padahal itu adalah hak. Oknum petugas semacam ini seringkali bekerja melebihi wewenang. Tidak hanya oknum petugas laki-laki, petugas perempuan pun melakukannya. Pengelolaan Lapas membutuhkan pembenahan serius. Misalnya, WBP mendapat salinan dokumen putusan pengadilan sehingga tahu kapan mereka dibebaskan.
Manajemen administrasi masuk dan keluarnya perlu WBP diperbaiki sehingga penghitungan remisi, asimilasi maupun pembebasan bersyarat bisa diberikan secara adil dan tepat waktu. Dan yang terpenting, petugas terbuka dengan harga untuk mengurus proses tersebut. Tanpa standarisasi harga, oknum petugas tidak bertanggung jawab rentan menyalahgunakannya.
Simpang Siur
Administrasi Lapas belum terang benderang. Berapa harga pengajuan asimilasi, pembebasan bersyarat saat ini? Semua masih simpang siur. Harga pengurusan asimilasi dan pembebasan bersyarat bervariatif, antara Rp 700.000 hingga Rp 1.500.000 per orang. Tarif ini tergantung kebijakan oknum petugas. Untuk perbaikan manajemen ini, transparansi tarif tersebut akan memberikan nilai keadilan bagi WBP.
Bagaimana nasib WBP tak berduit? Sudah pasti kemerdekaan mereka terancam. Hidupnya akan terkatung-katung dan mendekam dalam Lapas entah sampai kapan. Jadi, jangan salahkan jumlah WBP makin gendut saja.
Ketiga, kelebihan kapasitas Lapas dalam kasus Lapas Kerobokan membutuhkan penjelasan mengapa 50 persen pecandu narkoba tidak dipisahkan dari Lapas dan diserahkan pada penanganan lembaga rehabilitasi kesehatan? Jumlah kecanduan narkoba semakin meningkat. Jumlah mereka yang keluar masuk Lapas juga cenderung meningkat.
Begitu juga jumlah perempuan sebagai WBP dalam kasus peredaran narkoba. Jumlah mereka terus meningkat setiap tahun. Para pecandu narkoba dan perempuan merupakan kelompok rentan potensial. Tidak saja sebagai pelaku (pecandu narkoba) tapi juga sebagai korban dalam perdagangan perempuan (women trafficking) dan narkoba lintas daerah atau negara.
Para pecandu narkoba yang terjerat kasus hukum potensial menjadi residivis. Ketika bebas, mereka rawan menjadi bulan-bulanan targetan oknum buser. Saat di dalam mereka menjadi ‘ATM’ oknum petugas, rawan pemerasan.
Pecandu narkoba adalah “orang sakit” yang membutuhkan penangan medis khusus dan tidak jarang mereka juga terpapar HIV/AIDS. Klinik metadon yang tersedia tidaklah cukup untuk mengatasi persoalan medis serius seperti ketergantungan narkoba. Proyek kesehatan ini pun perlu dievaluasi untuk memberikan gambaran kemajuan kesehatan WBP dalam memulihkan kesehatan diri mereka di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sehingga tidak ada lagi kasus WBP menjadi residivis untuk kasus sama.
Daripada membangun Lapas baru dengan membuka persoalan sosial baru, seperti persoalan jaminan keamanan bagi warga sekitar, misalnya kalau terjadi kerusuhan seperti saat ini, alangkah bijaknya 50 persen penghuni Lapas Kerobokan ini diserahkan penanganannya pada pihak rumah sakit rehabilitasi agar mendapat penanganan tepat. Ngotot mempertahankan para pecandu narkoba untuk menetap di Lapas Kerobokan tentu perlu dipertanyakan, ada apa dengan semua ini?
Jika para pecandu narkoba ini diserahkan penanganannya pada lembaga rehabilitasi medis, maka setengah dari 1.000 penghuni Lapas Kerobokan bisa dikurangi. Mereka akan mendapat pembinaan mental dan perilaku yang tepat.
Bagaimana dengan nasib perempuan? Sebaiknya WBP perempuan tidak disatukan dengan WBP pria. Mereka dipindahkan saja, mengingat jumlah mereka kurang dari 10 persen dari penghuni Lapas Kerobokan. Mereka bisa ditempatkan di “asrama khusus perempuan” sehingga tidak ada lagi skandal kasus WBP perempuan hamil atau dihamili di Lapas.
Dinas Sosial dan Badan Pemberdayaan Perempuan sesungguhnya dapat menjadi institusi yang menaungi dan memberikan kontribusi untuk kemajuan perubahan perilaku WBP perempuan yang lebih baik. WBP perempuan memiliki kebutuhan dasar khusus, seperti pembalut, kebutuhan ibu-anak (bagi yang kebetulan melahirkan di Lapas). Jika ini terjadi, lembaga sosial pemberdayaan perempuan pun bisa mencurahkan perhatian dan program kerja mereka bagi sesama perempuan yang kebetulan nasibnya menjadi WBP.
Dikubur Hidup-hidup
Keempat, over kapasitas lapas bisa juga terjadi karena sebagian WBP memilih jadi residivis. Pertama karena perilaku bawaan (misalnya, klepto) dan kecanduan (pecandu narkoba) atau karena lingkungan yang tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki diri, ditolak keluarga dan lingkungannya. Stigma masyarakat membentuk jarak sosial yang lebih luas. Seolah-olah, mereka yang menjadi WBP Lembaga Pemasyarakatan adalah mayat yang bisa dikubur hidup-hidup dan tak akan pernah kembali.
