Jika diolah, buah bakau pun bisa dimakan.
Ada yang bentuknya bulat seperti apel. Di atasnya ada bentuk seperti bintang. Bua yang ini bisa langsung dimakan. Rasanya masam, manis, dan asin. Namun, buah yang bentuknya panjang perlu diolah terlebih dulu.
Hijau pepohonan bakau di sebelah proyek pembangunan jalan tol di Jalan By Pass I Gusti Ngurah Rai, tepatnya di lampu merah ke arah bandara, seakan ingin menutup telinganya dari bunyi-bunyian alat proyek. Begitu pula pagi Minggu kemarin. Suara desiran angin bercampur dengan hiruk pikuk lalu lintas jalanan dan suara pesawat yang melintas setiap hampir 5 menit sekali di atas gazebo.
Hutan bakau ini dikelola Kelompok Nelayan Wanasari Tuban, Kuta. Mereka ingin menjadikan hutan bakau sebagai tempat pengembangan ekowisata dan budi daya kepiting bakau. Tujuannya untuk meningkatkan pendapatan keluarga nelayan.
Mereka pun membangun jembatan untuk menyusuri pinggir hutan bakau. Ada dua gazebo di pinggir jembatan tempat orang duduk santai atau mancing.
“Kegiatan utama di sekitar bakau ini adalah untuk pendidikan, meningkatkan produksi kepiting bakau, ekowisata dan memanfaatkan buah bakau untuk berbagai jenis olahan,” kata Agus Diana, sekretaris kelompok nelayan Wanasari.
Melihat hutan bakau ini, saya jadi teringat situasi dan kondisi hutan bakau di area ekowisata Wonorejo, Surabaya. Hutan bakau ini berada di Pamurbaya atau pantai timur Surabaya. Hutan bakau di sana merupakan hutan campuran dari sisa bakau alami yang ada ditambah dengan tanaman bakau baru di areal pertambakan udang maupun bandeng yang mulai ditanam sekitar tahun 2008 silam.
Untuk mendukung kegiatan ekowisata, di hutan bakau Surabaya sudah dikembangkan berbagai produk olahan dari buah bakau seperti dodol, tempe menggunakan pembungkus dari daun bakau, batik menggunakan bahan dasar pewarna alami bakau, beras bakau dan sabun bakau. Sirup mbakau dari buah bogem juga terkenal diproduksi oleh Soni Mohson yang tergabung dalam Kelompok Tani Mangrove Wonorejo. Sirup ini dijual dengan harga Rp 20.000 per botol.
Cerita warga mengolah buah bakau ini tak hanya di Surabaya tapi juga di Medan, Sumatera Utara.
Inilah yang dilakukan Kelompok Konservasi Mangrove Muara Baimbai di Desa Sei Nagawalan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Medan, Sumatera Utara. Di sini dapat ditemukan kerupuk dari daun jeruju bakau.
Ada pula cerita dari Balikpapan. SMU N 8 Balikpapan bahkan terkenal dengan sebutan “SMA Mangrove” karena lokasi sekolahnya yang ada di areal hutan bakau Teluk Balikpapan. Siswa dan siswi sekolah ini sudah mendapat pelajaran mengenai bakau melalui kurikulum lokal belajar tentang bakau.
Tidak kalah dengan daerah lain, di sini para siswa-siswinya juga mengolah bakau menjadi bolu, brownies, pudding, klepon dan kue bikang.
Jenis bakau yang dapat diolah antara lain, Avicenia alba atau api-api dimanfaatkan buahnya yang sudah dihaluskan. Calophyllum inophyllum atau Nyamplung untuk bahan dasar sabun cuci piring. Caping bunga dan buah Bruguiera gymnorrhiza untuk pewarna alami warna merah batik. Sonneratia atau Pidada buahnya dimanfaatkan untuk membuat sirup, sedangkan bakau sebagai sayuran Rhizopora mucronata, Acrosticum aerum (kerakas) dan Sesbania grandiflora (turi).
Nelayan di Tuban, Kuta pun sedang mencoba pengolahan buah bakau tersebut. Istri-istri nelayan setempat sudah mencoba mengolah buah bakau menjadi kripik dan sirup. sudah pernah dicoba oleh istri para nelayan di Kelompok Wanasari setelah mengikuti pelatihan pengolahan bakau yang mendatangkan pelatih langsung dari kelompok Wonorejo Surabaya sekitar delapan bulan lalu. Namun, belum ada kelanjutan.
Semoga saja nelayan di Tuban juga bisa segera mengolah buah bakau ini. Sebab, pengolahan buah bakau bisa menjadi salah satu alternatif usaha dan dapat menjadi tambahan pemasukan untuk nelayan tanpa harus menebang kayunya. [b]