Masih ingat karikatur Sompret?
Karakter anjing ciptaan I Wayan Sadha tersebut menghadirkan satire seputar problematik sosial dan budaya Bali. Sang kartunis yang juga cerpenis Sadha, memang dikenal dipiawai menciptakan kartun-kartun sarat pesan.
Untuk memperbincangkan capaian karya-karya I Wayan Sadha selama ini, Bentara Budaya Bali mengagendakan program Sandyakala Sastra #43, berlangsung pada hari Kamis (12/3) di Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No.88A, Ketewel.
Acara ini juga sebentuk Obituari mengenang 40 hari kepergian I Wayan Sadha yang berpulang pada tanggal 28 Januari 2015 lalu.
Hadir sebagai pembicara dalam dialog kali ini adalah I Wayan Westa dan Drs. I Dewa Gede Windhu Sancaya M.Hum.
Menurut I Wayan Westa, kartun-kartun Sadha tidak pernah menggambarkan sosok-sosok memikat atau ganteng. Tokoh-tokoh yang dihadirkan unik dan khas, memotret serta menggambarkan karakter orang Bali kebanyakan yang “belum” tersentuh sopan santun kaum sekolahan (kaum jelata).
“Menyimak kartun-kartun Sadha, kita akan segera tersadar bahwa ada sebuah benturan kebudayaan, kegagapan orang Bali karena canggung melangkah memasuki budaya baru,“ ungkap Wayan Westa.
Adapun pada 1994, kartun-kartun Sadha pernah dihimpun dalam buku berjudul “Bali di Mata Sompret” yang diterbitkan oleh Pustaka Bali Post. Kemudian pada 2008, dikuratori Jean Couteau, sebanyak 165 kartun Sadha kembali dirangkum dalam buku “The Dog of Bali Sompret, Celoteh Anjing Bali” (diterbitkan Pustaka Larasan).
I Wayan Sadha adalah seniman otodidak. Cerpen-cerpennya (berbahasa Bali), serupa dengan kartun-kartunnya, menggambarkan kehidupan rakyat kecil, bertema nyeleneh, penuh humor sarkastik, di mana tokoh-tokohnya mencerminkan problematik masyarakat proletar Bali yang terpinggirkan.
Ia dikenal juga sebagai kartunis dengan tokoh rekaannya adalah seekor anjing bernama Sompret.
I Wayan Sadha pernah meraih Penghargaan Sastra Rancage (2010), sempat menjadi narasumber pada Sandyakala Sastra #5 pada tahun 2010 bersama Ida Bagus Wayan Widiasa Keninten.
I Wayan Sadha dilahirkan di Jimbaran, 29 Juli 1948, pendidikan resminya hanya sempat ditempuh hingga kelas dua Sekolah Rakyat. Ia pernah menjadi pedagang kayu bakar, penjual ikan, nelayan, dan fotografer keliling. Karya-karyanya dimuat berbagai media, seperti Archipelago, English Corner, Bali Echo, Harian Nusa, Sarad, Taksu, dan lain-lain. Sadha juga pernah diundang pameran bersama Prakarti, antara lain di ARMA Museum, Ubud, Bali Biennale dan lain-lain.
Kartun karya Sadha juga telah diterbitkan dalam buku tiga bahasa (Bali-Indonesia-Inggris), berjudul The Dog of Bali. Kumpulan cerpennya yang pertama, Leak Pemoroan, diterbitkankan Balai Bahasa Denpasar, memperoleh Hadiah Sastra Rancage 2010. Anugerah ini diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancagé pimpinan Ajip Rosidi.
Dia pernah berpameran bersama di Bentara Budaya Bali, dalam tajuk “Local Knowledge, Reposisi Bahasa Rupa Tradisi Bali#2” pada 25 September – 4 Oktober 2011.
Sebelumnya, Bentara Budaya Bali juga pernah menggelar acara Obituari bagi penyair Wayan Arthawa, pelukis Wahyoe Wijaya, kurator seni rupa Thomas Freitag, koreografer I Nyoman Sura serta pematung I Ketut Muja.
Untuk mengenang Sadha dan karya-karya, diskusi kali ini akan menghadirkan I Wayan Esta dan I Dewa Gede Windhu Sancaya.
I Wayan Westa, seorang budayawan dan sastrawan modern Bali, memperoleh penghargaan Sastra Rancage 2014 atas karyanya Tutur Bali (2013). Menekuni dunia jurnalistik, tulisannya tersebar di sejumlah media; Mingguan Karya Bhakti, Harian Nusa, Bali Post, Kompas, dan Radar Bali.
Tahun 2000-2009 bekerja sebagai Redaktur Majalah Gumi Bali SARAD. Tahun 2010-2012 dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi Majalah SABDA.
Sebelumnya, dalam rangka Program Pemetaan Bahasa Nusantara, tahun 1999 ia bekerja di The Ford Foundation. Menyunting sejumlah buku diterbitkan Yayasan Obor Indonesia, Wulan Sedhuwuring Geni (Antologi Cerpen dan Puisi Daerah), Seribu Kunang-Kunang di Manhatan (Terjemahan dalam 13 Bahasa Daerah), dan Sunari (Novel Basa Bali karya Ketut Rida). Rabindranath Tagore, Puisi Sepanjang Zaman, Penerbit Yayasan Darma Sastra, 2002.
Westa juga menulis buku Tutur Bali, diterbitkan Yayasan Deva Charity, Utrecht, The Netherlands.
Adapun Drs. I Dewa Gede Windhu Sancaya, M.Hum. dosen Sastra Bali Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana ini juga adalah sastrawan peraih Penghargaan Sastra Rancage, melalui buku kumpulan puisi berbahasa Bali “Coffe Shop”.
Dosen yang tengah menyelesaikan program doktornya ini dikenal sebagai sastrawan bahasa Bali dengan tema-tema karya yang mencoba mengangkat peralihan antara masyarakat Bali yang agraris-komunal menuju era industri yang lebih individual. Ia juga aktif di berbagai organisasi sosial budaya di Bali serta sering bertindak sebagai editor buku. [b]