Aksi kerusuhan Lapas Kerobokan membuka mata hati dan dunia. Mereka ada dan menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat Bali hari ini. Komunitas Lapas juga penuh dinamika pergulatan menyangkut harkat dan martabat diri sebagai warga negara Indonesia. Kehidupan Lapas adalah sisi hitam peradaban bangsa. Menambah jumlah Lapas seperti mencoreng wajah sendiri, betapa gagalnya negara ini memberikan jaminan kesejahteraan bagi warga negaranya.
Ada yang lebih menarik, jarang ada yang memikirkan bagaimana nasib WBP yang bebas dari lembaga pemasyarakatan. Kebanyakan WBP bebas pasti merasakan kebahagiaan, dijemput keluarga dan memulai kehidupan baru. Namun, sebagian besar dari mereka tidak berasal dari keluarga ideal. Mereka bisa saja berasal dari luar daerah atau luar pulau, dikurung dalam kurun waktu lama, dan bebas tanpa sepeser uang. Boro-boro bisa pulang kampung, bayar bus untuk pulang saja mungkin tak punya.
Dengan berbekal surat bebas dan sedikit sumbangan receh dari kawan-kawan di wisma (dulu istilahnya blok) lapas, mantan WBP ada juga yang setelah bebas dari lapas, terpaksa menjadi pengemis dengan menunjukkan surat bebasnya kepada masyarakat agar mereka bisa makan dan pulang ke kampung halaman.
“Kaum anak hilang” inilah potensial selalu kembali ke lembaga pemasyarakatan. Penolakan sosial, tidak adanya dokumentasi lain seperti KTP atau tanda pengenal lain, miskin dan tak punya uang, apalagi jika selama di penjara mereka tak lebih sebagai “korpé = mayat hidup, keset kakinya WBP yang berduit”. Mereka inilah akan dengan senang hati kembali, karena lapas memberikan makan tidur gratis, meskipun harus makan “cadong” (nasi sekeras beras) tanpa harus memikirkan sibuknya kerja mengejar upah, atau dikejar-kejar orang karena tak punya apa pun. Mungkin untuk kasus seperti ini proses pemulangan WBP anak hilang ini bisa dibantu pemerintah melalui Dinas Sosial bekerja sama dengan perusahaan transportasi.
Penanganan Lapas di masa depan jelas perlu mempertimbangkan kaum profesional yang harus dikaryakan di dalam lapas seperti psikolog, psikiater, dokter dan tenaga pengajar dan motivator. Peran kaum profesional ini dapat membantu pemerintah sehingga visi Lapas bisa mencapai tujuan untuk memasyarakatkan WBP secara wajar dapat tercapai. Terlebih lagi di masa depan, akan lebih banyak orang terdidik yang sengaja atau tidak sengaja dapat menjadi WBP. Tentunya, penanganan warga binaan ini diharapkan menyesuaikan dengan perubahan jaman.
Melihat kapasitas sumber daya manusia di dalam Lapas yang makin variatif dengan latar belakang profesi yang beragam, tentu paradigma penanganan WBP di masa depan haruslah lebih profesional. Daya yang dimiliki WBP seharusnya tidak dipadamkan dengan mengurung mereka tanpa kerja-kerja produktif. Akses pendidikan, teknologi dan informasi merupakan hal penting untuk diberikan kepada mereka. Kelak pada masa yang ditentukan, WBP menyudahi waktu penahanan mereka dan kembali pada lingkungan sosial. Dengan kata lain, menonton televisi, penggunaan telepon genggam, komputer dan internet sebaiknya tidak dilarang lagi.
Tidak ada relevansi dengan menyediakan fasilitas itu semua kejahatan akan meningkat. Justru dengan pelarangan seperti ini, rentan menimbulkan tindak kejahatan baru di dalam Lapas. Misalnya penyelundupan alat-alat elektronik baik oleh WBP dan oknum petugas, kemudian diikuti suap dan pemerasan dari oknum petugas lain tidak terjadi lagi. Menurut saya, selama menjalani masa kurungan badan, orang boleh saja dikurung badannya, tetapi bukan berarti akses mereka terhadap pengetahuan tentang apa yang terjadi di dunia luar ditutup begitu saja.
Tentunya, tidak ada yang menginginkan WBP keluar dari lembaga pemasyarakatan dan menjadi gagap sosial serta cacat pengetahuan terhadap pesatnya kemajuan informasi yang berubah sepanjang massa. Adaptasi sosial membutuhkan waktu yang tidak pendek untuk memulihkan diri seorang mantan WBP sehingga bisa kembali diterima dalam kehidupan sosialnya dengan wajar. Dengan demikian pendidikan dan informasi penting bagi mereka.
Pemerintah perlu mempelajari keberhasilan pemerintah negara lain dalam meningkatkan pelayanan bagi WBP hingga keberhasilan negara lain dalam mengurangi jumlah lembaga pemasyarakatannya. Selain itu revisi produk hukum dan perundang-undangan perlu mempertimbangkan ekses lanjutan khususnya yang menyangkut kesejahteraan warga negara termasuk budget pengeluaran yang harus dikeluarkan negara melalui “pundi-pundi” duit rakyat. [b]
Keterangan: foto-foto diambil dari Twitter Bale Bengong yang dikirim follower.
butuh 81 milyar untuk renovasi lapas = harga arogansi petugas. Dan darimana dana itu akan di ambil? dari kantung rakyat…hati-hatilah dengan kekuasaan