Sorak sorai memenuhi ruang diskusi Dharma Negara Alaya (DNA) sore itu pada Sabtu, 4 Januari 2025. Orang-orang terus berdatangan, dari masyarakat umum, komunitas, organisasi, hingga masyarakat desa. Beberapa dari mereka datang dengan nyentrik mengenakan aksesoris hasil bumi.
Sebelum memasuki ruang diskusi, orang-orang mengantre di meja registrasi untuk memilih aksesoris berupa anting. Anting itu terbuat dari bunga akasia yang sudah kering. Pemasangannya sederhana, cukup dikaitkan. Kuncinya adalah memilih bentuk yang pas agar terpasang cantik di telinga. Bunga akasia kering tersebut dibawa langsung dari Desa Ngis, Kabupaten Karangasem.
Ada juga gelang dari bambu di hutan Desa Tigawasa, Kabupaten Buleleng. Bentuknya sangat sederhana, tapi terlihat ciamik dengan anyamannya.
Tak ketinggalan, di depan meja registrasi tersedia deretan makanan khas Desa Ngis, yaitu keripik ikan, cerorot, abug. Siapa cepat, dia dapat, begitu konsepnya karena makanan khas desa ini terbatas jumlahnya.
Sebelum jam 16.00 WITA tiba, orang-orang berjejer di depan ruang diskusi. Mereka menikmati makanan yang tersedia sembari bersenda gurau sesekali dan menyapa kenalan yang lewat.
Tentang Histeria Pewarta Warga: Turun Tangan
Histeria Pewarta Warga kembali hadir menyapa di tahun baru 2025. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari Kelas Jurnalisme Warga (KJW) yang rutin dilaksanakan di berbagai komunitas dan desa di Bali. Histeria kali ini mengusung tema Turun Tangan, mempertemukan warga dan kolaborasi dengan para pihak, pendamping atau donatur untuk mencari jalan keluar atas berbagai tantangan di desa.
Dari pemetaan KJW, BaleBengong menemukan empat tantangan sekaligus aset desa yang perlu dukungan para pihak, yaitu pura dalam hutan di Desa Tigawasa, tikar pandan di Desa Ngis, tari tapel ngandong di Desa Les, dan hak waris perempuan Bali yang disampaikan oleh paralegal perempuan di Desa Penatahan.
Histeria dibuka dengan penampilan anak-anak yang dibina oleh Bali Street Mums. Bali Street Mums merupakan safe house yang memberikan pembinaan kepada ibu dan anak jalanan.
Empat anak menampilkan tarian nusantara di panggung Histeria sore itu. Penampilan mereka seolah menyampaikan bakat yang mereka miliki, terlepas dari masa lalu yang mereka hadapi.
Mengintip sisi tak terlihat di desa
Setelah penampilan anak-anak Bali Street Mums, berlangsung diskusi yang dipandu oleh Luh De Suriyani dari BaleBengong. Diskusi menghadirkan pihak desa yang tergabung dalam Histeria: Turun Tangan, yaitu Andi dari Desa Tigawasa, Wayan Walastri dari Desa Ngis, Wayan Madiasa dari Desa Les, dan Ni Made Sumarwati dari Desa Penatahan.
Selama kurang lebih 40 menit, keempat desa membahas masing-masing tantangan di desa mereka. Andi dari Desa Tigawasa menjelaskan mengenai hutan dalam pura yang tidak boleh dimasuki sembarangan. Secara turun temurun, terdapat sembilan pura di dalam hutan. Sayangnya, nama dan lokasi pura secara jelas tidak terdokumentasikan maupun tercatat secara tertulis.
“Jujur karena ada sembilan pura, saya sendiri pun ada beberapa pura yang belum saya ketahui berurutan. Jadi di sini kami ingin membuat dokumentasi dari setiap pura yang ada di sini karena sangat penting sekali generasi muda itu untuk mengetahui pura-pura ini,” ungkap Andi. Hutan di Desa Tigawasa memiliki peran penting di Bali sebagai pemasok air di hilir, sehingga secara tidak langsung masyarakat Bali memiliki tanggung jawab untuk melestarikannya.
Bergeser ke Bali Timur, terdapat kerajinan tikar pandan dengan bahan baku pandan berduri. “Pandanne tiang ten medue, tiang nak numbas pandan ring sane medue-medue. Hargane mangkin agak meningkat (kebun pandannya saya nggak punya, saya beli di pemilik kebun pandan. Harganya sekarang agak meningkat),” ujar Wayan Walastri, perajin tikar pandan dari Desa Ngis.
Di Desa Ngis, tikar pandan digunakan sebagai barang barter untuk mendapatkan gula atau beras di warung. Sayangnya, perajin tikar pandan harus membeli pandan berduri karena semakin sulit didapat. Padahal, pandan berduri menjaga lereng-lereng bukit karena Desa Ngis dikelilingi oleh bukit.
Dari kesenian, hadir Wayan Madiasa, penari Tapel Ngandong dari Desa Les. Tapel Ngandong sudah ada sejak masa penjajahan dan secara turun temurun hanya ada di Desa Le. “Yen di pentas, anggo berobat, dadong ngandong suaminya mau berobat (kalau dipentaskan, nenek menggendong suaminya yang mau berobat),” ungkap Madiasa.
Kesenian satu ini sifatnya hanya hiburan, berbeda dengan tari sakral yang biasa ditampilkan pada upacara keagamaan. Tapel Ngandong terbilang langka karena hanya tersedia satu kostum dan satu penari. Kekhawatiran timbul jika Tapel Ngandong akan ditinggalkan seiring berjalannya waktu.
Dalam diskusi tersebut, hadir pula sosok perempuan yang kerap memperjuangkan hak-hak wanita. Ni Made Sumarwati tergabung dalam LBH BWCC (Bali Women Crisis Center) yang kerap memberikan pendampingan kepada perempuan.
“Kita (perempuan) tuh jangan mau kalah sama kaum laki-laki. Kalau perempuan terutama nggak usah gengsi, bukan untuk menakut-nakuti, kita cari jalan yang terbaik saja,” ujar Sumarwati memberikan pesannya terhadap perempuan yang tengah mengalami penindasan dalam rumah tangga.
Setelah tahun 2010, wanita Bali berhak atas warisan berdasarkan Keputusan Pesamuan Agung III MUDP Bali. Perempuan Bali menerima setengah dari hak waris purusa setelah dipotong ? untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Sayangnya, regulasi ini makin hari makin sunyi.
Mengalami bersama desa
Usai diskusi, pengunjung Histeria berbondong-bondong menyaksikan keterampilan perajin bambu dari Desa Tigawasa dan perajin tikar pandan dari Desa Ngis. Pengujung terbelah menjadi dua, ada yang memegang pandan kering, ada pula yang memegang bambu.
Dua perajin tampak cekatan mengolah bahan baku yang mereka bawa, sedangkan pengunjung terpana dan melewatkan langkah-langkah anyaman.
Setelah mengalami bersama perajin, pengunjung terkejut menyaksikan penampilan tapel ngandong. Orang-orang yang berada di luar langsung memasuki area diskusi begitu penari muncul. Rupanya yang seram membuat sebagian anak menutup mata. Sementara, beberapa penonton mengeluarkan ponselnya, tidak ingin melewatkan penampilan langka tersebut.
Menutup acara, hadir sejumlah paralegal Kubu BWCC. Mereka berlenggak-lenggok di ruang diskusi yang kecil, menampilkan busana batik karya Made Gadis. Busana tersebut merepresentasikan dampak krisis air terhadap perempuan di Dusun Konyel.
Riuh terdengar mengikuti fesyen show paralegal Kubu BWCC sebagai penutupan acara. Senyum dan tawa menghiasi wajah penonton, seolah tak ingin Histeria usai.
Sampai jumpa di Histeria tahun berikutnya!